Surat Natal Uskup Jayapura untuk Siapa?

0
1308

Oleh: Petrus Pit Supardi)*
)* Penulis adalah adalah umat Katolik. Saat ini aktif dalam gerakan pemberdayaan masyarakat kampung di Kabupaten Nabire

“Surat gembala dari Uskup Leo Laba Ladjar tidak menarik.  Saya kira bukanlah surat gembala oleh seorang pimpinan Gereja yang ada di atas tanah Papua ini. Surat ini, cocok sebagai pekerjaan para humas PON, sebab isinya hanya puja-puji penyelenggaraan PON,” tulis seorang aktivis kemanusiaan di WhatsApp grup, 25 Desember 2021.

Papua, manusia, budaya dan alamnya sedang menderita. Kita melihat sampai dengan hari Natal, 25 Desember 2021, masih ada pengungsi Nduga, Intan Jaya, Kiwirok, Maybrat. Demikian halnya, konversi hutan alam dengan perkebunan kelapa sawit masih terjadi di Merauke, Boven Digoel dan Sorong. Rencana pertambangan di blok Wabu, Intan Jaya menimbulkan operasi militer di sana. Demikian halnya, eskalasi politik Papua merdeka tidak pernah surut. Papua menjadi kubangan pertarungan kepentingan ekonomi, ideologi dan politik yang belum menemukan titik cerah!

Dalam situasi seperti itulah, Gereja Papua, termasuk Gereja Katolik (di) Papua berkarya. Yesus dan Injil menjumpai Papua yang sedang tidak baik-baik saja! Gereja Papua bukan “rumah aman” melainkan “rumah perjuangan” untuk mencapai hidup sejahtera lahir dan batin. Gereja Papua, menjadi tumpuan harapan akan masa depan yang lebih baik. Sebab, Gereja memiliki gembala, yang tidak mungkin meninggalkan kawanan domba diterkam oleh singa dan harimau buas!

Meskipun demikian, tidak semua gembala berhati Papua. Tidak semua gembala masuk ke dalam rumah hidup orang Papua. Tidak semua gembala merasakan penderitaan, pergumulan dan kecemasan orang Papua. Tidak semua gembala mau terlibat di dalam upaya pembebasan Papua!

ads
Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Kita melihat dengan jelas dan terang benderang, pilihan sikap gembala, sebagaimana yang tertera dalam surat Natal, yang diterbitkan oleh Uskup Jayapura, Mgr. Leo Laba Ladjar OFM dengan judul, “Kita Semua Bersaudara.” Seyogianya surat Natal, yang dikeluarkan Uskup dan dibacakan di setiap gereja pada perayaan Natal tersebut mengangkat realitas, data dan fakta kehidupan umat beriman di keuskupan Jayapura, dan Papua pada umumnya dalam terang Injil dan semangat kelahiran sang Putra Allah!

Kenyataan justru terbalik. Uskup Leo mengawalinya dengan memberikan pujian atas pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua, Oktober 2021 silam. Apa relevansi kesuksesan pelaksanaan PON dengan kenyataan kehidupan orang Papua yang mengungsi di Nduga, Intan Jaya, Kiwirok, Maybrat? Apa hubungan Uskup Leo dengan PON?

Demikian halnya, Uskup bicara tentang dialog interreligious, dalam rangka membangun persaudaraan umat manusia. Membicarakan persaudaraan, sambil mengabaikan berbagai kekerasan yang terjadi di tanah Papua hanyalah penipuan belaka! Uskup Leo bicara persaudaraan, tetapi melupakan umat, kawanan dombanya yang menderita di pengungsian.

Seorang aktivis perempuan terkemuka di Papua menulis di WhatsApp, “Saya bayangkan surat macam ini dibaca di gereja Mabilabol, di tengah beban umat di sana, yang sedang menanggung pengungsi dari Kiwirok atau dibaca di gereja-gereja di Wamena yang sehari-hari melihat pengungsi Nduga, macam apa perasaan mereka? Saya heran, Uskup Jayapura makin hilang rasa kemanusiaannya sebagai seorang gembala!”

Seorang Pastor muda bahkan secara blak-blakan bilang dia tidak membacakan surat itu di gereja! “Saya tidak mau baca. Jadi, saya tidak baca,” tulisnya melalui pesan WhatsApp. Pastor muda tersebut tentu merasa Uskupnya mengkhianati domba-domba yang dipercayakan kepadanya! Bagaimana mungkin, seorang Uskup di tanah Papua, sepanjang dua belas bulan di tahun 2021 ini, pada saat menulis surat Natal, tidak menyingung persoalan mendasar yang diderita kawanan domba orang Papua. Kita bertanya, “Uskup Leo menjadi Uskup di Keuskupan Jayapura, tanah Papua untuk siapa?”

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Padahal, jauh di sana, para Uskup PNG dan Kepulauan Salomon, melalui Uskup Agung Anton Bal menerbitkan surat yang mendesak agar permasalahan Papua dapat segera diselesaikan melalui dialog! Uskup di PNG dan Salomon peduli pada Papua, sedangkan Uskup Leo, yang tinggal di pusat pemerintahan Papua, di kota Jayapura, justru mengabaikan penderitaan orang Papua di dalam surat Natalnya itu.

Kita bertanya, “Surat Natal 2021, dari Uskup Jayapura, Mgr. Leo Laba Ladjar OFM untuk siapa?” Surat Natal itu, “kena kosong!” Surat Natal itu, tidak mengobati, apa lagi menyembuhkan luka dan penderitaan orang Papua. Surat Natal itu menambah deret luka bagi Papua. Surat Natal itu semakin membuka tabir bahwa Uskup Leo tidak peduli pada penderitaan kawanan domba orang Papua!

Kita mengakui seorang Uskup memiliki keterbatasan dalam banyak aspek. Tetapi, kita juga harus mempertanyakan, “Mengapa Uskup Leo menulis surat Natal, yang tidak sejalan, tidak cocok dengan kondisi hidup kawanan domba di Keuskupan Jayapura dan Papua pada umumnya? Ada si(apa) di balik surat Natal Uskup Leo ini?” Kita bertanya, karena Uskup Leo diutus ke tanah Papua, Keuskupan Jayapura karena ada kawanan domba orang Papua! Uskup Leo datang melayani orang Papua-dan tentu semua umat Allah yang tinggal di Keuskupan Jayapura-dalam konteks Papua, bukan di daratan dan pulau lain!

Kita juga berterima kasih atas ajakan Uskup Leo untuk merajut persaudaraan universal. Persaudaraan yang melampaui sekat suku, ras, golongan, agama dan ideologi politik! Kekinian, Papua membutuhkan solidaritas persaudaraan untuk menata kembali rumah Papua yang berantakan karena operasi militer! Ajakan membangun persaudaraan yang diutarakan Uskup Leo bergema sejauh ditempatkan dalam konteks Papua. Bagaimana mengajak dunia luas merajut persaudaraan, sambil mengabaikan situasi Papua yang jauh dari semangat persaudaraan itu?

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Papua dan panggilan/undangan merajut persaudaraan universal merupakan sebuah kemendesakan! Situasi Papua yang menyengsarakan kawanan domba orang Papua seyogianya menggerakan banyak orang untuk peduli pada Papua. Manusia orang Papua mengungsi dari kampung halamannya ke hutan! Hutan alam dan dusun berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Gunung digali demi mengeruk emas. Sungai dan kali tertutup lumpur tailing. Papua sedang menderita! Karena itu, semangat persaudaraan universal dan solidaritas harus berpihak pada Papua.

Sampai hari ini, kita melihat Papua masih menderita! Papua memperlihatkan wajah Yesus yang masih tersalib di bukit Kalvari. Yesus di Kalvari itu, tampak jelas di dalam keseluruhan hidup orang Papua. Orang Papua menanggung banyak penderitaan, karena berbagai kebijakan Negara yang tidak berpihak pada mereka! Orang Papua yang menderita itu adalah warga Gereja. Karena itu, Gereja melalui pimpinannya harus berpihak pada orang Papua, dengan pilihan sikap dan tindakan yang tepat, yaitu mengeraskan suara kenabian agar Negara menghentikan operasi militer dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan!

Mauama, 28 Desember 2021; 10.11 WITA

[Catatan: Surat Gembala Natal 2021, Uskup Jayapura, Mgr. Leo Laba Ladjar OFM, dapat diakses di chanel YouTube Komsos Keuskupan Jayapura dengan judul, “Surat Gembala Natal 2021”]

Artikel sebelumnyaPapua, Luka Busuk di Telapak Kaki Presiden Joko Widodo
Artikel berikutnyaNetha Boseren: Ibu Guru, Suka Bikin Kue dan Perjuangan Membangun Literasi di Papua