Ajakan Dialog Damai Bukan Solusi Bagi Rakyat Papua

0
767

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Ajakan dialog damai yang diwacanakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) ditanggapi beragam pendapat, banyak diantaranya yang bahkan menilai itu sekadar gula-gula politik untuk memuluskan kejahatan negara selama puluhan tahun di Tanah Papua.

Iche Murib, aktivis perempuan Papua, mempertanyakan esensi dari rencana dialog versi pemerintah Republik Indonesia yang akan difasilitasi Komnas HAM RI, sebagaimana dipublikasikan berbagai media massa beberapa waktu lalu.

“Dialog dalam konteks apa dulu? Terus, kenapa sekarang baru mau dialog? Ini masih tanda tanya besar bagi mata rakyat Papua,” ujar Iche di Wamena baru-baru ini.

Dari wacana yang digencarkan Komnas HAM RI, rencananya dalam dialog akan melibatkan elemen masyarakat Papua terutama aktivis.

“Kami ikuti informasinya di media, belum ada kejelasan mengenai jenis dialog yang mau dimediasi oleh Komnas HAM itu. Tidak jelas. Kemungkinan yang akan diundang juga orang pilihan mereka. Kalau macam begini, itu bukan dialog untuk menyelesaikan persoalan Papua,” tuturnya.

ads

Iche mencurigai ada tujuan terselubung dengan wacana dialog tersebut terutama sehubungan dengan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua selama puluhan tahun yang tidak pernah diselesaikan.

“Semua pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu maupun sekarang, bukan masalah dalam negeri. Itu sudah ada di forum internasional. Indonesia stop saja dengan cara-cara tidak benar itu. Rakyat Papua mau dialog di tingkat internasional,” tegasnya.

Aktivis ULMWP itu menyatakan, dialog nasional bukan solusi terhadap penyelesaian semua persoalan terkait kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua.

“Isu pelanggaran HAM di Tanah Papua tidak perlu dilokalisir. Karena semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu maupun sekarang sudah ada di forum-forum internasional. Pemerintah pusat melalui Komnas HAM terlambat bergerak,” kata Murib.

Alasan pemerintah dianggap terlambat menanggapi dan mengambil langkah, menurutnya, karena laporan mengenai berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak 1960-an hingga kini akibat adanya perbedaan ideologi “Papua merdeka” sudah diketahui dunia internasional.

Baca Juga:  Empat Terdakwa Pembunuhan Bebari dan Wandik Dibebaskan, Wujud Impunitas

“Kenapa tidak mau bikin dari dulu? Sekarang orang Papua tidak mau dialog. Lagi pula dialog damai bukan solusi. Masalah Papua ada di Melanesia, ada di Pasifik dan di forum-forum internasional,” ujar Iche.

Sebelumnya, Benny Wenda, ketua ULMWP, menyatakan Komnas HAM RI tidak punya kapasitas untuk menginisiasikan dialog karena dialog sudah terjadi di forum MSG dan PIF, sebagaimana diberitakan jubitv.id.

Rakyat Papua, kata Benny, sebenarnya sudah tahu bahwa dialog yang diusulkan oleh Komnas HAM hanyalah pengalihan isu dari tekanan-tekanan masyarakat internasional kepada Indonesia.

“Komnas HAM RI tidak punya kapasitas untuk menyelenggarakan ataupun menjadi mediator dialog damai antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia. Karena Komnas HAM adalah institusi yang menjadi bagian dari negara Indonesia,” ujarnya.

Benny mengatakan selama ini apa yang dilakukan Komnas HAM pada kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua pun tidak pernah tuntas ataupun ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia. Fakta ini menunjukkan tidak adanya kepercayaan dari pemerintah Indonesia sendiri terhadap lembaga HAM negara yang dibentuknya sendiri.

“Fakta ini juga membuat rakyat Papua tidak percaya pada Komnas HAM itu juga,” kata Wenda.

Ketua ULMWP yang mendeklarasikan sebagai presiden pemerintahan sementara West Papua itu mengingatkan pada tahun 2019 lalu presiden Jokowi juga pernah mengatakan bersedia berdialog dengan kelompok-kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Papua. Tetapi hingga kini pernyataan tersebut tidak pernah terbukti.

Sudah Dialog di MSG dan PIF

Wenda menjelaskan, sesungguhnya rakyat Papua sudah berdialog dengan pemerintah Indonesia selama enam tahun belakangan ini dengan dimediasi oleh Melanesian Spearhead Groups (MSG) dan Pacific Islands Forum (PIF).

Dalam setiap forum MSG, kata dia, ULMWP yang memiliki posisi yang sama dengan Indonesia sebagai anggota (Indonesia sebagai Associated Member dan ULMWP sebagai Observer) mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan kehendak rakyat Papua berikut persoalan-persoalan HAM di Tanah Papua. begitupun pemerintah Indonesia mendapatkan kesempatan untuk memberikan responsnya.

Baca Juga:  PTFI Bina Pengusaha Muda Papua Melalui Papuan Bridge Program

“Kenapa Indonesia dimasukan sebagai Associated Member di MSG? Itu karena para pemimpin MSG mengharapkan Indonesia membawa solusi atas persoalan yang terjadi di Tanah Papua,” kata Wenda.

Tetapi hingga sejauh ini belum ada titik temu untuk melanjutkan proses penyelesaian persoalan Papua. Sebab, menurut Wenda, ULMWP membawa persoalan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM, sedangkan Indonesia membawa isu pembangunan dan Otonomi Khusus.

“Ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak punya niat yang baik untuk menyelesaikan persoalan. Bahkan mereka meremehkan persoalan yang terjadi,” tegasnya.

Rakyat Papua, lanjut Wenda, sebenarnya sudah tahu bahwa dialog yang diusulkan oleh Komnas HAM itu hanyalah pengalihan dari tekanan-tekanan masyarakat internasional kepada Indonesia untuk mencari penyelesaian persoalan Papua.

“Tekanan yang terjadi ini bukan tekanan Lembaga Swadaya Masyarakat ataupun inisiatif Komisioner Tinggi HAM PBB. Ini tekanan negara. Indonesia tahu itu, rakyat Papua juga tahu itu. Isu dialog ini hanyalah pengalihan perhatian rakyat saja,” jelas Wenda.

Para pemimpin MSG dalam kesempatan Forum MSG menegaskan MSG mengakui kedaulatan Indonesia dan dapat menyediakan platform atau forum untuk dialog antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia. Sebuah pernyataan yang disampaikan MSG dalam forum “Mengakhiri Kolonialisme” yang diselenggarakan oleh PBB, menyebutkan MSG telah berinisiatif untuk menciptakan dan melembagakan dialog ini, memelihara dan mengembangkannya dalam jangka menengah hingga jangka panjang untuk mengatasi keprihatinan Indonesia dan ULMWP.

Upaya MSG untuk mendampingi anggota akan dinilai pada waktunya dan penyesuaian akan dilakukan untuk lebih menyempurnakan pendampingan dan keterlibatan konstruktif dengan anggota MSG.

Sementara itu, Dame Meg Taylor, sekretaris jenderal Forum Kepulauan Pasifik (PIF), mengaku isu Papua telah menjadi agenda PIF sejak tahun 2000 dan melalui keterlibatan masyarakat sipil Pasifik, menjadi agenda tetap PIF pada tahun 2015.

Tahun 2021, PIF menyerukan kepada Dewan HAM PBB untuk mendorong semua pihak terkait untuk segera memfasilitasi misi ke West Papua oleh Komisaris Tinggi HAM PBB.

Baca Juga:  Kadis PUPR Sorsel Diduga Terlibat Politik Praktis, Obaja: Harus Dinonaktifkan

“Tanpa akses yang luas dari media independen, masyarakat sipil atau kelompok hak asasi manusia di Papua, sulit untuk memverifikasi masing-masing klaim. Namun demikian, laporan-laporan dugaan pelanggaran HAM itu tak bisa diremehkan. Saya tetap sangat bermasalah dengan konflik dan pelanggaran hak asasi manusia di West Papua,” kata Dame.

Syarat Dialog

Untuk melakukan proses dialog, Benny Wenda mengaku telah mengajukan syarat pada tahun 2019.

Jika syarat-syarat tersebut dipenuhi, kata dia, dialog damai antara pemerintah Indonesia dengan rakyat Papua bisa terjadi.

Adapun syarat-syarat itu antara lain:

Pertama, orang-orang Papua yang telah lama bertekad menuntut referendum, diikutsertakan dalam pertemuan.

Kedua, pertemuan dilakukan melalui mediasi pihak ketiga (Misalnya diselenggarakan oleh PBB atau negara pihak ketiga yang disepakati).

Ketiga, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia diizinkan untuk mengunjungi Papua Barat sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan oleh 18 negara Pasifik di Forum Kepulauan Pasifik ke-50 pada Agustus 2019.

Keempat, 16 ribu personel militer dan polisi Indonesia yang dikerahkan sejak Agustus 2019 segera ditarik.

Kelima, semua tahanan politik Papua Barat dibebaskan.

Keenam, semua pembatasan masuk ke Papua Barat untuk media internasional dan LSM dicabut.

Untuk itulah Wenda mengingatkan kepada Indonesia agar sebaiknya mengizinkan PBB untuk berkunjung ke Papua dan melihat fakta sesungguhnya. Apakah, laporan-laporan rakyat Papua yang benar atau laporan pemerintah Indonesia. Setelah fakta dan bukti atas masing-masing klaim didapatkan barulah bisa dilanjutkan dengan berdialog untuk menyelesaikan persoalan Papua.

“Kita selesaikan dengan hati yang dingin setelah mendapatkan bukti atas klaim masing-masing pihak.”

Wenda menegaskan, persoalan yang dihadapi sekarang terjadi karena keterlibatan pihak internasional, sehingga penyelesaiannya juga harus melibatkan mekanisme dan masyarakat internasional.

Pewarta: Onoy Lokobal
Editor: Markus You

Artikel sebelumnyaHUT ke-24 LMA Malamoi, Bupati Sorong: Harus Jaga Eksistensi
Artikel berikutnyaKepulauan Solomon dan NZ Lolos ke Final Piala Dunia 2022 Wilayah Oceania