Papua, Luka Busuk di Telapak Kaki Presiden Joko Widodo

0
774

Negara menutupi dan tidak memberikan perhatian kepada penduduk asli Papua yang mengungsi dari kampung dan rumah mereka sendiri akibat konflik bersejanta antara TNI-Polri dan TPNPB di [provinsi Papua dan Papua Barat] Tanah Papua. Penduduk lokal yang meninggalkan kampung mereka karena konflik bersenjata, didiamkan, diabaikan dan tidak diberikan perhatian yang serius dari negara. Kelalaian negara hadir dalam persoalan ini telah menjadi luka busuk di bawah telapak kaki Jokowi.

Nduga – Penduduk asli Papua di Kabupaten Nduga sudah mengungsi sejak Desember 2018 pasca pembunuhan karyawan PT Istaka Karya oleh Egianus Kogeya dan pasukannya. Pada Desember 2021, sudah empat tahun 40-an ribu penduduk Nduga telah mengungsi dan meninggalkan kampung halaman mereka dan hampir 300 orang penduduk Nduga telah meninggal di hutan, belantara dan di pengungsian.

Intan Jaya – konflik bersenjata dimulai sejak 25 Oktober di Intan Jaya. Diawali dengan penembakan terhadap tiga tukang ojek di Kampung Pugisiga, Distrik Hitadipa. Desember 2021 menjadi tahun ke tiga penduduk lokal Intan Jaya mengungsi meninggalkan tempat dan rumah yang telah mereka tempati selama ratusan tahun. Ribuan orang dari empat distrik – Hitadipa, Sugapa, Agisiga dan Ugimba – sudah mengungsi keluar dari kampung mereka sejak Desember 2015. Belum ada data pasti dari pihak mana pun soal jumlah pengungsi. Namun jumlah pengungsi diperkirakan mencapai 5 ribuan orang. Mereka tersebar di  Nabire dan Timika. Suara Papua mencatat korban akibat konflik bersenjata ini – sejak 25 Oktober 2019 – di pihak warga sipil, TPNPB maupun TNI-Polri berjumlah 52 orang.

Puncak Papua – Konflik bersenjata di Kabupaten Puncak Papua penduduk lokal mulai mengungsi sejak sejak 24 Agustus 2019 karena adanya penyerangan di kampung Tegelobak. Penyerangan ini diduga karena pembunuhan terhadap seorang anggota Brimob pada 14 Agustus dan adanya Reunifikasi TPNPB yang digelar di Kampung Tegelobak. Kemudian, dalam skala yang lebih besar, operasi militer digencarkan negara di Puncak Papua sejak 28 April 2021 di Puncak Papua. Pembunuhan Kabida Papua pada 25 April melatarbelakangi operasi militer di Puncak Papua ini. Desember 2021 menjadi tahun ke tiga sejak Agustus 2019 dan  pertama sejak Operasi Militer pada April 2021 penduduk lokal Puncak Papua mengungsi meninggalkan tempat dan rumah yang telah mereka tempati selama ratusan tahun. 

Yahukimo – Dalam tahun 2021 ini terjadi serangkaian peristiwa pembunuhan dan konflik bersenjata di kabupaten Yahukimo. Kemudia dua tokoh penting TPNPB di wilayah itu ditangkap, dilumpuhkan lalu dibawah ke Jayapura dan dirawat di RS Bhayangkara. Kedua anggota TPNPB itu – Senat Soll dan Temianus Magayang – meninggal di rumah sakit milik Polda Papua. Sebelumnya TPNPB membunuh beberapa anggota dan tenaga kerja yang dicurigai sebagai mata-mata TNI-Polri. November lalu kembali terjadi konflik bersenjata, akibatnya 1 anggota TNI Sertu Ari Baskoro meninggal dunia dan Kapten Inf Arfiandi Sukamto korban luka-luka. Penyerangan dari udara di perkampungan masyarakat dilancarkan negara dengan dalih kawal peristiwa evakuasi korban. Hampir 5 ribu penduduk asli stempat mengungsi ke hutan, dan dilaporkan bahwa 7 pengungsi meninggal di hutan.

ads
Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Maybrat – Dewan Gereja Papua mencatat, hingga saat ini sekitar 2.768 warga  mengungsi di Kabupaten Maybrat Provinsi Papua Barat, pasca terjadinya penyerangan Pos Koramil Distrik Kisor Kabupaten Maybrat pada 2 September 2021 yang mengakibatkan 4 anggota TNI dibunuh dalam penyerangan yang diduga dilakukan oleh pasukan TPNPB. 34 orang ditangkap. Mereka terdiri dari: 31 orang ditangkap dan diperiksa, 2 orang ditahan dan diperiksa, 1 orang diintimidasi. Dari total 31 orang yang telah ditangkap dan ditahan untuk diperiksa, 8 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dan masih ditahan, dan 23 orangnya telah dibebaskan setelah diperiksa. Dari 8 orang yang ditetapkan sebagai tersangka 5 orang merupakan pelajar, 4 diantaranya berusia anak, 1 orang berusia remaja, 3 orang lainnya berusia dewasa. Sedangkan dari total 23 orang yang ditangkap, ditahan untuk diinterogasi 11 orang merupakan anak dan 1 orang berusia bayi, 10 orang lainnya merupakan dewasa. Total jumlah anak yang menjadi korban kekerasan dan penangkapan aparat TNI POLRI dalam kasus ini terhitung semenjak tanggal 2 September sampai saat ini berjumlah 16 orang dan anak 1 orang.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Pegunungan Bintang – sekitar lima ribuan orang penduduk asli Pegunungan Bintang dilaporkan sudah mengungsi ke hutan, kampung terdekat dan menyeberang ke PNG (Papua New Guinea). Peristiwa yang melatarbelakangi terjadi pengungsian ini adalah konflik bersenjata antara TNI-Polri dan TPNPB di bawah pimpinan Lamek Taplo di wilayah itu.  Korban konflik selain pengungsian adalah satu anggota TPNPB tertembaki dan meninggal. Sebaliknya TPNPB menembak dua anggota TNI atas nama pratu Ida Bagus Putu (meninggal dunia) dan Sutarmidji (luka tembak) serta 1 anggota Polri, Muhammad Kurdiadi (meninggal dunia). Pada pekan kedua October 2021 3/9 aparat keamanan diduga telah menjatuhkan bom mortar di 4 pemukiman masyarakat (Kampung Pelebib, Kampung Kiwi, Kampung Delpem dan Kampung Lolim).

November 2021 kemarin, Dewan Gereja Papua melaporkan bahwa kurang lebih 60 ribu penduduk asli Papua telah mengungsi ke berbagai tempat, belantara dan hutan di Tanah Papua. Ribuan penduduk asli Papua ini meninggalkan kampung mereka akibat konflik bersenjata antara TNI-Polri dengan gerilyawan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).  Ribuan pengungsi tersebut berasal dari Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Nduga, Yahukimo dan Puncak Papua di Provinsi Papua serta Kabupaten Maybarat di Provinsi Papua Barat. Dewan Gereja Papua menyebut peristiwan penduduk asli Papua mengungsi dari tanah kelahiran dan kampung halaman yang telah mereka huni turun temurun ini merupakan sebuah ironi, sebab pemerintah Indonesia juga gencar melakukan politik rasisme, kriminalisasi, marjinalisasi, dan militerisme dalam menangani konflik Papua.

Jokowi diam dan tidak mampu mencari solusi untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan atas nama ideologi NKRI Harga Mati dan Papua Merdeka Harga Mati. Negara mengabaikan persoalan adanya pengungsian di Tanah Papua yang diakibatkan karena konflik bersenjata. Tidak ada satu solusi terbaik yang diambil negara untuk menyelesaikan konflik bersenjata dan operasi militer yang sudah terjadi sejak 1960-an awal hingga Desember 2021.

Pembiaran yang dilakukan negara atas tragedi kemanusiaan dan krisis kemanusiaan di Papua yang cukup parah sudah terjadi. Dalam masa pemerintahan Jokowi pengungsian akibat konflik terjadi pada tahun 2017 di Tembagapura. Penduduk lokal dipaksakan untuk diungsikan ke Timika. Mereka dibiarkan menderita selama tiga tahun, hingga tahun 2020 para pengungsi dikembalikan ke kampung mereka. Demikian pula dengan pengungsian akibat konflik bersenjata di Nduga, Puncak Papua, Intan Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang dan Maybrat. Pembiaran terhadap krisis kemanusiaan ini terkesan sebagai upaya kesengajaan negara membiarkan rakyat Papua menderita.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Bungkamnya negara terhadap pengungsi penduduk lokal di Papua ini didasari oleh pandangan negara bahwa penduduk yang mengungsi di dalam Papua maupun ke PNG ini merupakan korban ideologi. Sehingga negara tidak memberikan perhatian serius. Termasuk tidak adanya inisiatif dari Palang Merah Indonesia (PMI) yang mendapat kewenangan lewat undang-undang untuk memberi perhatian pada korban konflik pun diam. Semua ini membuktikan bahwa negara tidak menganggap penting orang Papua, tetapi nafsu untuk eksploitasi dan caplok tanah dan kandungan mineral di bawah perut bumi Papua tidak bisa dibendung.

Penduduk lokal yang mengungsi keluar dari tempat mereka tinggal, hidup, tumbuh dan besar bertahun-tahun ini. Negara alpa memberikan perlindungan terhadap mereka. Sampai 30 Desember 2021 ini negara tidak menunjukkan niat baiknya untuk memyelesaikan persoalan Papua. Sudah berpuluh-puluh tahun tanah Papua dicaplok, diduduki dan dijarah negara dengan perkawinan paksa hasil perselingkungan dengan Amerika, Indonesia, PBB dan Belanda.

Yang pasti adalah di dalam diri orang Papua tidak ada rasa bahwa dirinya adalah orang Indonesia. Mengakui diri sebagai warga negara Indonesia hanya secara formal di kertas. Tetapi di dalam lubuk hati yang paling dalam, mereka adalah orang Papua yang beda dengan Indonesia. Kalau negara tidak mencari solusi terbaik yang dapat diakui dan diterima internasional, maka persoalan Papua akan menjadi boomerang. Bahkan Papua bisa lepas. Hanya momennya yang belum tiba. Papua selamanya akan menjadi duri dalam daging Indonesia, Papua selamanya akan menjadi luka busuk di bawah telapak kaki [siapa pun] Presiden Indonesia. ***

Artikel sebelumnyaKNPB Menduga Senat Soll dan Temianus Magayang Dibunuh di RS Bhayangkara
Artikel berikutnyaSurat Natal Uskup Jayapura untuk Siapa?