Sandiwara Mahasiswa Papua: Angkat Tangan Kiri Tapi Otak Belok Kanan

0
3574

Oleh: Maximus Syufi)*
)* Penulis adalah Mahasiswa Jalanan di Kota Rasia yang Selalu Mengemis Cinta dan Revolusi di Kiri Jalan)

“Angkat Tangan Kiri Tapi Otak Belok Kanan”. Ada apa dengan kalimat itu? Apa maksudnya itu? Sa kasih nama kalimat pendek itu adalah SANDIWARA. Menurut sa, kalimat itu menjelaskan sebagian besar Mahasiswa Papua yang sedang bersandiwara di atas panggung penjajahan yang sedang mempertontonkan darah orang Papua yang tiap detik basahi Tanah Papua.

Jadi, penggung sandiwara itu adalah sebuah pertunjukkan yang dibuat oleh penjajah, lalu dimainkan oleh Mahasiswa Papua, dan dipertontonkan oleh Indonesia kepada Amerika, Belanda, Cina dan Negara berkuasa lainnya.

Negara-negara berkuasa itu puji dan puja pertujukkan tersebut, karena Mahasiswa Papua bermain sesuai dengan skenario yang sudah dibuat oleh Indonesia. Isi skenarionya adalah Jual Orang Papua, Jual Mama Papua, Jual Isu Papua, Jual Tanah Papua, Jual Bintang Kejora dan Buat Konflik Horizontal. Predikat yang didapatkan ialah “wow Mahasiswa Papua itu hebat, namanya harum semerbak di antara media-media Nasional”.

Lalu, kalau Mahasiswa Papua yang tiap hari batariak di jalan, tiap hari vokal dengan isu-isu Papua, mereka yang lindungi Mama, lindungi hutan, lindungi Bintang Kejora, mereka itu predikatnya apa? “Ohhh kalau mereka itu, Mahasiswa Papua yang kuliah tidak jelas, status tidak jelas, hidup tidak jelas, kalian jangan tiru-tiru mereka itu. Mereka itu tidak tau apa-apa, nanti kalian punya kuliah macet”.

ads

Sebagai Mahasiswa Papua (terutama di perantauan), kalian pasti akan menemukan narasi-narasi semacam itu, di antara Mahasiswa Papua di kontrakan-kontrakan, di warkop, di jalan, di angkot, di asrama dan di mana saja.

Dan pada kesempatan ini, menjelang Hari Kemerdekaan Papua, 01 Desember, sa ingin tulis tentang ini. Tapi sebelum sa lanjut, sa tidak bermaksud untuk menyudutkan Mahasiswa Papua, sa tidak bermaksud menyalahkan satu pihak atau sa tidak justifikasi pihak tertentu, tidak! Sa tulis ini berdasarkan yang sa lihat, sa rasakan dan sa sendiri alami.

Sebenarnya kalimat pendek “Angkat Tangan Kiri Tapi Otak Belok Kanan” ini di beberapa kesempatan cerita atau diskusi santai, atau juga di media sosial, sa selalu ungkapkan kalimat itu. Sa ingin bilang kalau jadi Mahasiswa itu harus jelas, ko ada di kiri atau kanan. Jangan sembunyi di tengah, atau ko jangan abu-abu karena itu tidak jelas dan hanya bikin ‘air kabur’.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Maksudnya “Jangan ko ikut organ yang ideologinya Soekarno, lalu saat kejadian Rasisme, semua bikin story bintang kejora di FB. Semua teriak Papua Merdeka. Ehh ko tidak sadar kh? Soekarno itu yang pelaku rasisme dan jual Nyawa orang Papua ke Amerika tuh (Baca: Freeport, Amerika dan Kepentingan Indonesia)”. Nah ini yang sa bilang “Angkat Tangan Kiri Tapi Otak Belok Kanan”.

Dan yang paling parah adalah Doktrin bahwa jangan bicara Papua merdeka, jangan ikut mereka yang demo-demo, kalian fokus kuliah saja, karena mereka yang bicara Papua Merdeka itu punya status tidak jelas dan stigma buruk lainnya.

Doktrin semacam ini biasanya datang dari Mahasiswa Papua yang mengaku diri sebagai Senioritas, Abang, Kakak dan macam-macam. Atau dari mereka yang pakai gelang bintang kejora di tangan kiri, tapi nanti jual Mahasiswa Papua lainnya ke Jakarta untuk dapat satu karung beras dan karton mie.

Doktrin semacam ini sering terjadi karena BUTA SEJARAH. Sa ingin buktikan kalau di antara kita ini, masih buta dan belum sadar dengan Sejarah Papua. Pertama, Papua dianeksasi ke bingkai NKRI pada 1963, lalu kenapa pada 17 Agustus 1945 kita semua semangat ikut Upacara Bendera dan dengan bangganya mengakui sebagi Hari Kemerdekaan kita. Kedua, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tidak ada satu orang pun yang dari Papua ikut Bersumpah, tidak ada kaitannya dengan Papua, lalu dengan gembira kita semua ucapkan Dirgahayu Sumpah Pemuda Indonesia. Dan ini bodohnya kita! Kita dibodohkan dengan sejarah.

Mereka (Mahasiswa Papua) yang kalian bilang kuliah tidak jelas, demo sembarangan, status tidak jelas, kenapa mereka tiap hari bicara masalah Papua Merdeka? Karena mereka sadar dengan Sejarah Papua, mereka tau Sejarah Papua sebenarnya, mereka sadar bahwa tidak ada Masa Depan bagi Orang Papua di NKRI. Tanpa bosan, mereka terus teriak Papua Merdeka, mereka teriak Persatuan, mereka teriak Perlawanan, mereka dengan berani lawan militer. Mereka sadar! Mereka sadar kalau Papua sedang dijajah.

Mereka tidak peduli kesehatan, mereka tidak peduli dengan makan atau minum yang mewah, mereka tidak peduli dengan diri mereka sendiri, mereka tidak takut mati. Yang penting bagi mereka adalah KEBENARAN itu harus ditegakkan.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Dan juga, sa lihat kebanyakan Mahasiswa yang tidak konsisten dengan perjuangan. Saat masih jadi Mahasiswa, dia yang selalu lantang bicara Papua, dia selalu angkat tangan kiri, dan dengan tegas dia teriak Lawan Sistem, Hidup Rakyat, Revolusi. Tapi saat selesai kuliah, pulang ke Papua, eh maju DPR, tes CPNS. Yang pada akhirnya ikut sistem Negara, merah putih di dada, tunduk kepada aturan penjajah dan jadi penjilat.

Katanya mau lawan dari dalam sistem. Itu omong kosong! Karena ko sudah di dalam sistem, artinya harus tunduk kepada sistem yang sudah diatur. Apalagi kalau sudah dapat uang dari Negara, jabatan, rumah, mobil mewah. Berbalik 100%. Tunduk kepada Negara untuk lawan masyarakat lagi. Dan ini yang terjadi, silahkan bantah!

Dan berikut yang sa mau bilang adalah persoalan kesadaran untuk berjuang. Sa percaya bahwa di dalam lubuk hati Orang Papua semenjak dia lahir itu, sudah tumbuh ideologi Papua, ada semangat nasionalisme baru, bukan lagi NKRI. Sa percaya bahwa Orang  Papua ketika ditanya, mau merdeka atau tidak? Sa yakin semua pasti jawabnya merdeka. Tapi yang jadi pertanyaan adalah kenapa tidak semua berjuang? Tidak semua ikut aksi? Tidak semua diskusi? Tidak semua bicara Papua?

Sa pikir ini tentang kesadaran yang tumbuh di dalam diri Orang Papua, terutama Mahasiswa Papua. Kita tidak bisa bilang ingin Papua Merdeka, tapi tiap hari duduk manis saja dan masa bodoh dengan situasi Papua hari ini. Tokoh Revolusioner Cuba, Che Guevara bilang “Revolusi bukanlah appel yang jatuh ketika sudah matang. Kamu harus membuatnya jatuh”.

Maksud saya adalah Persoalan Papua itu harus melekat di dalam diri kita. Penderitaan orang Papua itu juga menjadi pesakitan yang kita rasakan. Darah orang Papua itu harus kita cium, suara tangis mereka itu selalu ada di telinga kita, pembunuhan terhadap orang Papua itu adalah duka kita. Masalah Papua harus menjadi ‘buah bibir’ yang di mana pun dan kapan pun ko harus bicara. Masalah Papua itu bukan hanya, sa atau ko saja yang punya, tapi itu kita punya persoalan. Maka itu, kita semua harus bicara itu.

Salah satu keberhasilan penjajah adalah “membuat bangsa yang dijajahnya itu, merasa sedang tidak dijajah”. Papua itu sedang dijajah, tapi banyak orang, terutama Mahasiswa Papua merasa Papua itu aman-aman saja. Kita sibuk euforia dan berdansa di atas luka dan duka yang selimuti bumi Papua. Kita bergaya seperti bangsa yang merdeka. Padahal situasi Papua memaksa kita untuk tidak santai.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Tiap  hari Orang Papua dibunuh, anak kecil di pengungsi itu mati ditembak, seorang Mama di pengungsian itu mati ditembak, seorang anak perempuan di pengungsian itu mati. Tapi mereka tidak pernah menjadi pembicaraan di antara kita, Mahasiswa Papua. Kabar tentang mereka hilang. Bahkan di media sosial kita, kematian mereka tidak disebut. Duka mereka tidak kita rasakan. Kita terlalu jahat untuk mereka kawan. Hari kematian mereka itu, tidak menjadi duka bagi kita. Ini kenapa? Kita hanya sibuk dengan acara euforia seperti bangsa yang Merdeka. Seakan Papua itu baik-baik saja.

Pada level ini, saya lihat banyak Mahasiswa Papua sudah tau situasi di Papua, sudah tau masalah Papua itu, tapi semua masa bodoh saja. Kita hanya bicara masalah Papua di saat tertentu, nanti ada diskusi baru bicara Papua, nanti ada panggung bebas baru bicara Papua, nanti kejadi rasisme baru semua bicara Papua. Seakan masalah Papua itu terjadi berdasarkan jadwal yang ditentukan. Padahal manusia Papua itu mati tiap detik, tidak kenal jadwal. Dan penjajah itu dia bekerja tiap detik, dan kita hanya santai lalu tunggu saat-saat tertentu saja? Kita kalah kawan! Penjajah sudah melangkah jauh, kita baru bangun tidur. Orang Papua sudah mati, kita baru mau buka mulut.

Sa berharap masalah Papua di daerah mana pun, itu adalah masalah kita bersama. Pengungsian Nduga itu adalah masalah orang Papua. Pengungsian, Puncak, Intan Jaya, Maybrat itu adalah persoalan kita orang Papua. Baku kasih tau kawan, Papua itu sedang dijajah.

Tidak ada orang gunung, tidak ada orang pantai, tidak ada itu orang Wamena atau itu orang Maybrat, kita adalah satu Papua yang statusnya dijajah. Satukan barisan untuk lawan! Tidak ada waktu untuk duduk manis di bar, Papua sedang butuh torang semua kawan! “Siapa suruh ko lahir sebagai anak Papua, ko lahir di Papua, artinya wajib berjuang untuk Papua”. (*)

Tulisan ini sudah ditayang pada website DiptaPapua.com, diterbitkan ulang di sini setelah mendapat izin dari penulis.  

 

 

Artikel sebelumnyaDiperiksa 5 Jam, Haris dan Fatia akan Sodorkan Sejumlah Bukti dan Saksi
Artikel berikutnyaHentikan Pelecehan Judicial terhadap Pembela HAM Fatia-Haris