ArtikelPapua Versus Aceh di Final Sepak Bola PON, Sebuah Sejarah yang Terulang

Papua Versus Aceh di Final Sepak Bola PON, Sebuah Sejarah yang Terulang

Oleh: Yan Awikaituma Ukago)*
)* Penulis adalah Intelektual Papua

Semua masih terekam baik di memori saya. Hari itu, Kamis, 16 September 1993, saya masih mahasiswa semester V di Kota Atlas Semarang, lagi sedang menuju ke kampus. Di tengah jalan, pas di jalan Tugu Muda, tidak sengaja, ada seorang loper koran lihat saya, orang Irian lewat.

Setelah memanggil, si loper menawarkan saya beli koran yang sedang dijual.

“Ini ada berita Irian Jaya sukses melaju ke final sepak bola. Besok Irian lawan Aceh di Jakarta,” katanya.

Saya ambil koran tersebut. Baca sepintas judul dan headline Suara Merdeka. “Sepak Bola PON, Irian Jaya lawan Aceh di final. Pertandingan pada hari Sabtu, 18 September 1993 di Stadion Senayan,” begitu ditulis di pojok kanan koran terbitan Semarang itu.

Saat itu saya belum pernah ke Jakarta. Masih buta dengan ibu kota negara. Tetapi ini Irian Jaya yang main. Saya balik badan ke kost. Menyimpan tas, langsung ke Stasiun Kereta Api, Srondol. Dengan kereta ekonomi menuju Jakarta.

Pengalaman pertama kali naik kereta walaupun sudah tiga tahun di tanah Jawa. Tancap gas. Saya bolos kuliah hari Kamis, Jumat, dan Sabtu. Yang ada dalam otak hari itu cuma sepak bola dan Senayan.

Ini sepak bola, hobby saya. Saya selalu merasa diri ini sebagai pemain bola yang lahir di waktu yang salah.

Tiga hari itu saya tinggalkan kampus, tidak kuliah. Hal yang tidak pernah saya lakukan. Kalau bukan karena alasan sepak bola, sakit juga saya pasti berusaha masuk ruang kelas.

Duduk dalam kereta api cukup melelahkan. Sebelum tiba di Stadion Senayan, saya teringat kembali semua tentang sepak bola Irian. Saat itu Persipura lagi turun kasta di level nasional, dari Divisi Utama ke Divisi Satu. Magnet sepak bola nasional bukan lagi di tanah Irian. Persipura hanya tinggal nama di lagu kaset Black Brothers.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Orang Papua merasa harga diri ada di sepak bola. Dalam kereta, saya pikir final PON ini kesempatan untuk angkat nama Irian. Jangankan emas, sekalipun dengan medali perak, biar sudah. Tetapi kalau raih emas, Persipura akan bangkit kembali. Sudah pasti, saya habis pertandingan final, akan pulang ke Semarang dengan kepala tegak.

Kembali ke final PON 1993. Setelah 25 jam di kereta yang melelahkan itu, akhirnya saya sampai di Stadion Senayan. Langsung menuju arena official. Yang saya kaget, pelatih kepala ternyata orang Irian: Festus Yom. Tidak menyangka, tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya, saya kira pelatihnya orang barat atau amber.

Yang unik, pelatih ini orang tua Papua yang sangat santai. Sambil kunyah pinang, ia mampu menjawab semua pertanyaan wartawan.

Dengan penuh taktis, pelatih juga memberikan arahan sebelum bertanding.

Saya lihat diantara para pemain, ada Chris Leo Yarangga, adik kelas saat di SMA Gabungan Jayapura. Memang Chris hebat dalam tendangan kerasnya first-time yang terukur. Saat itu ada banyak pemain yang saya tidak kenal.

Beberapa saat kemudian, pertandingan sudah dimulai. Jual beli serangan antara Aceh dan Irian terjadi. Tiada yang mau mengalah. Pertandingan keras, saling menjatuhkan lawan. Banyak yang berkata, ini terasa seperti pertarungan antara OPM dan GAM di ibu kota negara.

Memasuki babak kedua, pelatih Festus Yom terapkan strategi bola-bola pendek ala Brasil. Pertandingan menegangkan itu akhirnya dimenangkan kesebelasan Irian Jaya. Semua sorak sorai, larut dalam kemenangan.

Dari gol-gol yang tercipta itu, satu yang sulit dilupakan adalah gol pantat David Saidui. David dengan skillnya yang memukau sejuta mata penonton Senayan dan layar televisi, berhasil melewati tiga pemain belakang. Dengan solo run seorang diri, David melewati tiga pemain belakang dan terakhir tinggal berhadapan sang kiper Aceh. Di sini David tinggal eksekusi, sodorkan bola ke pojok gawang yang terbuka, selesai.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Tetapi itu ia tidak lakukan, malah David memilih memperdayai kiper dulu. Caranya dengan bola ia salto lewati kiper dengan memutar badan sedikit, dalam sedetik bola sudah di depan garis gawang. Kiper Aceh terkecoh dengan aksi indahnya itu.

Apa yang terjadi? Ternyata David tidak juga segera masukan bola dengan kaki. Semua mata tertuju pada David. Apa yang akan dilakukan laki-laki hitam ini? Hati penonton dug-dag. David sekejap tahan bola tepat di atas garis putih di bawah mistar gawang, kemudian duduk di atas bola dan sodorkan dengan pantat ke dalam jaring gawang. Gol!. Semua terjadi tanpa halangan.

Entah apa yang ada di otak seorang David Saidui, apakah gol pantat itu karena dia bangga atau menghina? Kita tidak tahu. Saat itulah baru muncul istilah “gol pantat”. Koran-koran nasional seperti Kompas, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, menulis seputaran gol unik, gol pantat David itu sebagai headline news.

Itulah detik-detik yang menegangkan. Gol pantat yang membawa pulang medali emas untuk Irian Jaya.

Sejak Chris Leo, David dan kawan-kawan angkat medali emas tahun 1993 itu, sepak bola Papua bangkit kembali. Semua pemain PON XIII termasuk Roni Wabia menjadi pemain Persipura. Tanah Irian sebagai tanah sepak bola perlahan bangkit dan kini Persipura sudah menjadi jenderal bintang empat. Kalaupun kalah, ia tetap Sang Jenderal.

Demikian memori saat itu tahun 1993. Kini sejarah terulang di tahun 2021. Aceh berjumpa Papua di final. Sejarah akan terulang setelah 28 tahun.

Dulu boleh kalah, tetapi kali ini Aceh tidak akan menyerah begitu saja. Semoga mereka sudah lupa gol pantat yang terhina itu. Kalaupun mereka lupa, ini laga final, pasti akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Sekali basah, ya basah sudah.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Kita jangan lupa, mereka punya mental menang perang. Di tanah air, orang Aceh itu dinilai pejuang sejati oleh penjajah. Satu-satunya wilayah di nusantara yang tidak berhasil ditaklukkan Belanda selama 350 tahun adalah Aceh.

Tetapi kita optimis, di tangan kaka Eduard Ivakdalam semua akan mudah diatasi. Kaka Edu bukan sembarang orang. Kesebelasan Papua kali ini lengkap, fisik bagus siap tempur, olah bola seperti tim Brasil, ada pemain-pemain unik mulai dari kiper Pigai sampai Cawor di depan gawang lawan.

Kita akan saksikan Kamis, 14 Oktober 2021 pukul 15.00 WIT di Stadion Mandala, Kota Jayapura. Sudah pasti Kaka Edu akan redam senjata rencong Aceh dengan tulang kasuari Papua.

Sepak bola PON Papua 2021 harus ukir sejarah. Ukir dengan medali emas sebagai tuan rumah, tutup dengan kemenangan sempurna, raih top score dan yang paling indah dari Tanah Papua akan terlahir pemain bertalenta untuk tingkat Asia dan Pasifik. Kini kita sudah tidak bicara lagi di tingkat Indonesia.

Yang unik dari tim sepak bola putra PON XX ini, semua pemain punya kemampuan merata. Dan semua suku di Papua terwakili. Kaka Edu berhasil bina mental anak Papua jadi pemain hebat. Hal yang selama ini hanya biasa dilakukan Jacksen Tiago. Itulah sebabnya Eduard Ivakdalam layak jadi pelatih Persipura berikut.

Selamat bertanding untuk tim sepak bola Papua, Ricky Cawor dan kawan-kawan. Sekalipun tidak terulang gol pantat, menangkan pertandingan ini, kawinkan dengan medali emas tim sepak bola putri.

Sekali lagi, salam untuk kaka tuan Edu Ivakdalam, the next Tiago in the dream team, Persipura. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Jurnalis Senior Ini Resmi Menjabat Komisaris PT KBI

0
Kendati sibuk dengan jabatan komisaris BUMN, dunia jurnalistik dan teater tak pernah benar-benar ia tinggalkan. Hingga kini, ia tetap berkontribusi sebagai penulis buku dan penulis artikel di berbagai platform media online.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.