PolhukamHAMPapua Bukan DOM, Mahasiswa: Stop Bunuh OAP!

Papua Bukan DOM, Mahasiswa: Stop Bunuh OAP!

SORONG, SUARAPAPUA.com — Mahasiswa Papua di kota studi Makassar, Sulawesi Selatan, mendesak pemerintah Republik Indonesia segera menghentikan operasi militer, tindakan represif, penyisiran, dan pembungkaman ruang demokrasi terhadap masyarakat sipil  di Tanah Papua.

Kimar Telenggen, salah satu mahasiswa Papua di Makassar, menyatakan, pemerintah Indonesia menjadikan Papua sebagai daerah operasi militer (DOM) meskipun di era Otonomi Khusus (Otsus) yang diterapkan pemerintah sejak tahun 2001.

“Selama berapa tahun terakhir ini orang asli Papua mati secara misterius dan tersistematis, sementara pemerintah pusat terus mengirim ribuan militer untuk melakukan penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap rakyat Papua. Pemerintah juga selalu mengabaikan aspirasi rakyat Papua, bahkan ruang bicara dibungkam,” bebernya melalui telepon seluler, akhir pekan kemarin.

Dari fakta di Papua, kata Telenggen, operasi militer terjadi tahun 2019 menyebabkan masyarat sipil mengungsi besar-besaran, meninggalkan rumah, kebun, ternak dan kampung mereka. Seperti yang terjadi di Nduga, Intan Jaya, Kiwirok Pegunungan Bintang, Puncak, Maybrat dan beberapa daerah lainnya di Tanah Papua.

“Mereka pemilik negeri leluhur, terpaksa tinggalkan semuanya. Mengungsi akibat kehadiran militer. Tidak ada jaminan keamanan. Aparat datang hanya untuk bunuh kita. Stop bunuh orang Papua. Stop usir kami dari tanah kami dengan sejata,” ujar Kimar.

Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

Mahasiswa Papua juga mendesak Komis Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) agar tidak tinggal diam dengan peristiwa yang terjadi di Tanah Papua.

Tindakan penyiksaan terhadap tujuh anak di distrik Sinak, kabupaten Puncak, Selasa (22/2/2022), diduga dilakukan oleh oknum aparat militer yang menyebabkan satu diantaranya atas nama Makilon Tabuni meninggal dunia.

Telenggen menilai tindakan tersebut jelas melanggar Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Undang-Undang nomor 9 tahun 2012 tentang perlindungan anak.

“Yang jadi korban adalah anak dibawah umur, itu masuk kategori pelanggaran HAM. Komnas HAM dan KPAI segara ambil langkah hukum. Para pelaku segera diadili,” tandasnya.

Mahasiswa Papua di Makassar mendesak presiden Joko Widodo dan wakil presiden Ma’ruf Amin segera tarik militer organik dan non organik dari seluruh Tanah Papua lebih khusus kabupaten Puncak.

Selain menuntut pemerintah kabupaten Puncak segera tarik kembali surat izin untuk operasi militer selama 30 hari karena sudah melebihi batas waktu, mereka juga mendesak tangani kasus kekerasan yang menimpa anak-anak dibawah umur di distrik Sinak hingga ke proses hukum.

Baca Juga:  Dewan Pers Membentuk Tim Seleksi Komite Perpres Publisher Rights

Menolak tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat sipil dan anak-anak sekolah di kabupaten Puncak dan anggota TNI/Polri berhenti bertindak sewenang-wenang dan main hakim sendiri terhadap rakyat Papua.

Mahasiswa juga menyatakan, fasilitas pendidikan tidak lagi dijadikan sebagai markas penampungan aparat militer Indonesia. Aparat keamanan harus segera bertanggungjawab atas kematian Makilon Tabuni dan penyiksaan enam anak lainnya.

Junius Kogoya, sekretaris Komunitas Pelajar dan Mahasiswa Puncak Papua (KPM-PP) kota studi Manado, Sulawesi Utara, menegaskan, pasukan militer yang bertugas di kabupaten Puncak segera ditarik karena telah mengorbankan warga sipil, siswa sekolah dasar (SD).

“Pemerintah segera tarik militer dan hentikan kekerasan di kabupaten Punca,” ujarnya.

Warga sembilan distrik di kabupaten Puncak menurut Junius, tidak leluasa beraktivitas bahkan sebagian besar sudah mengungsi lantaran setiap sudut penuh dengan pasukan militer kiriman dari luar daerah.

Desakan sama disampaikan Nando Tabuni, ketua KPMPP kota studi Manado.

“Warga masyarakat di kabupaten Puncak merasa tidak nyaman dengan kehadiran pasukan militer dan sebagian sudah mengungsi ke hutan dan kabupaten lain, maka kami mendesak pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan presiden Joko Widodo segera menarik pasukan militer organik dan non organik yang beroperasi di kabupaten Puncak,” tandasnya.

Baca Juga:  Atasi Konflik Papua, JDP Desak Pemerintah Buka Ruang Dialog

Desakan ini menurut dia melihat kenyataan bahwa negara tidak menjalankan kewajibannya memberi kenyamanan bagi warga negara di kabupaten Puncak.

“Negara wajib melindungi, menghormati dan tidak boleh mengabaikan dan merampas hak setiap warga negara. Tetapi karena tidak ada jaminan keamanan bagi warga kabupaten Puncak, sehingga pemerintah harus segera tarik pasukan militer organik dan non organik yang beroperasi di sana,” ujar Nando.

Selain penyiksaan terhadap tujuh orang anak SD yang menyebabkan satu diantaranya meninggal dunia, jauh sebelumnya terjadi kasus penembakan yang menimpa siswa Puncak. Tiga pelajar SMA tewas tertembak di gunung Tuwebaga dari distrik Gome menuju ke distrik Agandugume, Jumat (20/11/2020).

Sementara itu, mahasiswa di Sorong, provinsi Papua Barat, mendesak pemerintah Indonesia segera menghentikan wacana pemekaran daerah otonomi baru (DOB) di Tanah Papua.

“Stop adu domba rakyat Papua dengan wacana pemekaran. Pemerintah harus sadar dan pahami apa yang diinginkan rakyat Papua. Sudah sangat jelas rakyat Papua tidak minta pemekaran kabupaten atau provinsi. Rakyat minta pemekaran negara, kami ingin merdeka,” ujar Amos.

Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.