Mutilasi Empat Warga Sipil, TNI Membuka Kotak Pandora Menuju Papua Merdeka

0
1163
Oleh: Paskalis Kossay)* 
)* Penulis adalah seorang politisi senior dan Intelektual di Papua

Sadar atau tidak sadar peristiwa pembunuhan disertai mutilasi keempat warga sipil masyarakat Nduga di Timika pada 22 Agustus 2022 lalu merupakan tindakan kriminal yang mendatangkan resiko politik yang luas bagi kelangsungan bangsa dan negara Indonesia. Karena pelakunya ada keterlibatan enam oknum anggota TNI aktif yang merupakan bagian dari sistem khombatan.

Peristiwa yang tergolong sebagai perbuatan sadis dan biadab ini mengundang keprihatinan yang mendalam dari sisi kemanusiaan, tetapi juga memantik simpati yang luas dalam perspektif politik perjuangan papua merdeka. Sebab keterlibatan oknum anggota TNI sebagai pelaku otomatis terbentuk opini publik bahwa peristiwa sadis itu bagian dari kekerasan politik secara struktural, sistematis dan masif.

Dengan demikian akan terkendala dalam perjalanan agenda diplomasi politik mengkaunter perkembangan isu perjuangan politik papua merdeka. Sementara dipihak aktivis pergerakan papua merdeka diberi ruang semakin bebas mendorong agenda perjuangannya dengan memanfaatkan peristwa kebiadaban tersebut sebagai amunisi politik baru dalam mencapai dukungan politik dari pihak lain .

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Kita harus sadar bahwa setiap peristiwa apapun yang berskala kekerasan, pembunuhan, dan penindasan yang dialami pada orang asli papua semuanya mengarah pada unsur politik . Karena memang kondisi papua selalu berada dalam dimensi politik yang tinggi dan fluktuatif kejadiaannya sehingga mempengaruhi eskalasi politik tetap tinggi. Dalam kondisi demikian maka apapun yang terjadi menjadi konsumsi politik yang terus didriving oleh konsumen politiknya.

Peristiwa 4 korban mutilasi ini memiliki dimensi politik yang tinggi. Walaupun pihak polisi menyatakan bahwa motifnya adalah kriminal. Sebab peristiwa seperti ini baru pertama kali terjadi ditanah papua dan apalagi pelakunya termasuk unsur oknum TNI maka sudah jelas bahwa persepsi umum mengarah pada dimensi politik. Publik baik luar dan dalam negeri memandang, aparat keamanan Indonesia baik TNI dan Polri sedang mengancam keselamatan hidup penduduk asli papua.

ads

Pandangan tersebut akan mengkristal menjadi bola salju politik bergulir deras, semakin sulit dikendalikan oleh Pemerintah, membuat isu politik papua semakin terbuka diterima pihak luar. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Efendi Simbolon, bahwa peristiwa mutilasi warga papua lebih berat dari kasus Sambo ( Kompas.com 1/9/2022 ). Efendi Simbolon Anggota Komisi I DPRI RI itu mengusulkan, supaya Komisi I DPR RI membentuk Tim Khusus untuk mengawal penanganan peristiwa mutilasi 4 warga sipil papua ini.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Insting politik Efendi Simbolon terbaca bahwa pertimbangan politik peristiwa mutilasi lebih berat dan berbahaya daripada kasus pembunuhan Brigadir J. Implikasi politik dari peristiwa mutilasi lebih berbahaya karena akan berpotensi mempengaruhi hubungan emosional persaudaraan politik lintas negara seperti Amerika, Eropa, Australua dan Pasifik Melanesia. Demikian akan merepotkan posisi Indonesia dalam hubungan diplomasi politiknya menjaga kepentingan bersama negara-negara kawasan tersebut.

Jika Pemerintah Indonesia tidak ingin kecelongan atau tidak ingin merepotkan diri dalam mengkaunter isu mutilasi ini, sebaiknya segera dibentuk Tim Khusus untuk mengawal proses penegakan hukum kepada pelaku yang seberat-beratnya setimpal dengan perbuatan kebiadaban itu. Tim Khusus lebih tepatnya dibentuk oleh Komisi I DPR RI sebagaimana diusulkan oleh Bapak Efendi Simbolon.

Presiden Jokowi dalam menanggapi peristiwa mutilasi ini terkesan tidak tegas. Presiden hanya menyampaikan telah memerintahkan kepada Panglima TNI untuk menindak tegas para pelaku. Sepertinya Presiden Jokowi tidak menyadari kalau implikasi politik dari kasus mutilasi ini cukup berat dan meluas. Bisa juga berpotensi mengganggu agenda pelaksanaan G20 di Bali pada November 2022 nanti.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Terlepas dari semua analisa dan perspektif politik sebagaimana digambarkan diatas, menurut catatan saya, peristiwa mutilasi ini lebih berat dan implikasi politiknya lebih kuat dari peristiwa-peristiwa pembunuhan lain yang dialami orang asli papua selama ini. Peristiwa mutilasi ini takaran politiknya sama dengan peristiwa Santa Cruz di Timor Timur dulu. Korban Titim 200-an orang, sedangkan di Timika hanya 4 orang tetapi disertai dengan tindakan mutilasi ini yang berdampak luas bisa sejajar dengan peristiwa Santa Cruz.

Karena itu Presiden Jokowi jangan menganggap ringan atau masalah biasa perustiwa mutilasi ini. Ini masalah besar yang mempertaruhkan keutuhan integritas bangsa dan negara. Harusnya Presiden tegas memerintahkan aparat hukum supaya pelaku diproses hukum diperadilan umum dan dihukum seberat-beratnya setimpal dengan perbuatan mereka. (*)

Artikel sebelumnyaPresiden RI Giat Kunjungi Papua: Benarkah Jokowi Mencintai Papua?
Artikel berikutnyaDua Cabang GMNI Tantang Polri Bongkar Mafia BBM di Sorong Raya