Maria Ressa, Jurnalis Peraih Nobel Perdamaian 2021

0
1023

Oleh: Thomas Ch Syufi)*
*) Penulis adalah aktivis HAM dan Advokat muda Papua

Pada Senin, 11 Oktober 2021,  dunia, termasuk Indonesia dihebohkan oleh berbagai media atas seorang jurnalis  sekaligus pendiri media Rappler  di Filipina, Maria Angelita Ressa(58), menjadi pemenang hadiah Nobel Perdamaian. Penghargaan bergengsi dunia ini diberikan kepada Marisa Ressa karena kegigihan dan konsistensinya menyuarakan dugaan penyalagunaan kekuasaan(abuse of power)  pemerintahan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.

Di mana, sejak Rodrigo Duterte naik ke panggung kekuasaan Fililpina sebagai presiden(2016), berbagai kebijakannya, terutama hukuman mati terhadap para bandar narkoba dan pengguna obat-obat terlarang lainnya sangat mengenaskan sekaligus menyedihkan. Kebijakan yang ditempuh Duterte  sejak menjadi presiden telah menyebabkan lebih 6.000 jiwa melayang, banyak di antaranya terjadi pembunuhan di luar hukum(extra judicial killing).

Duterte memang berhasrat  besar untuk mereaktiviasi atau membangkitkan kembali rezim diktator yang pernah bercokol di Filipina pada era Ferdinand Marcos.  Hal itu diperlihatkan oleh Duterte secara gamblang melalui pernyataannya bahwa  lebih baik Filipina dipimpin diktator seperti Ferdinand  Marcos. Ungkapan glorifikasi  dan kekaguman atas Duterte terhadap Marcos ini setidaknya bisa menyakiti hati rakyat Filipina atas  brutalisme rezim Ferdinand Marcos selama dua dekade yang berakhir dengan penggulingannya dalam sebuah pemberontakan rakyat atau dikenal revolusi “People Power” yang didukung oleh tentara tahun 1986.

Ribuan orang, termasuk para oposisi, lawan politik, dan aktivis ditangkap, disiksa, dipenjara, dibunuh, atau bahkan dihilangkan secara paksa di bawah darurat militer yang diperlakukan Ferdinand Marcos pada 1972. Di zaman Marcos-lah terjadi peristiwa pembunuhan terhadap pemimpin oposisi Benigno Aquino  Jr. Marcos memerintah Filipina dengan tangan besi, ia aktif menciptakan sungai darah dari rakyat sendiri.  Tidak hanya sebagai seorang despotis atau penguasa yang lalim, tetapi Marcos juga dikenang sebagai seorang diktator yang korup.

ads

Ia sebagai presiden Filipina ke-10 sejak negara itu  diakui kemerdekaannya oleh Amerika Serikat 1 Juli 1946. Marcos yang memerintah Filipina selama 20 tahun sebelum akhirnya digulingkan oleh demonstrasi yang digerakan oleh lawan politik dengan dukungan militer pada 25 Februari 1986 itu diduga bersama keluarganya menggelapakan(mengorupsi) uang kas negara sekitar US$10 miliar(atau setara 141,4 triliun rupiah).

Mereka memanfaatkan kroni-kroni bisnis serta bank asing rahasia untuk menyembunyikan aset mereka. Pengadilan Filipina menjatuhkan vonis 77 tahun penjara (sidang digelar secara absensia) atas sejumlah kasus korupsi yang dilakukan Imelda Marcos saat mendampingi suaminya Ferdinand Marcos menjabat presiden(30 Desember 1965-25 Februari 1986). Walaupun mantan ibu negara itu kemudian lolos dari tahanan dengan membayar jaminan sebesar US$2,846(sekitar lebih dari 41 juta rupiah).

Marcos kemudian memboyong keluarganya kabur ke Hawaii, Amerika Serikat, tidak lama setelah dilengserkan dari kursi presiden. Namun anak-anak dan istrinya, Imelda Marcos kemudian kembali ke Filipina setelah ia meninggal dalam pengasingan pada 1989. Jadi Ferdinand Marcos tersungkur dari kursi presiden Filipina karena ada tiga hal prinsipil: kediktatoran, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia(HAM).

Kini keluarga Marcos ingin membangun kembali citra mereka setelah sekian lama hidup di pengasingan. Ikhtiar pemulihan citra keluarga Marcos kepada publik Filipina itu memiliki dimensi politik, yaitu  kedua anak Marcos ingin terjun ke dunia politik. Imee, anak tertua dari Marcos berhasil memenangkan kursi senat Mei 2019. Namun, saudaranya yang dinamai Ferdinand “Bong Bong Marcos Jr, menuai kegagalan dalam pemilihan wakil presiden 2016 secara terpisah untuk mendampingi presiden Rodrigo Duterte yang pro-terhadap keluarga Marcos. Tentu kekalahan tersebut memiliki hubungan kausalitas(atau memperoleh pembenarannya) sebagaimana dilukiskan oleh Phaedrus(15-50), filsuf Romawi abad ke-I, “Siapa pun yang terdeteksi melakukan kecurangan yang memalukan, tidak akan pernah dipercaya meskipun mereka berbicara tentang kebenaran”.

Karakter pemerintahan Marcos yang dinilai buruk itu justru ditoleransi dan mendapat apresiasi dari  Rodrigo Duterte. Duterte menggunakan kekuasaanya sebagai presiden mengusulkan supaya proses penyelidikan kekayaan keluargaan Marcos dihentikan alias “dilemarieskan”.  Bahkan Duterte mengampuni sekaligus mengizinkan jasad Marcos dimakamkan di Taman Makam Pahlawan atau Heroes  Cementery, di Manila, Filipina, Sabtu(18/11/2016). Padahal banyak rakyat Filipina yang memprotes dan mengecam kebijakan Duterte yang tidak pantas untuk memberikan tempat terhormat kepada seorang presiden yang berada di belakang penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan ribuan orang, yang sampai sekarang belum terungkap.

Meski Duterte melakukan apologi dan pengampunan secara individu atau  atas nama permerintah Filipina terhadap mantan diktator Ferdinand Marcos, namun pengampunan itu tidak digeneralisir sebagai pengampunan kolektif dari seluruh rakyat Filipina. Karena, peristiwa kelam masa lalu(memoria passionis) berupa kejahatan terhadap hak asasi manusia yang terstruktur, sistematis, dan masif, tidak cukup hanya dengan meminta maaf. “No peace without justice, tak ada perdamaian tanpa keadilan,’ kata Paus Yohanes Paulus II(1920-2005).  Tentu masyarakat Filipini bersedia melakukan pengampunan dan rekonsiliasi apabila keadilan hukum bagi Marcos dan keluarganya harus ditegakkan agar setara dengan prinsip politik Nelson Mandela(1918-2013), negarawan Afrika Selatan,  “Forgive but don’t forget, (masa lalu) dimaafkan, tapi jangan dilupakan”.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Duterte membuat kebijakan  yang kontraversial dan melukai hati mayoritas rakyat Filipina atas kekejaman  Marcos di masa lalu, melakukan kejahatan HAM dan menggarong uang rakyat. Ia bahkan tanpa ragu dan gamblang pernah mengatakan bahwa  lebih baik Filipina dipimpin oleh diktator seperti Ferdinand Marcos.”Lebih baik Filipina dipimpin oleh diktator jika ia tidak ada karena korupsi dan obat-obatan terlarang begitu mengakar di Filipina,’ kata Duterte.

Tampak Duterte lupa dengan karakter seorang diktator yang sudah tentu memimpin sebuah negara justru melakukan berbagai kebijakan yang akan menanbrak nilai-nilai kemanusiaan. Diktator memang memimpin negara dengan disiplin, tetapi kebanyakan mengabaikan martabat kemanusiaan.  Diktator sulit melihat politik sebagai seni yang mengandung kesantunan, yang mana ada ruang perdebatan, dialektika, ada oposisi, ada demokrasi, ada demonstrasi,  ada konflik, ada konsensus. Justru sebaliknya, diktator melihat  kritik dari kelompok oposisi, lawan politik,  dan aktivis, atau siapa pun yang berbeda pendapat atau silang pandangan, apalagi menentang kebijakan pemerintah adalah musuh pemerintah  yang harus dilibas. Seorang diktator selalu melihat orang  yang berbeda pendapat, mengontrol, dan mengkritik pemerintah , bukan sebuah proses yang dapat meyejukkan paru-paru demokrasi, tetapi justru itu diidentikan sebagai musuh yang mengganggu kenyamanannya, hingga perlu dilawan atau dibersihkan. Hal ini menyerupai apa yang dikatkan oleh Thomas Hobbes(1588-1679), filsuf empirisme Inggris, “Homo homuni lupus, bellum omnium contra omnes/the war of  all against all”(manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lain, perang semua, melawan semua).

Dalam pemerintahan diktator selalu akrab dengan kekekerasaan, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Banyak fakta yang menyatakan bahwa tidak selamanya seorang diktator itu selalu memimpin dengan jujur dan bersih, hingga ia bisa sukses juga memberantas para koruptor dan  pengguna serta mengedar obat-obatan terlarang seperti yang dikatakan oleh Duterte.

Justru di balik pemerintahan diktator, banyak  melahirkan korupsi, melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan menjauhkan kemampuannya untuk menjalankan  misi negara  untuk mewujudkan masyarakat adil, damai, sejahtera, dan demokratis. Karakter kekuasaan yang cenderung disalahgunakan itulah yang dilukiskan oleh Lord Acton(1834-1902), sejarawan Inggris kelahiran Napoli, Italia: “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely(kekuasaan yang cenderung korup, cenderung melahirkan korupsi yang absolut juga). Selain itu, senjata terbaik dalam pemerintahan diktator adalah  kerahasiaan, sedangkan senjata paling baik dalam pemerintahan demokrasi adalah “keterbukaan.”

Penghargaan Nobel

Penganugerahan Nobel Perdamaian kepada Maria Ressa oleh komite hadiah Nobel Perdamaian menujukkan bahwa apa yang digagaskan dan diperjuangkan oleh Maria Ressa memperoleh pembenaran. Sebab selama ini ia secara konsisten berjuang untuk kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia selalu mendapat resistensi dari pemerintahan Duterte yang bisa dikatakan otoriter bahkan mengarah menjadi diktator.

Nobel Perdamaian yang diberikan kepada Maria Ressa tentu harus menjadi pukulan telak terhadap pemerintahan Duterte bahwa sejumlah kebijakan yang diluncurkan selama ini bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hingga memicu keprihatinan bagi para pemahati dan jurnalis, termasuk Maria Ressa untuk melakukan advokasi dan investigasi dengan mengungkap semua kebobrokan pemerintahan Duterte. Maria Ressa terkejut mendapat Nobel Perdamaian 2021.”Penghargaan Nobel Perdamaian ini menujukkan komite hadiah Nobel Perdamain menyadari bahwa dunia tanpa fakta berarti dunia tanpa kebenaran dan kepercayaan,”kata Maria Ressa, dalam pidatonya saat menerima hadiah Nobel Perdamaian, di Oslo, Norwegia, Senin( 11/10 2021).

Komite hadiah Nobel tentu memandang bahwa Maria Ressa sangat berjasa bagi rakyat Filipina, karena menggunakan kebebasan berekspresi untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasaan, dan otoritarianisme pada rezim Duterte. Maria Ressa membalas kekerasaan dengan keadaban. Ia berjuang dengan cara-cara yang damai melalui media digital independen, Rappler,  yang ia salah satu pendirinya sejak tahun 2012 itu secara terbuka dan berani mengkritik Preisiden Rodrigo Duterte dan pemerintahannya.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Secara luas, Rappler, telah menerbitkan perang mematikan presiden pilihan rakyat, Duterte terhadap narkoba, pengambil padangan kritis atas isu-isu misogini(rasa tidak suka atau benci terhadap wanita), pelanggaran HAM, dan korupsi.

Sejak media Rappler didirikan Ressa duduk sebagai CEO. Dengan kapasitas tersebut, Ressa mulai vokal dengan mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai non-populis  dan melanggar norma-norma kemanusiaan. Ia secara terang mengkritisi ketidakberesan rezim Duterte  berupa kampanye anti-narkobanya  yang dinilai sarat pelanggaran HAM.  Duterte menyerahkan semua kewenangan menyakut persoalan kejahatan narkoba dan penggunaan obat-obat terlarang kepada aparat kepolisian Filipina. Polisi menggunkan kewenangan itu mulai gencar melakukan penangkapan besara-besaran terhadap para pengedar dan pengguna narkoba. Hingga polisi membunuh para anggota kriminal atau pengguna obat-obat terlarang. Bahkan diperkirakan sejak tahun 2016-2019 sudah 6.000 orang yang mati karena kebijakan Duterte, dan sebagian besar dibunuh di luar proses  hukum(extra judicial killing).

Namun, perjuangan Ressa yang penuh dengan kesantunan dan kedamaian itu direspon dengan pendekatan koersif oleh pemerintah Duterte. Ia pun hidup dalam ancaman, tekanan, teror, dan intimidasi oleh para penguasa. Rezim Duterte juga melancarkan serangan verbal dan non-verbal terhadap pribadi Ressa dan Rappler melalui media sosial dengan menyebarkan berita palsu, melecehkan lawan, memanipulasi opini publik.

Duterte pun secara blak-blakan menuduh  bahwa media Rappler adalah membonceng kepetingan “Paman Sam” atau Rappler sebagai media berita palsu dan sekaligus alat CIA(Central Intelligence Agency/Badan Intejelens Pusat Amerika Serikat). “Rappler merupakan media boneka yang sepenuhnya milik Amerika Serikat,” kata Duterte.

Tidak terputus. Karena saking kritis, Rappler pun harus minum kepahitan dengan dicabut izin oleh pemerintah Duterte pada tahun 2018.  Namun Ressa tak takut dan gentar, apalagi berlutut, atau mundur di hadapan penguasa atas pencabutan izin tersebut. Justru ia  tetap melanjutkan sikap kritisnya terhadap pemerintahan yang tak adil, tak demokratis, dan tak manusiawi itu. Akhirnya ia ditangkap polisi, menjalani proses hukum hingga vonis pengadilan bersalah dengan ganjaran hukuman enam tahun penjara terkait UU Fitnah di Media Sosial. Namun, usai putusan hakim atas dirinya, Ressa diizinkan untuk tetap bebas, sambari menunggu kemungkinan banding atas vonis hingga enam tahun.

Ressa yang merupakan wartawan terpandang di Filipina ini tak pernah gentar dan takut atas beragam acanaman yang dilakukan oleh rezim Duterte terhadap dirinya. Baik itu ancaman teror, intimidasi, kriminalisasi, hukuman penjara, bahkan tentu ancaman pembunuhan pun membayangi  Ressa. Namun, beragam ancaman itu tidak pernah menyurutkan semangat juang dan resistensi Maria Ressa terhadap ketidakadilan rezim Duterte.

“Kami akan melawan segala bentuk serangan terhadap kebebasan pers,” kata Ressa, usai menerima vonis hukuman di Manila, Senin(15/6/2020).  Dari perspektif humanisme, ungkapan Ressa ini mengekspresikan  bahwa harkat dan martabat manusia terletak pada ada atau tidaknya kebebasan. Sebab itu, Franklin Delano Roosevelt, presiden AS di awal Perang Dunia II, tanggal 6 Januari 1941 di depan Kongres, ia mengajukan empat jenis kebebasan, yakni, kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan berkeinginan, dan kebebasan dari ketakutan. “Kebebasan berbicara adalah lentera yang menyiangi jalan hidup,” kata Roosevelt.

Tentu bagi Ressa bahwa perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di negara yang dijuluki sebagai “jantung Katolik Asia” itu merupakan jalan terbaik bagi dirinya dan  rakyat, serta untuk masa depan generasi Filipina. Maria Ressa telah mengambil peran dan tanggungjawab yang berat ini– mengikuti jejak Santa Maria(Bunda Gereja) yang secara homonim dan homograf memiliki kemiripan nama—yang telah mengambil risiko yang sangat besar dengan menyatakan Ya, terhadap Malaikat Gabriel, untuk mengandung Kristus. Walaupun ia belum bersuami dan Bunda Maria pun berkata dalam bahasa Ibrani  yang diterjemahkan ke bahasa Latin: “Fiat Voluntas Tua”,-Terjadilan Menurut Kehendak-Mu.  Itulah Maria mendemonstrasikan imannya dengan ketaan yang tanpa syarakat kepada hekendak dan rencana Allah.

Karena ketaatan dan kesetiaan pada keyakiannya, Socrates(469-399), filsuf  Yunani kuno pun harus mengakhiri hidupnya dengan meminum racun. “Lebih baik mati demi sebuah keyakinan, daripada mengorbankan keyakinan itu sendiri,” kata Socrates. Maria Ressa memang dimusuhi oleh Duterte, karena ia memperjuangkan keadilan, kebebasan, dan kemanusiaan. Ia berani membongkar segala ketidakbecusan pemerintahan Duterte yang menjauhkan kemampuannya untuk menghormati martabat kemanusiaan dengan jalan membunuh ribuan orang bandar narkoba dan pengguna obat-obat terlarang.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Bahkan sebagian dari korban hukuman mati di Filipina oleh rezim Duterte banyak yang terjadi di luar proses pengadilan. Hal ini mencerminkan sikap pemimpin yang tak menghormati hukum dan anti-demokrasi. Karena pengadilan merupakan pilar terakhir penegakan keadilan dan demokrasi. Hukum  yang merupakan jalan peradaban untuk menegakkan keadilan dan kebenaran tak dihormati oleh Duterte. Apalagi salah satu asas hukum yang dianut secara universal yang harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh Duterte sebagai presiden, yaitu Presumption of innocence(praduga tak bersalah).

Jadi, setiap orang berhak dinyatkan tak bersalah hingga ada putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap(inkracht van gewijsde). Selain itu, tujuan hukum adalah untuk menjaga kedamaian dan menegakkan martabat manusia, serta menjaga kesinambungan peradaban manusia, jika manusia sudah terlindas, apa arti hukum yang ada. Jelas, pembunuhan di luar proses pengadilan tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun, karena itu deviasif dari asas hukum yang berlaku umum dan merupakan mengkhianatan terhadap nilai dan martabat kemanusiaan.

Tindakan Duterte ini akan menjauhkan Filipina dari basisnya sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia.”When the people fear their government, there is tyranny; when the government fear the people, there is liberty.” Ungkapan dari Thomas Jefferson(1743-1826), presiden Amerika Serikat ketiga(1801-1809), konseptor sekaligus pencetus Deklarasi Kemerdekaan dan bapak pendiri Amerika Serikat ini memiliki makna, “Ketika rakyat takut kepada pemerintahnya, maka itulah tirani, dan pemerintah takut kepada rakyatnya, maka itulah demokrasi(kemerdekaan).

Pada esensinya, kedaulatan negara tidak absolut, karena negara wajib melindungi dan menghormati HAM rakyatnya. Dengan demikian intervensi kemanusiaan, atau interupsi  pers terhadap tindakan dehumanisasi bisa dibenarkan karena bertujuan menjaga nilai-nilai universal kemanusiaan. Maka, perjuangan demi menegakkan nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan yang dilakukan oleh Maria Ressa perlu dihormati dan didukung oleh siapa atau lembaga apa pun. Dukungan tidak hanya oleh komite hadiah Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia, tetapi juga didukung oleh semua negara di dunia, termasuk pemerintah Duterte, juga pemerintah Indonesia.

Kebebasan pers  di Indonesia juga merupakan persolan yang cukup pelik dan serius seperti  Filipina. Kebebasan pers kerap kali dibungkam oleh penguasa, terutama di daerah konflik, seperti Papua,  yang mengungkap fakta dan membentangkan kebenaran selalu dikekang  kebebasanya, dengan cara intimidasi, teror, dan krimininalisasi. Misalnya, aksi teror terhadap Victor Mambor, Pemimpin Umum Tablid Jubi, di Jayapura, Papua. Di mana, mobil milik wartawan senior  Jubi itu terparkir di tepi jalan dekat rumahnya, dirusak oleh orang tak dikenal pada Rabu, 21 April 2021.

Pemerintah juga sempat memblokir  situs media online Suara Papua pada 2016. Sebelumnya, aksi teror juga dialami oleh wartawan Fajar Papua, Yakob Onweng dan wartawan Radar Sorong, Dominika Hunga Andung yang dilaporkan ke Polres Kaimana, Papua Barat tertanggal pada 19 Januari 2013. Aksi teror oleh orang tak dikenal itu diduga terkait dengan pemberitaan soal nama seorang pejabat di Kaimana, Papua Barat yang dinilai mengandung fitnah dan mencemarkan nama pejabat yang bersangkutan.

Pers di Papua yang kritis selalu dituduh pro-Organisasi Papua Merdeka(OPM),  pendukung disintegrasi, atau pembuat berita fitnah. Padahal, peran pers adalah mendorong proses demokratisasi di tanah Papua melalui pemberitaan yang objektif dan transparan. Semoga penghargaan Nobel Perdamaian yang diberikan kepada Maria Ressa menjadi sebuah momentum kontemplasi dan proyeksi  bagi bangsa Indonesia ke depan, terutama pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi  untuk tetap menjadikan pers sebagai lentera yang menyiangi jalan hidup berbangsa dan bernegara, serta menghormati fungsi  pers untuk terus menghibur yang papa dan mengingatkan yang mapan.

Kita wajib mendukung kebebasaan  pers di Indonesia, termasuk  Papua—untuk tetap eksis dan independen—dalam menyajikan berbagai informasi atau peristiwa kepada masyarakat(pembaca) melalui proses jurnalistik yang objektif, bukan menjadi budak kekuasaan dengan mendistorsi fakta. Sebab fakta itu suci, maka ada postulat hukum yang berbunyi, “Cum ad sunt testimonia rerum, quid opus est verbis, saat bukti dari fakta-fakta ada, apa artinya kata-kata. Perbuatan atau fakta lebih kuat daripada kata-kata(facta sunt potentiora verbis)! Semoga.

Artikel sebelumnyaAnggota DPRPB Minta Pemerataan Guru di Kabupaten Sorong
Artikel berikutnyaPSSI Larang Rivaldo Ferre Bermain Selama Satu Tahun