Dua Anak Jadi Korban, KontraS Kecam Kontak Senjata di Intan Jaya

0
965

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras peristiwa kontak senjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) dengan Pasukan Gabungan TNI/Polri di Intan Jaya yang berakibat pada tertembaknya dua (2) orang anak.

Adapun dua korban anak yang tertembak tersebut yakni Nopelinus Sondegau (2 tahun) dan Yoakim Mazau (6 tahun). Satu diantaranya yakni Nopelinus meninggal dunia dan satu lainnya tertembak pada bagian punggung.

“Kami melihat peristiwa ini merupakan bagian dari konflik yang tidak berkesudahan dan pada akhirnya hanya menimbulkan kerugian bagi warga sipil,” tulis KontraS dalam siaran persnya yang diterima media ini pada Rabu (28/10/2021).

Dijelaskan, dua anak yang menjadi korban kontak senjata sudah cukup menjadi peringatan keras bagi negara untuk mengubah pendekatan dan cara pandang menghadapi permasalahan konflik yang ada di Papua. Pendekatan yang cenderung mengedepankan metode militerisasi atau sekuritisasi senyatanya tak berhasil menyelesaikan persoalan. Bahkan, jalan penyelesaian ini justru kembali memakan korban, yang utamanya merupakan warga sipil.

“Kami melihat bahwa langgengnya peristiwa kekerasan di Papua merupakan hasil dari gagalnya negara mencari jalan keluar atas permasalahan sistemik yang ada. Kami juga melihat bahwa peristiwa ini merupakan bukti Negara gagal memberikan perlindungan terhadap hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan bebas dari kekerasan serta diskriminasi,” tegas Rivanlee Anandar, Wakil Koordinator Badan Pekerja KontraS.

ads
Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Padahal, lanjut Rivanlee Anandar, Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menjamin bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk tindakan kekerasan. Terlebih, Pasal 19 ayat (1) Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memandatkan agar negara pihak harus mengambil seluruh tindakan untuk melindungi anak dari seluruh bentuk kekerasan fisik dan mental.

Pendekatan kekerasan yang terus dilakukan selama ini di Papua tentu kontraproduktif dengan mandat instrumen hak anak baik di level nasional maupun internasional.

Menurut KontraS, peristiwa tertembaknya dua orang anak tersebut sekaligus membuktikan bahwa kontak senjata yang terjadi di Papua antara TPN-PB dengan TNI/Polri hanya akan memakan korban berikutnya. Kami mengecam keras seluruh tindakan kekerasan yang dilakukan selama ini, sebab telah terbukti memakan korban masyarakat sipil, terkhusus anak sebagai generasi penerus bangsa.

Baca Juga:  Pencaker Palang Kantor Gubernur Papua Barat Daya

“Kami mendesak agar peristiwa ini dapat diusut secara tuntas dan berkeadilan dengan memperhatikan prinsip terbaik bagi anak. Seluruh pelaku penembakan harus diseret ke muka pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui mekanisme peradilan pidana,” tegas Rivanlee Anandar.

Lebih jauh, Negara harus memperjelas situasi keamanan yang ada di Papua saat ini. Militer dan aparat keamanan tidak bisa terus menerus diterjunkan menuju Bumi Cenderawasih selama status keamanannya masih tertib sipil. Dalam konteks pengerahan militer, UU TNI telah mengatur bahwa pasukan dapat dikerahkan dalam kerangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP) pasca dikeluarkannya kebijakan dan keputusan politik Negara.

Akan tetapi selama ini, penerjunan aparat secara masif dengan skala besar selalu menjadi opsi bagi pemerintah untuk menangani konflik, walaupun tak memiliki dasar hukum yang jelas. Terlebih metode yang dipilih selama ini terbukti tidak efektif dan hanya menimbulkan korban jiwa berikutnya.

Baca Juga:  Polri akan Rekrut 10 Ribu Orang untuk Ditugaskan di Tanah Papua

Selanjutnya, korban yang berasal dari kalangan masyarakat sipil, tak terkecuali anak-anak berpotensi besar kembali menjadi korban jika akar konflik tidak segera diselesaikan secara utuh. Dalam periode 2021 saja, kami mencatat bahwa setidaknya telah terjadi 35 peristiwa kekerasan yang menempatkan warga sipil menjadi korban.

Adapun ragam peristiwa tersebut meliputi penembakan, pengrusakan fasilitas, pembakaran rumah warga, penganiayaan, dan salah tangkap. Beberapa peristiwa tersebut telah berimplikasi pada kerugian, utamanya terhadap warga sipil sehingga mereka harus mengungsi dari tempat tinggalnya.

“Selain mengungsi, kami mencatat bahwa konflik yang berlanjut di tahun 2021 telah menimbulkan 25 orang luka, 14 orang tewas, dan 106 ditangkap,” ungkapnya.

Atas dasar uraian di atas, kata dia, KontraS mendesak negara: Pertama, menjamin akses informasi untuk mengetahui secara pasti dan jelas peristiwa yang terjadi dan telah berakibat tertembaknya dua orang korban anak; Kedua, mengusut tuntas dan berkeadilan peristiwa tertembaknya dua orang korban anak; dan
Ketiga, menjamin hak atas rasa aman warga setempat, sebab diduga ada upaya penyerangan balik.

REDAKSI

Artikel sebelumnyaHari Ini Tidak Ada Penerbangan Sipil dari dan ke Sugapa
Artikel berikutnyaYoakim Majau (6) Sudah Jalani Operasi Pengangkatan Peluru