BeritaPeraduan Amerika Serikat vs Tiongkok atas PIF

Peraduan Amerika Serikat vs Tiongkok atas PIF

THE ECONOMIST — Tiongkok dan Amerika Serikat, meski keduanya mencoba merayu negara-negara kepulauan Pasifik, Pacific Islands Forum (PIF) tidak akan mudah terpengaruh. Mereka tidak akan mudah terombang-ambing.

Bagi para perencana strategis di Beijing (ibu kota Tiongkok) dan Washington (AS), lokus terbaru dari pertarungan kekuatan besar yang tajam antara Tiongkok dan AS dan sekutunya sudah jelas: keluasan besar-besaran di Samudra Pasifik Selatan dan negara-negara kepulauannya.

Negara-negara Barat pertama kali khawatir pada tahun 2018, ketika sebuah bank Tiongkok yang diarahkan pemerintah mengatakan akan mendanai pembangunan dermaga di Vanuatu, negara yang berada timur laut Australia ini. Pemerintah di Canberra, ibu kota Australia, khawatir itu mungkin menjadi perintis jalan pangkalan angkatan laut Tiongkok di kawasan itu. Kemudian, tiga tahun lalu, Kiribati dan Kepulauan Solomon, yang telah terjalin hubungan dengan Taiwan selama bertahun-tahun, mengubah kesetiaan diplomatik mereka sebagai akibat dari bujukan keuangan dan bujukan Tiongkok lainnya.

April ini, Tiongkok menandatangani perjanjian keamanan dengan Kepulauan Solomon, yang memungkinkan kunjungan kapal dan pengerahan personel polisi dan militer bersenjata, sekali lagi menimbulkan kekhawatiran di Australia.

Pada bulan Mei, menteri luar negeri Tiongkok, Wang Yi, memulai tur ke negara-negara kepulauan dalam upaya untuk membuat mereka mendaftar ke “visi pembangunan bersama negara-negara kepulauan Tiongkok-Pasifik” — singkatnya, blok geopolitik baru. Proposal tersebut termasuk kerjasama yang lebih erat dalam kepolisian dan keamanan siber serta perdagangan yang lebih bebas.

Baca Juga:  AS dan Fiji Menandatangani Pakta Pertahanan Baru Atas Pengaruh Tiongkok di Pasifik

Amerika tertangkap saat (catch napping) sedang tidur siang. Sejak itulah, pemerintahan Presiden Joe Biden telah berusaha untuk menebus kesalahannya. Pada bulan Juli, wakil presiden AS, Kamala Harris, berpidato di PIF, di hadapan para kelompok terkemuka di kawasan itu, menjanjikan keterlibatan yang lebih dalam.

Dan pada akhir September, Gedung Putih AS meluncurkan strategi Kepulauan Pasifik pertamanya pada pertemuan puncak KTT AS dan PIF, dua hari pertemuan dengan para pemimpin Pasifik yang diselenggarakan oleh Biden di Washington.

Hasil rapat itu megeluarkan pembukaan kedutaan baru dan menawarkan bantuan baru senilai $810 juta Dollar Amerika atau setara Rp12 Triliunan lebih, termasuk bantuan untuk perlindungan terhadap penangkapan ikan yang tidak diatur dan dampak kenaikan permukaan air laut. Strateginya adalah menggabungkan Pasifik Selatan ini ke dalam kerangka keamanan “Indo-Pasifik” yang dirancang untuk melawan kebangkitan Tiongkok.

Untuk semua kontes yang sedang berlangsung ini tampaknya baru bagi para protagonisnya, pulau-pulau Pasifik sendiri mengingat era sebelumnya ketika hubungan eksternal mereka ditentukan oleh kekuatan besar.

Baca Juga:  PP PMKRI Mendesak Bawaslu dan DKPP Merespon Laporan MRP-BD Soal Kode Etik

Pada abad ke-19, Inggris dan Prancis bersaing memperebutkan Tahiti dan pulau-pulau yang tersebar di Polinesia Prancis modern. Jerman dan Inggris berjuang untuk menguasai Fiji, Samoa dan bagian timur pulau New Guinea (PNG). Amerika berada di belakang kudeta pertama Pasifik, di Hawaii pada tahun 1893 (mereka menganeksasi pulau-pulau segera setelah itu).

Jepang mengakuisisi sebagian besar Mikronesia setelah perang dunia pertama. Pertempuran Guadalcanal di dan sekitar pulau utama Kepulauan Solomon menyaksikan beberapa pertempuran paling sengit dalam perang dunia kedua. Selama perang dingin, kesepakatan penangkapan ikan Uni Soviet dengan Kiribati dan Vanuatu memprovokasi jenis masalah keamanan yang sama di Barat seperti yang dilakukan Tiongkok saat ini.

Mengingat sejarah itu dapat membantu kita memahami kerentanan negara-negara Pasifik saat ini – serta kebanggaan mendalam mereka. Mereka benci dipermainkan, terutama ketika mereka tidak diajak berkonsultasi. Mungkin Wang seharusnya tidak terkejut ketika negara-negara menolak proposalnya secara kolektif – Tiongkok tidak repot-repot berkonsultasi dengan mereka.

Dengan cara yang sama, mungkin elang Barat (sebutan untuk kebijakan militer AS) telah salah membaca perjanjian keamanan Kepulauan Solomon. Untuk semua uang Tiongkok yang keruh tampaknya telah dikerahkan untuk memastikan dukungan politik bagi promotornya, perdana menteri, Manasseh Sogavare, perhatiannya bukanlah untuk mengintervensi negaranya dalam permainan kekuatan besar, tetapi lebih pada domestik: mencegah pengulangan kerusuhan mematikan di ibu kota, Honiara, tahun lalu.

Baca Juga:  Kanaky Menaruh 'Harapan dan Kemanusiaan' Kepada Pemimpin Pasifik yang Mengunjungi ke Kaledonia Baru

Dinilai oleh kesediaan pulau-pulau itu untuk mendaftar ke programnya, Biden bernasib lebih baik daripada Wang. Tetapi mendaftar bukanlah komitmen, dan tentu saja tidak ada suara keras untuk perintah yang dipimpin Amerika. Bagaimanapun, perdagangan (trade) jauh lebih diinginkan daripada bantuan (aid), dan Tiongkok menawarkan lebih banyak potensi untuk itu. Sementara itu, negara-negara kepulauan ini telah melihat janji-janji keterlibatan kembali Amerika di masa lalu, termasuk saat Biden menjadi wakil presiden AS, jumlahnya yang relatif kecil.

Namun, Biden telah mengambil langkah besar dengan mengakui bahwa sementara Amerika melihat keamanan dalam istilah kekuatan keras (hard-power), pulau-pulau Pasifik melihatnya dengan sangat berbeda, dalam hal kenaikan permukaan laut dan pembangunan. Dan akibatnya, negara-negara Pasifik tidak diperlakukan, seperti yang dikatakan jaksa agung Fiji, “Titik-titik kecil yang terlihat dari jendela pesawat para pemimpin dalam perjalanan ke pertemuan di mana mereka berbicara tentang kita daripada dengan kita”. Itu dipersilakan. Tetapi sejarah yang suram tidak menawarkan keyakinan besar bahwa itu akan bertahan.

Sumber: https://www.economist.com/asia/2022/10/06/what-pacific-island-states-make-of-the-great-power-contest-over-them

Penerjemah: Nop Jr

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.