BeritaAksi Protes Tiga Juni 2022, Amnesty: Negara Tidak Hargai Suara OAP

Aksi Protes Tiga Juni 2022, Amnesty: Negara Tidak Hargai Suara OAP

DOGIYAI, SUARAPAPUA.com — Amnesty International Indonesia dan Australia menyatakan tindakan represif terhadap massa aksi yang melakukan protes hari ini, Jumat (3/6/2022) menunjukkan bukti bahwa negara tidak menghargai suara orang asli Papua (OAP).

Hal tersebut disampaikan Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, menanggapi banyaknya massa aksi yang direpresif, ditangkap dan dipukul oleh aparat keamanan.

“Orang asli Papua memiliki hak untuk memprotes kebijakan pemerintah secara damai tanpa adanya kekhawatiran untuk ditangkap atau menerima kekerasan,” katanya kepada suarapapua.com, Jumat (3/6/2022).

OAP yang mengekspresikan pendapat mereka dalam protes damai, kata Usman, “lagi-lagi mengalami represi, kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan atau eksesif dari polisi, seperti pantauan Amnesty International Indonesia dan Amnesty International Australia hari ini.”

Baca Juga:  Lima Bank Besar di Indonesia Turut Mendanai Kerusakan Hutan Hingga Pelanggaran HAM

“Insiden yang berulang ini menunjukkan bahwa negara tidak menghormati suara orang asli Papua.”

Usman menjelaskan, pada 14 Juli 2021, setidaknya empat mahasiswa terluka di Jayapura setelah bentrok dengan aparat keamanan. Polisi dilaporkan memukuli pengunjuk rasa dengan tangan, senjata api, dan pentungan karet.

Kemudian, pada 15 Juli, polisi membubarkan paksa pengunjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta. Akibatnya, kata Usman, “50 orang ditangkap. Seorang pengunjuk rasa menceritakan bahwa dia dipukuli, diinjak, dan mendapatkan hinaan rasis dari aparat keamanan, sebelum ditarik ke dalam sebuah truk dan dibawa ke kantor Polda Metro Jaya.”

Baca Juga:  Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil Papua

Pada 16 Agustus, dalam sebuah unjuk rasa lainnya di Jayapura, pengunjuk rasa menggunakan meriam air dan pentungan karet untuk membubarkan pengunjuk rasa.

“Pemerintah Indonesia mengaku ingin ‘membangun’ Papua dan memberi kesejahteraan untuk orang Papua, tetapi bagaimana orang Papua bisa sejahtera kalau upaya mereka untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi saja direspons dengan kekerasan,” tegasnya.

Sementara itu, Sam Klintworth, direktur nasional Amnesty International Australia, menjelaskan, pada 10 Mei 2022 pengunjuk rasa yang melakukan demonstrasi menentang DOB dihadang polisi menggunakan tongkat dan meriam air.

Baca Juga:  Soal Satu WNA di Enarotali, Begini Kata Pakum Satgas dan Kapolres Paniai

Anehnya lagi, kata Klintworth, “tujuh aktivis Papua termasuk staf KontraS Papua juga ditangkap di hari yang sama. Mereka kemudian dibebaskan tanpa dakwaan, namun polisi mengatakan bahwa mereka sedang diselidiki terkait dugaan pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena menyebarkan ajakan daring untuk berpartisipasi dalam aksi demonstrasi.”

Pada tanggal 15 Maret, kata Sam Klintworth, dua pengunjuk rasa di Yahukimo ditembak mati oleh polisi.

“Demonstrasi hari ini dan perlakuan dari polisi hanyalah salah satu dari banyak insiden lainnya yang menunjukkan bagaimana suara dan keprihatinan orang asli Papua tidak didengarkan apalagi diakomodir,” kata Sam.

Pewarta: Yance Agapa

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.