SIARAN PERS AMNESTI INTERNASIONAL INDONESIA
Menanggapi pemanggilan paksa terhadap Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dalam kasus pencemaran nama baik, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:
“Pemanggilan paksa terhadap mereka tidak bisa dibenarkan karena keduanya selama ini sangat kooperatif terhadap pemanggilan polisi. Lagipula tuduhan terhadap mereka sangat tidak berdasar. Diskusi yang mereka lakukan merupakan hasil riset yang terverifikasi, dan sebagai pembela HAM dari kelompok terdampak dari kasus dalam riset tersebut, sudah sewajarnya mereka mengungkapkan data.”
“Diskusi itu adalah bagian dari ekspresi hak berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi Indonesia, undang-undang nasional hak asasi manusia dan hukum internasional. Apalagi itu membahas hasil sebuah penelitian yang bersifat ilmiah.”
“Pemanggilan ini justru menimbulkan pertanyaan kritis, mengapa proses hukum terhadap keduanya begitu cepat sementara banyak aduan lain dari masyarakat justru jalan di tempat atau bahkan mangkrak? Apakah karena pelapornya merupakan pejabat penting di pemerintahan?”
“Kita sudah memasuki tahun yang baru tapi pemahaman aparat penegak hukum tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi masih belum berubah. Ini jelas mengarah pada sebuah pelecehan judisial terhadap seorang pembela HAM seperti Fatia maupun advokat hukum dan HAM seperti Haris.”
“Kami mendesak pihak kepolisian untuk tidak meneruskan proses kriminalisasi atas kebebasan berpendapat dan berekspresi seperti yang sudah berulangkali dijanjikan oleh Kapolri dan Presiden dalam berbagai kesempatan.”
Latar belakang
Pada tanggal 18 Januari 2022 pagi, anggota polisi dari Polda Metro Jaya memanggil paksa Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti di kediaman mereka masing-masing untuk diperiksa. Fatia dan Haris kemudian memilih untuk datang sendiri ke Polda Metro Jaya pada pukul 11.00 WIB.
Pada tanggal yang sama pula, kasus pencemaran nama baik yang dituduhkan kepada mereka sudah memasuki tahap penyidikan. Sebelum pemeriksaan 18 Januari, keduanya telah memenuhi tiga panggilan polisi, dua untuk kepentingan mediasi dan satu untuk klarifikasi.
Kasus ini bermula pada bulan September 2021 ketika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia melaporkan Haris dan Fatia ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong terkait video diskusi yang diunggah ke kanal YouTube Haris Azhar pada tanggal 20 Agustus.
Dalam video tersebut, Haris dan Fatia mendiskusikan laporan berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya” yang diterbitkan oleh gabungan beberapa organisasi masyarakat sipil. Laporan tersebut merupakan kajian terhadap faktor-faktor yang memicu pelanggaran hak asasi manusia di Papua, salah satunya adalah keterlibatan beberapa tokoh-tokoh militer dalam industri tambang.
Menurut data Amnesty International Indonesia, sepanjang 2021 ada setidaknya 158 kasus serangan fisik maupun digital terhadap pembela HAM dengan total 359 korban. Amnesty juga mencatat adanya 91 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE dengan 106 korban sepanjang 2021.
Dalam hal ini, tindakan atau kebijakan Negara yang menimbulkan efek gentar atau ketakutan yang dapat membuat masyarakat enggan untuk menyampaikan pendapatnya, tidak sejalan dengan standar HAM internasional. Amnesty International mengingatkan bahwa hak atas kebebasan berekspresi dijamin oleh Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Dalam hukum nasional, hak atas kebebasan berpendapat juga dijamin di dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28E Ayat (3), dan juga Pasal 23 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999.
Sebagai salah satu anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia memenuhi komitmen untuk melindungi para pembela hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Pembela HAM yang disepakati 22 tahun silam melalui resolusi Sidang Umum PBB. (*)