ArtikelAgama: Pedang Bermata Dua dalam Sistem Pendudukan di Tanah Papua

Agama: Pedang Bermata Dua dalam Sistem Pendudukan di Tanah Papua

Oleh: V. Wenda dan Soleman Itlay)*
)* Penulis adalah mahasiswa pribumi Papua—anggota jemaat PGBP dan umat katolik di tanah Papua. 

Posisi para pemuka agama dan gereja di daerah koloni di belahan dunia mana pun selalu dan pasti saja sangat strategis. Biasanya mereka memiliki peran yang besar. Bakal memainkan peran luar biasa dalam sistem kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme. Peran mereka ibarat pedang bermata dua yang dapat mengendalikan dua kelompok yang saling berseberangan.

Pada satu sisi mendukung penguasa, pengusaha dan perusahaan. Tetapi pada satu sisi menindas umatnya. Di lain pihak, ada juga yang mendukung kaum budak dari majikannya, tapi ada pula yang sama-sama melawan mereka—kolonial, kapitalis dan imperialis. Seolah-olah agama disini seperti apa yang dikatakan seorang Filsuf bernama Bertrend Russel dalam buku: Sains, Agama dan Filsafat.

Bahwa “agama seolah-olah agama lahan kosong yang harus diperebutkan antara penguasa dan kaum budak”. Bahkan menjadikan agama sebagai batu sandungan untuk memperluas daerah pendudukan, memperkuat kekuasaaan, menjaga keutuhan dan memperkokoh kedaulatannya.

Barangkali seperti anjing yang harus saling baku gigit akibat memperebutkan makanan pada satu tempat dan pada saat hewan paling setia dari manusia itu mati lapar. Atau karena koloni modern itu kaya raya, sehingga untuk mengambil semua isi perut bumi itu dan agar bisa menjaga keutuhan alamnya, orang saling memperebutkan agama yang dianggap bisa menjadi juru selamat mereka serta dijadikan sebagai tempat pelarian dan perlindungan terakhir.

Hal ini dapat dilihat dari pandangan kontemporer bagi kedua belah pihak. Kolonial, kapitalis dan imperialis meyakini bahwa agama merupakan benteng terakhir bagi mereka. Mereka sadar bahwa hanya agama dan adatlah yang bisa memperkuat posisi mereka dalam rangkah melakukan pencaplokan, pendudukan, dan eksploitasi sumber daya alam.

Sehingga tidak heran apabila pada belakangan ini mereka selalu lebih banyak bermaian, mendekati dan membentuk banyak aliansi [semacam] milisi guna mendukung kekuasaan pihak berwenang yang berdiri di depan para kapitalis dan imperialis global. Interaksi sosial mereka dapat membantu dalam segala keberlangsungan aktivitas politik, ekonomi dan lainnya.

Pada saat yang sama, masyarakat adat juga percaya bahwa agama dan gereja merupakan tempat untuk mereka sandar, meminta pertolongan dan dukungan secara moril, spiritual, mentalitas, psikologis dan lain sebagainya. Tetapi kelompok ini sangat disayangkan, karena kerap mereka menjadi kelompok yang paling banyak menjadi korban dari sistem kolonialisme, kapitalisme dan imperialism yang menyatu—‘berselingkuh’ dengan para pemuka agama tertentu.

Tiga raksasa besar dunia modern itu, yakni; kalonial, kapitalis dan imperialis  selalu masuk melalui pintu agama. Dimana-mana ruang lingkup kekuasaan, pencaplokan, pendudukan dan eksploitasi mereka sangat kuat karena selalu sandar dalam postur agama. Mereka terkesan lebih berkuasa karena di dalamnya didukung oleh para pemuka agama yang memiliki pengaruh dan kedekatan dengan masyarakat—umat.

 

Mereka selalu mengatasnamakan Tuhan, gereja, kemanusiaan, keadilan, kebenaran, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya guna menguatkan posisi kolonial, kapitalis dan imperialis yang mencaplok hak-hak tanah adat dan menindas kaum budaknya pribumi atas nama segala kebaikan, pembangunan, kemajuan, kesejahteraan dan perdamaian.

Belajar Dari Afrika

Kita bisa lihat pengalaman dari benua Afrika, dimana pemuka agama dan gereja disana berperan penting untuk memperlemahan posisi kaum pribumi monoritas  dengan pendekatan persuasif, etis dan theologis di samping menguatkan ambisi ganas dari kolonial, kapitalis dan imperialis Eropa pada abad ke-19 lalu.

Disana pemerintah kolonial, para kapitalis dan imperialis banyak membentuk organisasi-organisasi pendukung, bahkan individu yang tak terikat dalam komunitas keagamaan tertentu. Para penguasa memanfaatkan peran mereka untuk menjadi mata-mata demi mendukung posisi kolonial di daerah koloni beserta aktivitas kapitalisme di benua hitam itu.

Mereka direkrut, dilatih, dibina dan mengikat perjanjian secara khusus guna menjalankan misi terselubung atas nama Tuhan, agama, kemanusiaan, pendidikan, kesehatan dan lain seterusnya. Para pemuka agam ini akan menjadi informa bagi intelijen yang bekerja sama dngan sejumlah penguasa, pengusaha dan perusahaan milik para mereka dan yang dapat menguntung mereka.

Untuk mengelabui kecurigaan di mata publik, mereka akan memanfaatkan isu agama, Tuhan, kemanusiaan, kebaiakan, dan perdamaian. Mereka akan selalu menarik perahtian bagi pengikutnya di bawah. Hingga membuat umat disana meyakini bahwa mereka benar-benar datang untuk membelah hak-hak dasar hidup pribumi setempat. Namun, mereka tidak tahu kalau banyak pemuka agama diam-diam menghianati mereka atas nama agama, Tuhan, kebenaran, keadilan, hak asasi dan kemerdekaan pula.

Ada sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Brian Schmidt, dari Bowling Green state university, Amerika Serikat yang berjudul “Christianity as a double-edge sword in colonial africa”Kekristenan sebagai pedang bermata dua dalam kolonial Afrika. Schmidt mengutip definisi imperialisme dari buku “The African Experience”, karya Vincent Khapoya.

Khapoya mendefinisikan imperialisme sebagai hasrat/nafsu para patriot-patriot Eropa untuk memberikan kontribusi pada kejayaan negara mereka dengan memberikan klaim pada wilayah-wilayah yang jauh. Dalam konteks Afrika, Schmidt memandang penyebaran injil dengan sudut pandang yang sama, yakni kekristenan juga menekankan pentingnya khotbah, bukan untuk kejayaan sebuah negara, tetap pada suatu agama”.

Sesuai dengan perintah dalam Matius 28:19-20—Coming  from a similar place of reasoning,Christianity also emphasizes the importance of proselytizing, not for the grandeur of one’s country but rather for one’s religion. Despite the fact that these missionaries were not officially sent out as agents of colonial governments, Christianity can be seen as a force of pacification that helped to enable colonization and the cultural assimilation of Africans.

Maksud dia, terlepas dari kenyataan bahwa para misionaris ini tidak dikirim secara resmi sebagai agen pemerintah kolonial, tetapi kekristenan dapat dilihat sebagai kekuatan yang membantu memungkinkan kolonisasi dan asimilasi budaya di Afrika. Sekalipun penaklukan benua Afrika lebih pada motif ekonomi, namun filosofi rasisme memungkinkan praktek kolonialisme.

Terkait dengan filosofi ini, Stillwel menulis demikian: “it was possible to ‘scientifically’ rank the various human races in order from the most primitive to the most advancedadalah mungkin untuk ‘secara ilmiah’ memberikan peringkat berbagai ras manusia dari yang paling primitif hingga yang paling maju.

Ideologi ini membenarkan ekspansi negara-negara Eropa dengan pandangan bahwa penaklukan Afrika ialah perintah sains dan nature/alami karena orang-orang eropa lebih maju dan diatas kelasnya dibanding dengan orang Afrika yang notabene kulit hitam dan rambut keriting.

Ideologi terlihat jelas dengan etnosentrisme, yakni memandang diri mereka (orang-orang eropa) jauh lebih baik dari orang Afrika, dan terlihat dari perlakukan orang-orang eropa terhadap orang Afrika. Sehingga, perlakuan orang Eropa terhadap Afrika dilihat sebagai upaya memberikan kehidupan yang baik dari kehidupan yang primitif, dan kekristenan memainkan peran kunci dalam upaya mereka untuk mengasimilasi orang Afrika ke cara yang dianggap maju. Di Samping itu, kehidupan sementara sumber dayanya benua Afrika dieksploitasi sedemikian rupa.

Orang-orang Afrika dan cara hidup mereka ditekan di berbagai bidang, sementara bahasa dan mentalitas pada waktu itu memungkinkan orang Eropa untuk melihat upaya mereka sebagai “misi peradaban.” Aspek-aspek tertentu dari Kekristenan pada awalnya berfungsi untuk mendorong rasa pasif di antara orang Afrika, karena agama tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai pengampunan, kepatuhan, dan kesabaran.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Hinaan dan penderitaan yang dialami oleh orang-orang Afrika dipahami sebagai bagian dari refleksi kepercayaan yang diimani. Khapoya menyinggung aspek-aspek Kekristenan yang agak nyaman yang akan mendorong orang Afrika untuk tidak khawatir tentang penderitaan dan penghinaan yang tidak dapat diatasi yang diberikan kepada mereka oleh kekuatan kolonial, bahwa aspek-aspek kehidupan ini sebenarnya bermanfaat bagi kedudukan mereka di mata Tuhan.

Kekristenan memainkan peran penting dalam kolonisasi di benua Afrika, lebih kepada hati dan pikiran orang Afrika, yang potensi pemberontakannya sebagai hambatan bagi eropa dalam exploitasi tanah dan sumber daya alam.

Richard Gray menceritakan gambaran seorang misionaris tentang seorang Afrika yang bertobat, idealnya: dia “harus ‘tinggal di rumah permanen yang tegak, dengan cerobong asap di dalamnya’; dia tidak boleh lagi dibingungkan oleh suasana gubuknya yang berasap atau terdegradasi dengan merayap ke dalamnya; dia harus berpakaian ‘sopan’, seorang individu ‘independen dari orang lain. Ini adalah contoh nyata dari niat seorang misionaris untuk memperkenalkan cara hidup Barat kepada orang Afrika, menggunakan bahasa yang dengan jelas melukiskan cara-cara ini sebagai superior.

Sementara orang Afrika hidup di bawah pemerintahan Eropa dan diajari agama-agama Barat dan cara hidup Barat, mereka masih dilarang dari jenis mobilitas yang memungkinkan mereka berkembang dalam sistem itu.

Inti dari kolonialisme adalah eksploitasi tanah, dan orang Afrika sendiri masuk ke dalam sistem itu. Mereka dieksploitasi untuk tanah mereka, tenaga mereka, dan uang mereka. Mereka tidak diberi hak-hak dasar dan dilarang berdagang atau membentuk serikat pekerja. Mungkin ada gagasan yang dipegang secara kolektif bahwa kekristenan adalah kekuatan “supranatural” yang memungkinkan orang Eropa untuk mencapai keunggulan di dunia.

Di Papua Pun Sama

Sejak 1828, semenajak Sultan Tidore mengadaikan tanah Papua di tangan pemerintah kolonial I—Belanda, Papua sudah menjadi daerah koloni modern pada abad ke-17. Secarade joure dan de facto kekuasaan Belanda atas Papua dilemahkan pada 1 Mei 1963. Pada saat itu, UNTEA menyerahkan wilayah Papua ke tangan pemerintah kolonial II—Indonesia.

Sejak abad ke-18 itu, Papua menjadi daerah koloni modern dimana meliputi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan sarat dengan kepentingan ekonomi di dunia. Amerika Serikat sebagai imperialis yang mengantikan posisi Inggris mulai berperan penting untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam di tanah Papua.

Jaringan imperialias AS yang memiliki hubungan dengan Central Agency Inteligency (CAI) dan perusahaan Freeport Indonesia yang pindah akibat kebankrutan di Havana, Kuba dibawah kontrol Allen Dulles berperan penting. Secara individu dan otoritas pemerintah AS, Jhon F. Keneddy sangat hati-hati untuk membantu Indonesia yang mayoritas Islam menjadikan Papua yang mayoritas Kristen menjadi pintu masuk Islamisasi di Pasifik, Australia dan lainnya.

Namun Dulles yang memiliki saham dan kedekatan dengan pemilik Freeport Sulphur tidak memikirkan soal itu. Dia lebih memikirkan bagaimana melakukan eksploitasi alam Ppaua dan mendapatkan keuntungan. Karena AS, bahakan CAI tidak bisa memonopoli klaim Indonesia, maka mereka lebih memilih untuk mendukung Indonesia di samping tetap memperlemah Belanda.

Hal ini bisa dilihat dari keterlibatan CAI dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), New York Agreement, Roma Agreemet, Kontrak Karyaa Freeport I, PEPERA 1969 dan masih banyak lagi. Pada waktu itu, AS dan Indonesia menggunakan pendekatan adat. Maksudnya mereka mendekati pemuka adat dan orang-orang yang mudah kompromi dengan mereka guna melegalkan kekuasaan Indonesia.

Seperti Marthen Indey, Yohanes Dimara, Frans Kasiepo, dan Silas Papare. Hingga saat ini, CAI bahkan Badan Inteligen Negara (BIN) dan lainnya ikut mengendalikan situasi politik, pelanggaran HAM dan lains sebagainnya. Mereka memainkan peran luar biasa guna mengamankan wilayah Papua. Sejumlah jenderal berbintan yang memiliki jatah pembagian wilayah adat untuk membuka perusahaan hutan, sawit, pertamabangan dan lainnya pun ikut memainkan peran.

“Tidak ada tanah Papua yang kosong. Semua tanah milik orang Papua sudah dibagi-bagi habis. Dari Sorong sampai Merauke dan dari pantai sampai pegunungan, semua menjadi milik para menteri, jenderal dan lainnya. Pembangunan infrastruktur jalan dan konflik bersenjata dan perang suku di Timika, Nduga, Intan Jaya, Lanny Jaya, Pegunungan Bintang dan lainnya, yang menjadi daerah merah ada kaitanya dengan kepentingan ekonomi”, kata Wirya, ketua WALHI Papua.

Hal ini ia sampaikan dalam sebuah diskusi tentang MoU Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC dengan PT. Tunas Sawa Erma (TSE)—anak perusahaan dari PT. Korea Indonesia (Korido) yang mencaplok dan menguasai tanah adat milik masyarakat adat di Jair, Boven Digoel, Papua di sekretariat Kesuskupan Agung Merauke pada Jumat, 05 Januari 2021 lalu.

Di dalamnya peran kaum kelrus dan awam biasa yang selalu aktif di gereja, oraganisasi keagamaan dan kegerejaan. Selain masuk melalui pintu agama, ada pula yang masuk melalui pintu kekeluargaan. Mereka manfaatkan pososo, kedudukan, tahta dan jabatan untuk membangun bisnis untuk anak cucu dan komunitas mereka yang berkepanjangan.

Pada saat itu diskusi dilakukan di perpustakaan asrama mahasiswa katolik Tauboria dengan Suara Kaum Awam Katolik Regio Papua dengan perwakilan kelompok Kerahwam Katolik Ppaua, yang diwakili oleh Jhon Gobai—anggota DPR Papua dari jatah Otsus Papua dan Thomas Belau, eks salah satu pimpinan Freeport Indonesia. Di dalam kesempatan ini sungguh memperlihatkan bagaiaman tanah Papua seolah-olah tak ada tuan dan seolah-olah orang-orang asing yang menjadi tuan tanahnya.

Tentunya ini bukan hal baru. Sejak lama Romo Joop Josephus M. Beek (akranya dikenal Romo Beek), seorang pastor Yesuit yang memiliki jaringan rahasia dengan BA Santamaria (akrab dipanggil ‘Bob’), seorang agen inteligen Austalia dan Amerika yang mengendalikan wilayah Asia—Pasifik ikut berperan penting pada abad ke-18 untuk menentukan status Papua. Bahkan sebelum segala sesuatu Papua belum terjadi seperti hai ini.

Romo Beek memiliki hubungan dengan Ali Mortopo, seorang muslim yang sangat dekat dengan Soekarno. Bahkan berperan penting dibalik peristiwa G30S hingga demi memenangkan PEPERA di tanah Papua. Sungguh seperti benih lama yang sudah tumbuh dalam postur gereja katolik dan GKI di Tanah Papua. Namun, tidak  tahu bagaimana perkembangannya setelah Indonesia berhasil menganeksasi—mengintegrasi tanah Papua.

Jaringan ini sangat kuat dalam postur agama dan gereja. Hingga pada 10 Mei 1962 menggerakan 19 orang diantaranya, 10 orang dari perwakilan katolik dan 9 orang dari GKI di tanah Papua—kebanyakan dari tenaga katekis migran dari Kei dan Indonesia wilayah lain. Kemudian ketemu Soekarno di Jakarta untuk menyerahkan tanah Papua dan masa depan orang di dalam ingkai NKRI.

Soal ini Made Supriatma, seorang peneliti yang tekun menjalankan investigasi dengan keterlibatan para intelijen dan jenderal di Asia Pasifi, secara khusus di Indonesia hingga Papua pernah menulis di IndoProgres. Sebuah media yang berbasis online dengan judul artikel “Kamerad Dalam Keyakinan: Pater Joop Beek, SJ dan Jaringan BA Santamaria di Asia Tenggara.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Belakangan ini banyak pemuka agama dan gereja ikut berperan penting di dalam. Tak hanya untukmenciptakan Papua Tanah Damai seratus persen. Juga untuk menciptakan penderitaan, kematian dan bakal kehancuran atas nama “Papeda” sekalipun—bukan makanan khas Papua. Banyak sekali para pemuka agama ‘berselingkuh’ dengan peguasa, pengusahadan perusahaan.

Beberapa oknum pastor, uskup, dan pendeta sangat dekat dan aktif memmbangun komunikasi dengan umat yang memiliki tanah adat, yang mengandung emas, tambang, uranium dan lain sebagainnya. Tetapi pada saat yang sama, mereka juga secara terpisah makan minum, jalan sama-sama dan mendapatkan banyak keuntungan dari sejumlah penguasa, pegusaha  dan perusahaan.

“Tanah ini milik gereja katolik, keuskupan Jayapura. Tetapi bapa uskup jual ke pengusaha. Kita kalau kelolah tanah misi gereja seperti ini baik, sebenarnya kita tidak susah. Tetapi bapa uskup tidak pernah mau dengar kami. Dia selalu dengar pengusaha dan penguasa”, kata seorang pastor katolik di keuskupan Jayapura ketika dia menjelaskan tentang status tanah di Gramedia Jayapura pada Januari 2021 lalu kepada saya—Soleman Itlay.

Ini hanya sebagai contoh kasus. Bahkan ini menandakan bahwa sistem kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme itu sudah lama berakar dalam postur agama dan gereja-gereja di tanah Papua. Hari ini memang ada yang masih pertimbangkan, malu, takut, hargai dan mengikuti [semacam] dogma gereja: walaupun itu salah, tapi karena itu uskup, pastor dan pendeta yang lakukan, makan biarkan saja, diam saja dan lain sebagainya.

Namun, paling tidak satu per satu, orang mulai mencium aroma sistem kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme yang semakin tumbuh dan kuat dalam masing-masing agam dan gereja di tanah ini. Sampai kapanpun posisi tiga raja, bahkan empat raja kalau ditambahkan dengan agama akan selalu eksis. Karena dari dalam maupun luar, mereka saling mendukung, menguntungkan dan menguatkan.

Kalau ditanya mengapa kamu lakukan demikian? Apa yang mereka jawab adalah seperti pepata kuno Romawi “banyak jalan menuju Roma”. Mereka akan katakan ini hanya sebuah upaya menuju Papua damai sejati. Tetapi tidak tahu apa yang kadang mereka bahas diam-diam, secara tertutup, terbatas dan rahasia tanpa melibatkan orang Papua.

Katanya lagi, kita tidak bisa menggunakan cara-cara emosinal, sentimental dan setrusnya. Jalan diplomatis dan dialogis adalah kunci untuk menciptakan Papua Tanah Damai tanpa kekeran dan kejahatan. Bahkan tanpa harus menjatuhkan pertumpahan dan memakan korban jiwa. Meski demikian,  siapapun tidak tahu seberapa banyak jiwa yang ditelan dengan jalan hitam yang setis seperti ini.

Dari sudut pelayanan yang penuh kemurniaan, sungguh-sungguh, dengan hati nurani, ketulusan dan keihklasan bagi orang Papua patut memberikan jempol. Perjuangan, pengorbanan dan nyawa para misinaris, migran dan pemuka agama yang hilang akibat melayani orang Papua patut dikenang, dihormati, dihargai dan tidak layak untuk melupakan sepanjang masa.

Sebab mereka membangun peradaban orang Papua dari titik nol yang tidak ada apa-apanya, penuh kegelapan, rintangan dan tantangan yang amat berat. Tetapi apapun alasannya, apabila terdapat indikasi terselubung dibalik nama Tuhan, agama, kemanusiaan, kebaikan, pembangunan, kemajuan, kesejahteraan, kerukunan, kemajemukan dan prdamaian harus dilihat dengan jelih. Bila perlu dikritis apabila itu memang sangat merugikan orang lain.

Ada banyak fakta yang sangat menarik, dimana banyak pemuka agama bermitra dengan pemerintah dan umat tertindas. Masing-masing membentuk organisasi keagamaan dan kegerejaan. Semuanya memiliki orientasi yang berbeda. Ada yang mendukung pemerintah dan ada pula yang menentang pemerintah. Seakan-akan agama dan gereja menjadi wahana kompentisi untuk kepentingan politik dan ekonomi ideologis.

Kelompok yang selalu berjalan bersama dengan pemerintah antara lain Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Persekutuan Gereja-Gereja di Tanah Papua (PGGP) dan lainnya. FKUB menghimpun dari semua denominasi agama, baik Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan lainnya. Sedangkan masing-masing komunitas agama dan aliran yang sama memiliki satu paying hukum.

Seperti PGGP yang menyatukan antara Protestan dan Papua, komuniitas serupa untuk kaum Muslim, Budha dan Hindu pun ada. Dari pemerintah pusat hingga daerah kelompok ini sudah berakar lama dan tumbuh berkembang dimana-mana. Basisnya sangat kuar, besar dan luas sekali.

Ada pula komunitas agama yang menurut pemerintah kontra dengan mereka dan menjadi pendukung dari kelompok nasionalis pro kemerdekaan di mata orang Papua dan separatis di mata pemerintah berwenang. Organisasi itu adalah Dewan Gereja Papua yang di dalamnya terdapat perwakilan dari Gereja Kemah Injil (GKI) Di Tanah Papua, Persekutuan Gereja-Gereja Baptis di West Papua (PGBWP), Gereja Injili Di Indonesia(GIDI) dan Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua (GKIP).

Kelompok ini tidak memiliki komunitas di tingkat kabupaten/kota, akan tetapi soal basis umat tidak perlu diragukan. Jika hendak dibandingkan, jumlah pendukung atau penganut mereka tidak kalah jumlah, bahkan bisa saja melampaui jumlah pendukung organisasi seperti FKUB, dan PGGP yang menjalar hingga di kabupaten/kota yang ada di tanah Papua.

Mereka ini paling senang mengkampanyekan Papua Penuh Damai (PAPEDA)—yang sesungguhnya menyangkal realitas dimana Papua sesungguhmnya Penuh Berdarah; bukan tanah yang diberkati Tuhan; bukan surga kecil yang jatuh ke bumi. Tetapi menjadi neraka besar di Indonesia paling timur; menjadi sarang kekerasan dan kejahatan, pelanggaran HAM dan kelak akan disebut bak neraka pemusnahan etnis pribumi minoritas—inferioritas.

Sementara itu, agama lain, seperti Islam, Hindu dan Budha ini tidak memiliki sikap keprihatinan dan keberpihakan yang jelas. Sama seperti gereja katolik yang selalu memilih jalan netral dan independen. Gereja-gereja ini mempunyai sikap yang abu-abu dan tidak jelas lebih berpihak kepada siapa. Namun partisipasi individu pemuka agama dan gereja masing-masig bisa dikelompokan: apakah dia mendukung siapa dan sedang apa.

Sikap pemuka agama yang paling kritis dan terbuka adalah selalu datang dari Dewan Gereja Papua. Mereka ini selalu lantang menyuarakan penderitaan, kerinduan dan harapan anggota jemaatnya. Mereka secara terang-terangan melawan pelanggaran HAM dan mendukung hak penentuan nasib sendiri bagi orang Papua. Juga mendukung penuh akan adanya upaya dialog yang melibatkan pihak pemerintah pusat dan orang Papua guna menyelesaikan konflik berkepanjag di tanah Papua.

Sama-sama memiliki peran yang besar dan pengaruh yang luas di tengah dinamika sosial masyarakat. Kadang kala mereka jalan sama-sama. Tapi kadang kala pula jalan sendiri-sendiri dengan paham, kepentingan dan ideologi yang berbeda. Sama-sama orang Indonesia dan Papua sekalipun kadang kalang diadudombakan dengan isu dan kepentingan terselubung masing-masing.

Paling menarik dari kedua kelompok ini, salah satunya yang mendukung segala kebijakan pemerintah pusat dan daerah, selalu menjadi senjata ampuh yang paling mematikan bagi orang Papua yang tertindas dengan dalil tertentu. Memang patut diakui bahwa kadang-kadang benar dan kadang-kadang terkesan hanya menipu orang Papua.

Tetapi pada waktu tertentu, terutama kalau ada peristiwa yang mengenaskan dan konflik di Papua, mereka sama-sama dilibatkan untuk meredahkan kondisi keamanan, ketertiban dan kedamaian umum. Pengertian sederhana lain mereka menjadi “orang-orang yang bertugas untuk ‘cebo’, kotoran dan menghapus kesalahan bagi para pelaku kekerasan, dan kejahatan serta kerusuhan di daerah tertentu. Inilah yang mungkin pantas disebut jika mereka tidak kurang dan lebih dari pemadam kebakaran—konflik bersenjata hingga perang suku tertentu.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

 

Hubungannya Dengan Tiga Kerajaan Modern

Kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme merupakan tiga serangkai yang tidak sekedar memilik sistem dan pusat produksi. Akan tetapi pada saat yang sama ketiganya memiliki kedekatan yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Posisi paling tertinggi jatuh di tangan imperialisme, dan kapitalisme mengendalikan sistem perekonimian melalui jalan kolonialisme.

Kekuasaan di lapangan dapat dikendalikan kolonial. Pada tingkatan menengah dapat diatur oleh kapitalis global, nasional dan lokal yang memiliki saham di tanah Papua. Namun pada tingkatan lebih atas lagi, semua orientasi eksploitasi sumber daya alam, pelanngaran HAM maupun pendudukan berjalan lancar dalam kendali imperialisme yang mendapatkan keuntungan lebih besar.

Beberapa negara Eropa dan Asia, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, China dan lainnya memiliki saham yang luar biasa. Di lapangan mereka percayakan Indonesia untuk mengendalikan segala kondisi dan potensi pemberontakan. Mereka masuk melalui pintu kekuasaan Indonesia. Pada saat yang sama juga mereka mendapatkan pemasukan ‘ilegal’ atas nama pendudukan Indonesia.

Tiga serangkai kerajaaa modern ini tidak akan pernah hidup dan memiliki nafas panjang. Salah satu pemasok oksigen terbesar bagi sistem kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme, bahkan monarki di Indonesia hingga sistem nepotisme di Papua sekalipun  berada di bawah ketiak agama dan gereja. Papua itu basis mayoritas Protestan dan Islam. Kemudian menyusulah Katolik, Hindu dan Budha.

Praktik kolonialisme, kapitalisme  dan imperialisme di Papua tidak akan pernah hidup lama jika agama dan gereja yang memiliki kekuatan masa jauh dari segala bentuk komunikasi, negosiasi dan kompromi tertentu. Kedekatan pemuka agama dan gerejalah yang mampu mempertahankan nafas dari mereka. Bahkan memperlemah posisi umat—masyarakat pribumi yang menjadi korbannya.

Kalau agama tidak ada, sungguh kolonial akan mati dalam satu detik. Kalau gereja tidak ada, kapitalisme akan jatuh dalam satu detik. Jika urat-urat nadi—organisasi pro imperialisme tidak ada, maka dia akan sirna sepanjang masa. Namun, yang memperpanjang nafsu mereka dan menciptakan penderitaan, kerusakan lingkungan, kemiskinan dan kematian bagi kau pribumi adalah oknum pemuka agama dan gereja di tanah Papua.

Posisi strategis, entalah sadar atau tidak sadar, mereka sangat menguntungkan pihak penguasa yang memperluas wilayah pendudukan di samping target meningkatkan eksploitasi terhadap sumber daya alam di tanah Papua. Tetapi di lain pihak, dia menekankan ruang gerak pemberontakan dan perlawanan yang berpotensi timbul dari kaum pribumi yang hendak menghambat kerja-kerja mencari keuntungan dengan pendekatan etis theologis.

Mereka selalu menguatkan posisi kolonial yang merintis jalan—menaruh badan dalam rangkah mempermudah akses produksi kapitalisme yang dapat dikendalikan pula dari sistem induk paling tertingginya, yaitu imperialism. Pada saat yang sama mereka selalu memperlemah eksistensi—kesadaran kaum pribumi untuk menjaga hak-hak dasar, sumber mata pencarian hidup dan nasib serta masa depan anak cucu.

Pihak asing—terutama para penguasa, pengusaha dan perusahaan yang memiliki modal, alat produksi, tenaga terampil dan intelektual yang mumpuni selalu memanfaatkan peran dari tokoh-tokoh agama dan adat guna melegalkan ekspansi, kekuasaan, keutuhan, kedaulatan dan eksploitasi sumber daya alam atas nama keamanan, kerukunan, dan kedamaian (rust en orde).

Tidak heran apabila di Papua sini terdapat banyak kaki tangan—mata-mata yang sengaja dibentuk, dididik, dipeliharan dan dibina agar menjadi “sekedar pemadam kebaran” atau menjadi juru selamat pada momen tertentu. Tak hanya selalu untuk mendukung kepada peemerintah berwenang, juga untuk menjadi penyambung lidah dari masyarakat kelas zet yang tidak diperhitungkan sama sekali di bawah.

 

Dari Merauke hingga Sorong kini menjadi basis daerah pendudukan modern, lahan kapitalisme dan nafas paling segar bagi imperialisme. Disana pasti memiliki kelimpahan sumber daya alam luar biasa. Posisi itu dapat memungkinkan jika akan senantiasa menarik daya pikat watak kapitalisme dan imperialisme yang menindas kaum etnis pribumi minoritas selama bertahun-tahun. Sekali lagi tidak heran karena nafas dari mereka ada di tangan pemuka adat dan agam di Papua.

Posisi mereka akan semakin baik dan kuat karena kadang kala di dalam sistem kolonialisme, kapitalisme dan imperialism di Papua, misalah terdapat kaki tangan—mata-mata dari penguasa, pegusaha dan perusahaan tertentu. Hubungan kedekatan antara gereja dengan penguasa dan pengusaha—pemodal akan selalu lebih menguntungkan mereka.

Tetapi akan menjadi penyakit bagi eksistensi manusia. Kaum minoritas sangat rentan mengalami pelanggaran hak-hak dasar hidup di segala sektor akibat berada pada posisi dilematis—antara mendapat perhatian dari pemuka agama dan gereja atau justru mereka memperlemah posisi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Sampai kapanpun tidak akan ada perubahan selama virus ada dalam tubuh manusia—postur agama dan gereja disini.

Setelah menyadari ini semua, kami—penulis seakan-akan ingin kembali pada abad ke-17. Lalu bertanya kepada misionaris. Bahkan kepada para pemuka agama dan gereja, baik migran Papua—non Papua yang lahir besar Papua, juga migran Indonesia yang datang hanya untuk melayani orang Papua di Papua. Termasuk di dalamnya juga ingin bertanya orang pibumi Papua yang aktif melayani umat dan membangun relasi dengan penguasa, pengusaha dan perusahaan.

Lebih awal diajukan bagi misionaris Eropa yang datang ke tanah Papua. Pertanyaanya: untuk apa para misionaris datang ke tanah Papua? Datang satas perintah siapa? Panggilan hati nurani atau atas perintah pimpina gereja mereka, kampus, ordo, tarekat, kokngregasi, kampus dan atau negara?Apakah datang untuk melayani pegawai dan militer yang pada waktu itu menguasai Papua atau untuk melayani orang Papua yang hidup dalam ‘kegelapan’?

Apakah mereka datang untuk menkristenkan/mengkatolikan/mengislamnkan orang Papua atau untuk kepentingan apa? Apakah mereka datang untuk membaptis orang Papua atau meinpu orang Papua? Apakah mereka datang untuk menyelamatkan orang Papua atau ikut menindas orang Papua atas nama Tuhan, agama, kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, pembangunan, kemajuan, kesejahteraan dlsb?

Pertanyaan yang sama juga perlu diajukan untuk para pastor, pendeta, haji, maha guru dan lainnya dari kaum migran Indonesia ataupun pribumi Papua. Pertanyaannya: untuk apa mereka berani meninggalkan kampung halaman, keluarga dan datang ke tanah Papua? Apa yang membuat mereka ingin menjadi hamba Tuhan untuk melayani umat di tanah Papua?

Apakah mereka datang dengan kehendak bebas sendiri atau atas panggilan, suruhan dari orang lain, lembaga gereja, negara dan militer? Apa yang mendorong mereka ingin menjadis eorang pelayan disini? Datang kesini untuk melayani migran Indonesia atau pribumi Papua: pegawai pemerintah, aparat keamanan dan militer? Atau mau layani masyarakat sipil, umat Allah dan atau mau layani, baik orang asli Papua maupun non Papua sama-sama?

Datang untuk menyelamatkan orang Papua atau mendukung otoritas pemerintah guna mencaplok hak-hak dasar serta menindas kaum minoritas disini? Datang untuk meng-Indoensiakan atau mem-Papuakan? Datang untuk meng-Eropakan, meng-Asiakan dan mengasingkan? Atau hendak menyadarkan, memanusiakan, dan membebaskan—bukan sekedar membangun, memajukan, mensejahterakan dan memusnahkan? (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.