Sekum PGI: Apakah Injil Masih Menjadi Kabar Baik Bagi Orang Papua?

Gereja-gereja di Papua adalah gereja-gereja yang sejak awal terpanggil untuk menyatakan Kairos Tuhan dan mengumandangkan Injil sebagai kabar baik di tanah ini.

0
922
Pdt. Jacklevyn Manuputty, sekretaris umum PGI. (Elisa Sekenyap - SP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Jacklevyn Manuputty mengatakan injil di tanah Papua telah mencapai 167 tahun dan waktu ini merupakan waktu yang cukup panjang dalam deret ukur untuk menakar apakah injil masih menjadi kabar baik bagi tanah ini.

“Dimana dari berbagai catatan sejarah kita tahu bahwa, sebagai kabar baik, injil telah bertindihan dengan keserakahan kaum kolonial yang pada waktu bersamaan juga menginjak tanah berlimpah kekayaan ini dan memulai ekspansi bisnisnya. Dipermulaan, injil telah berada dalam benturan kepentingan dengan berbagai misi dagang yang mengeruk limpahan berkat dari tanah ini. Sejak itu kabar baik yang dibawa injil telah berhadapan dengan gempuran tahta dan harta. Karenanya, sejak awal injil sebagai kabar baik telah ditantang manifestasinya untuk menjadi karya pembebasan di tanah Papua,” tukas Pdt. Manuputty dalam sambutannya pada perayaan Hut PI ke 167 tahun di Mansinam, Sabtu (5/2/2022).

Ia menyatakan bahwa tantangan itu masih berlangsung sampai saat ini, ketika melihat kerakusan bergulung-gulung seperti air dan, ketidakadilan serta ketidak-benaran seperti sungai yang selalu mengalir membanjiri bumi Papua.

“Di atas kekayaan dari tanah yang diberkati ini, kita masih menghidupi deretan memori pahit tentang nilai manusia lokal yang dicampakan dalam transaksi-transaksi bisnis raksasa yang mempertontonkan kerakusan tanpa rasa malu. Air mata, darah, kepedihan, kehilangan, ketidakadilan, laksana roti pahit yang ditelan masyarakat pada setiap jengkal tanah ini. Di tengah seluruh situasi ini, terbersit pertanyaan, “apakah Injil masih menjadi Kabar Baik/Euanggelion bagi orang Papua dan bumi yang didiaminya? Apakah Injil masih menjadi kabar baik bagi orang-orang Nduga, orang-orang Puncak Jaya, orang-orang Intan Jaya, orang-orang Yakuhimo, orang-orang Maybrat, orang-orang Mansinam, dan semua orang yang tergusur yang bergelimang air mata di atas tanah bergelimang harta ini?”

Baca Juga:  Bangun RS Tak Harus Korbankan Warga Sekitar Sakit Akibat Banjir dan Kehilangan Tempat Tinggal

Ia menyatakan, 167 tahun adalah waktu yang sangat panjang dalam pengertian kronos, tetapi juga bentangan waktu yang panjang untuk menakar Kairos, kesempatan emas yang selalu muncul dalam perjalanan bersama Tuhan. Gereja-gereja di Papua adalah gereja-gereja yang sejak awal terpanggil untuk menyatakan Kairos Tuhan dan mengumandangkan Injil sebagai kabar baik di tanah ini.

ads

Ini tantangan yang tidak ringan, terutama untuk memberitakan makna Injil di tengah gejolak politik panjang yang mendukacitakan orang Papua. Baik pada saat perang 1946-1962, saat krisis politik pada Pepera 1969, maupun ketika sumber daya alam Papua dieksploitasi habis-habisan oleh kerakusan multinasional dan trans-nasional korporasi, serta kekerasan beranak pinak pelanggaran HAM sejak Orde Baru hingga saat ini.

“Oleh sebabnya patutlah kami berterima kasih kepada gereja-gereja di Tanah Papua yang telah menyediakan ruang pembelajaran yang sangat luas bagi gerakan Oikumene di Indonesia, untuk selalu belajar bahwa untuk menjaga injil sebagai kabar baik tidak saja dibutuhkan suara profetis, tetapi juga nyali profetis. Nyali profetis untuk mengerjakan karya-karya pembebasan demi hadirnya tahun rahmat Tuhan di negeri ini.”

“Terima kasih untuk semua hamba Tuhan, serta masyarakat Papua yang tetap tegar berdiri untuk mengumandangkan Papua Tanah Damai, dan setia memperjuangangkannya di tengah himpitan ketidakadilan, ketidakbenaran, serta kerakusan kaum oligarki yang merambah negeri ini. Terima kasih untuk tetap memelihara sukacita di tengah gumpalan dukacita akibat berbagai kasus pelanggaran HAM di tanah ini. Terima kasih karena Injil memampukan saudara-saudara untuk tetap menawarkan cinta dan pengampunan di tengah stigma, prasangka, dan ketidakadilan atas bumi dan manusia Papua. Terima kasih untuk kesetiaan menerjemahkan nilai Injil dalam kesediaan membuka hati untuk bekerjasama dengan pemerintah dan semua pihak yang berkehendak baik untuk membangun tanah Papua, bahkan untuk membangun Indonesia dari Papua.”

Baca Juga:  Yakobus Dumupa Nyatakan Siap Maju di Pemilihan Gubernur Papua Tengah

“Namun, terima kasih juga atas keteguhan bersandar pada kebenaran nilai-nilai injil untuk mengoreksi berbagai intervensi pembangunan yang tak membawa damai sejahtera bagi Papua. Akhirnya, terima kasih untuk semua anak Papua yang bertahan menjaga Api Injil untuk terus bernyala di setiap jengkal tanah berkat ini, dan menjadikannya jangkar bagi karya-karya pembebasan.”

Kalau dua anak muda missionaris Eropa, Ottouw dan Geissler pada 167 tahun lalu datang ke tanah ini sambil mengusung semangat proselitisme kaum pietis Eropa berdasarkan tafsir atas Matius 28, maka Injil dalam perkembangannya di tanah Papua saat ini haruslah dinyatakan dalam semangat Lukas 4:18-19, Tahun Rahmat Tuhan adalah tahun pembebasan.

“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan pengelihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”.

Dalam semangat pembebasan ini, kita merayakan peringatan 167 tahun injil masuk di tanah Papua dengan keyakinan bahwa Allah di dalam Kristus adalah Sang Alfa dan Omega yang setia berjalan bersama gereja-Nya di tanah Papua, menuju penggenapan datangnya Tahun Rahmat Tuhan bagi bumi dan masyarakat Papua.

Pdt. Andrikus Mofu, Ketua BP Am Sinode GKI-TP. (Elisa Sekenyap – SP)

Pernyataan serupa disampaikan Ketua Badan Pekerja Am Sinode GKI di Tanah Papua, Pdt. Andrikus Mofu dalam sambutan Hut PI di tanah Papua ke 167 tahun di Mansinam.  Dimana ia menyatakan bahwa pilihan untuk melakukan pekabaran injil di tanah Papua yang dilakukan Ottow dan Geissler bukan keinginan mereka, melainkan Tuhan yang telah menetapkan mereka ada di tanah Papua.

Baca Juga:  Jawaban Anggota DPRP Saat Terima Aspirasi FMRPAM di Gapura Uncen

“[Mereka ada di tanah Papua] untuk menyampaikan warta suka cita terang di tanah ini, dengan doa sulung yang luar biasa. Dengan nama Tuhan kami menginjakkan kaki di tanah ini,” tukas Pdt. Mofu.

Ia mempertegas doa sulung Ottow dan Geissler itu dengan mengutib pernyataan doktor F.C Kamma dalam ringkasan bukunya ‘Ajaib di Mata Kita’.

“Siapa menyebut Papua, dia menyebut injil, dan siapa menyebut injil di tanah Papua, dia harus menyatakan perlawanan dan perang terhadap kuasa kegelapan yang ada di tanah Papua.”

Oleh sebab itu Pdt. Mofu mengatakan bahwa dari pernyataan-pernyataan itu maka hari ini setiap umat bisa menerjemahkan apa itu realita kuasa kegelapan. Ada keterbelakangan, kemiskinan, persoalan-persoalan hakiki tentang kemanusiaan.

“Hal-hal ini harus diperangi, harus dilawan, begitu juga harus melawan kesoliman, kerakusan perampasan, penyerobotan, segala tingkah laku yang tidak berpadanan dengan injil yang merusak lingkungan, yang merampas hutan, dan hak-hak dasar manusia harus dilawan.”

“Dan khususnya GKI berada di garda terdepan untuk harus melawan dan kami pasti melawan kalau itu tidak dalam arah dan tujuan untuk membangun masyarakat bangsa Indonesia orang Papua. Hari ini kita bersyukur di momentum 167 tahun PI saya mendapat informasi akan dilaunching Sail Teluk Cenderawasih. Mendahuluinya, selaku pimpinan Sinode GKI di tanah Papua menyatakan GKI mendukung dengan sepenuhnya kegiatan ini demi kebaikan kemajuan dan tentu untuk pencapaian kesejahteraan umat dan masyarakat Papua Indonesia yang ada di tanah Papua,” ucapnya.

 

Peawarta: Elisa Sekenyap

Artikel sebelumnyaWendy Yawan, Anak Muda Papua dari Biak yang Jadi Barista di Yogyakarta
Artikel berikutnyaPemuda Baptis: Pemerintah Pusat Berhenti Bahas Pemekaran Provinsi di Tanah Papua