BeritaSidang HAM Paniai Sangat Buruk, KontraS: Satu Kegagalan Jokowi-Ma’ruf

Sidang HAM Paniai Sangat Buruk, KontraS: Satu Kegagalan Jokowi-Ma’ruf

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Komitmen presiden Joko Widodo menuntaskan kasus pelanggaran HAM Berat Paniai tahun 2014 yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus Makassar, Sulawesi Selatan, masih menjadi pekerja besar bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang pada hari Kamis (20/10/2022) genap tiga tahun memimpin Negara Indonesia.

Demikian catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada tiga tahun kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf. KontraS luncurkan laporan berjudul ‘Catatan 3 Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin Tiga Tahun Bekerja, Kemunduran Demokrasi Kian Nyata’.

Terhadap kasus pelanggaran HAM Berat Paniai, KontraS menyebut upaya penuntasannya belum terlihat meski lagi disidangkan di Pengadilan HAM, tetapi banyak pihak kecewa karena salah satunya sangat buruk proses peradilannya terhadap tragedi berdarah yang terjadi delapan tahun silam saat periode pertama presiden Joko Widodo.

Tioria Pretty Stephanie, kepala divisi Pemantauan Impunitas KontraS, menegaskan, peradilan kasus HAM Berat Paniai sangat buruk dan mengecewakan. Dari hasil penyidikan hingga keterangan saksi-saksi di ruang sidang sangat mengecewakan, yang sangat mungkin mengarah pada impunitas.

“Pengumuman penyidikan jelang Hari HAM Sedunia pada tahun 2021 seolah menjadi angin segar bagi situasi penyelesaian pelanggaran HAM Berat di Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu, penyidikan ini yang justru menjadi masalah bagi buruknya proses pengadilan HAM yang masih berlanjut sampai hari ini. Kita dihadapkan pada hasil penyidikan yang mengecewakan,” ujarnya dalam siaran pers, Kamis (20/10/2022).

KontraS menyayangkan hanya terdapat satu tersangka dalam Kasus Paniai, yakni Isak Sattu, seorang purnawirawan TNI yang saat kejadian bertugas sebagai Perwira Penghubung (Pabung) Kodim 1705/Paniai di Koramil 1705-02/Enarotali.

“Padahal, peristiwa ini dikonstruksikan sebagai kejahatan kemanusiaan dalam bentuk pembunuhan dan penganiayaan yang juga dikaitkan dengan pasal rantai komando,” kata Tioria.

Tanggal 3 Februari 2020, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) menetapkan Kasus Paniai 7-8 Desember 2014 sebagai pelanggaran HAM Berat. Tragedi tersebut menewaskan 4 orang dan 21 lainnya luka-luka.

KontraS juga menyoroti proses persiapan persidangan Pengadilan HAM Berat oleh Mahkamah Agung, yang dinilai dilakukan secara tidak optimal.

Peristiwa berdarah di Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014. Sidang perdananya digelar Rabu 21 September 2022.

“Lamanya jeda waktu antara Pengadilan HAM sebelum peristiwa Paniai ini membuat seolah kekuasaan dan lembaga negara terkait gagap untuk menyelenggarakan Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai. Tercatat bahwa Mahkamah Agung baru melempar informasi perekrutan Hakim Ad Hoc di tanggal 20 Juni 2022, sehingga menyebabkan prosesnya menjadi tergesa-gesa,” bebernya.

Proses persidangan masih dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli. KontraS sesalkan karena para korban dan keluarga korban belum dilibatkan.

“Tidak adanya pelibatan para penyintas dan keluarga korban sebagai saksi dan pihak yang harus dipenuhi pemulihannya. Pihak penyintas dan keluarga korban bersama dengan sejumlah pendamping di Paniai menyampaikan kekecewaan mendalam akan proses hukum yang berlangsung yang justru menjadi pintu ketidakadilan berikutnya,” ujar Tioria.

Baca Juga:  ULMWP Kutuk Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

KontraS juga membeberkan beberapa hal lain yang bikin kecewa para korban dan keluarga korban hingga ada keputusan tidak mengikuti persidangan di PN Makassar.

“Lambannya tindak lanjut proses hukum meski warga sudah kooperatif, dipilihnya lokasi pengadilan di Makassar meski ketentuan hukum memungkinkan Pengadilan HAM untuk diselenggarakan di Papua, serta terdakwa yang hanya berjumlah satu orang menjadi faktor di balik pilihan mereka,” paparnya.

Dari sejumlah catatan itu, KontraS khawatirkan proses persidangan tidak akan memberikan rasa keadilan bagi para korban dan keluarganya, sehingga pada akhirnya sidang yang digelar di masa pemerintahan Presiden Jokowi dinilai kembali memberikan impunitas bagi para pelaku.

“Ketiadaan para penyintas dan keluarga korban sebagai saksi di Pengadilan HAM atas Kasus Paniai menyebabkan narasi yang berkembang kembali menyudutkan korban. Berbagai penggambaran perilaku warga ditonjolkan seolah menjadi pembenaran dari tindakan kekerasan dan penanganan yang tidak terukur dari aparat saat kejadian meletus,” katanya.

Dengan kondisi seperti ini, KontraS menduga peradilan terhadap Tragedi Paniai Berdarah juga bisa bernasib sama seperti tiga kasus HAM sebelumnya.

“Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai yang sebelum prosesnya berlangsung sudah diklaim secara sepihak apresiasinya, berpotensi untuk berakhir antiklimaks layaknya tiga Pengadilan HAM sebelumnya dan impunitas tetap merajalela,” ujar Tioria.

Sebelumnya, Pekerja HAM di Indonesia mempersoalkan penetapan satu tersangka dalam Kasus Paniai.

Selain KontraS, YLBHI, PBHI, dan Amnesty International Indonesia yang terus memantau proses persidangan, mempertanyakan hasil penyidikan Kejaksaan Agung (Kejagung). Sebab, diduga masih ada pelaku lain termasuk faktor komando dalam Kasus Paniai, tetapi tidak terseret ke meja hijau. Hal itu ditambah dengan fakta persidangan dan fakta lapangan sebagaimana rekomendasi Komnas HAM RI.

Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, usai mengamati proses persidangan kedua yang dianggap berjalan tidak optimal, menyatakan, berdasarkan pengakuan saksi dari institusi Polri pada sidang Rabu (28/9/2022) lalu, semakin kuat alasan Kejaksaan Agung dan Pengadilan untuk tidak hanya memproses satu terdakwa.

Hal itu juga sesuai identifikasi pelaku oleh Komnas HAM RI, yakni adanya pelaku lapangan, komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, dan pelaku pembiaran dalam Peristiwa Paniai 2014.

Menurut Usman, tingkat keseriusan Kejagung patut dipertanyakan dalam proses peradilan Kasus Paniai.

Dari keterangan para saksi serta hasil investigasi Komnas HAM RI, Usman menilai Kejaksaan tidak serius dan tidak menunjukkan keberpihakan kepada korban dan juga publik atas pelanggaran HAM Berat Paniai 2014.

“Pengadilan HAM wajib menggali fakta selain narasi yang dikembangkan dari saksi yang dihadirkan oleh tim JPU,” ujarnya.

Usman juga menegaskan, Pengadilan HAM wajib menindaklanjuti kesaksian yang menyebutkan sejumlah nama terduga pelaku lain untuk turut diperiksa dan dimintai pertanggungjawabannya.

Baca Juga:  Ruang Panggung HAM Harus Dihidupkan di Wilayah Sorong Raya

Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Kasus Paniai 2014 dalam siaran pers 21 September 2022 mendesak Jaksa Agung segera mengusut tuntas seluruh pelaku, selain IS, yang bertanggungjawab langsung atau yang memegang tanggung jawab komando dan membawa mereka ke peradilan.

Dibeberkan, penetapan satu pelaku tunggal dalam konstruksi dakwaan kasus Paniai 2014 sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi melalui “serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” tidak tepat karena melibatkan lebih dari satu pelaku.

Berdasarkan hukum dan standar internasional yang berlaku dalam kejahatan terhadap kemanusiaan menyatakan bahwa yang memiliki tanggung jawab komando maupun pelaku kejahatan harus dimintai tanggung jawab pidana dengan diadili.

Koalisi menyatakan, konteks pertanggungjawaban komando tidak berhenti pada orang yang memberikan perintah saja, tetapi termasuk pertanggungjawaban atasan yang tidak mencegah atau menghentikan tindakan pelanggaran HAM Berat atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

“Oleh karena itu, sudah sepatutnya dakwaan tidak hanya menyasar IS sebagai Perwira Penghubung, tetapi juga menyasar pada atasan yang dalam hal ini telah diduga tidak mencegah atau menghentikan dan menyerahkan pelaku kepada pihak berwajib.”

Bahkan Jaksa Agung dianggap melindungi pelaku dengan tidak menuntut pelaku yang jelas sangat potensial melanggar HAM. Kata Koalisi, “Sudah sepatutnya Jaksa turut menuntut pimpinan TNI yang bertanggungjawab dan kepala Operasi Aman Matoa V sebagaimana juga terang dijelaskan dalam laporan penyelidikan Komnas HAM RI.”

Lanjut Koalisi, seharusnya Penuntut memulai dengan membuktikan pelaku lapangan telah melakukan kejahatan kemanusiaan. Jika Penuntut memulai dari penanggungjawab komando, maka seandainya penanggungjawab komando diputus bebas oleh Pengadilan, mengakibatkan pelaku lapangan kemudian tidak lanjut didakwa oleh Penuntut.

Koalisi juga mengingatkan kembali pernyataan Komnas HAM RI tentang adanya obstruction of justice untuk dapat menjerat pertanggungjawaban pidana yang melibatkan pejabat TNI di atas terdakwa IS. Juga mempertanyakan mengapa tindak pidana perintangan keadilan ini luput dari proses hukum saat ini?

Karena itu, Koalisi menilai dakwaan Kejaksaan Agung mengaburkan konstruksi hukum kejahatan terhadap kemanusiaan, salah satunya dengan hanya menetapkan IS sebagai satu-satunya terdakwa yang bahkan akan merugikan hak asasi dirinya karena bisa saja sebatas dijadikan “kambing hitam”.

Koalisi juga bahkan dengan tegas pertanyakan, Jaksa sedang melindungi siapa jika menetapkan dan menuntut hanya satu orang saja dalam kasus pelanggaran HAM Berat Paniai?

Sejatinya komitmen negara telah diperlihatkan sejak awal. Tepat dua pekan setelah Tragedi Paniai Berdarah, presiden Joko Widodo berjanji akan menyelesaikan kasus tersebut.

“Saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatnya, agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Kita ingin, sekali lagi, Tanah Papua sebagai tanah yang damai,” ujarnya dari Stadion Mandala Jayapura saat menghadiri perayaan Natal, 27 Desember 2014.

Baca Juga:  Dewan Pers Membentuk Tim Seleksi Komite Perpres Publisher Rights

Butuh tujuh tahun untuk masuk proses penyidikan kasus pelanggaran HAM Berat Paniai.

Rekomendasi Komnas HAM dikeluarkan 3 Februari 2020.

Baru Desember 2021, penyidikan dimulai. Selama kurang lebih empat bulan, Kejagung memeriksa tujuh warga sipil, 18 orang dari kepolisian, 25 orang dari unsur TNI, serta enam pakar ahli.

Awal April 2022, Kejagung menetapkan satu tersangka berinisial IS.

Juni 2022, Kejagung mengumumkan pelimpahan berkas perkara kasus Paniai ke Pengadilan HAM pada PN Makassar.

Rabu (21/9/2022), sidang perdana digelar. Sidang dengan agenda mendengarkan dakwaan Jaksa terhadap terdakwa.

Sejak sidang perdana hingga kini sudah delapan kali sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan saksi ahli. Sedikitnya 27 orang telah dihadirkan JPU.

Di sidang kedua Rabu (28/9/2022), JPU hadirkan 4 saksi yang nota bene anggota Polri dari Polres Paniai. Antara lain Briptu Andi Richo Amir, Briptu Abner Onesimus Windesi, Bripka Riddo Bagaray, dan Aipda Haile ST. Wambrauw.

Pada sidang ketiga Senin (3/10/2022), dihadiri 3 saksi. Yakni Kompol (Purn) Petrus Gawe Boro (Kapolsek Paniai Timur), Kompol Sukapdi (Kabag Ops Polres Paniai), dan AKP H Mansur (Kasat Reskrim Polres Paniai).

Sidang keempat Kamis (6/10/2022), empat orang saksi dihadirkan JPU. Yakni AKBP (Purn) Daniel T Prionggo (Kapolres Paniai), Kompol Hanafi (Wakapolres Paniai), Pius Gobay (Kepala distrik Paniai Timur), dan ketua Dewan Adat Paniai John NR Gobai.

Sidang kelima hari Senin (10/10/2022), agenda mendengarkan keterangan saksi batal digelar. Sidang ditunda hari Rabu (12/10/2022), dan berhasil hadirkan 7 saksi dari TNI. Yakni Mayor Infanteri Prasenta Emanuel Bangun, Letnan Dua Gatot Wahyu Sugeng Riyanto, Sersan Mayor Sugiantoro, Serka Jusman, Sertu Supriyono, dan Serda Dodi Carlo Takapaha.

Sidang keenam, Kamis (13/10/2022), JPU hadirkan 6 saksi. Masing-masing mantan Wakapolri Komjen (Purn) Ari Dono Sukamto, mantan Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI (Purn) Fransen G. Siahaan, beberapa perwira Kodam XVII yakni Kolonel Frans Yohanes Purba, Letkol CPM Wiryadi, Imam Wibowo, serta satu perwira Polri, Kombes Pol John Carles Edison Nababan.

Sidang ketujuh digelar hari Senin (17/10/2022), dengan menghadirkan tiga saksi ahli. Yakni dr. Agus, Brigjen (Purn) Wahyu Wibowo, dan Dwi Ajeng Wulan Kristianti.

Sidang kedelapan pada Kamis (20/10/2022), masih beragendakan mendengar keterangan dari saksi ahli. Tiga saksi ahli dari JPU yang hadir di sidang ini, masing-masing Kombes Maruli Simanjuntak (Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri), Robintan Sulaiman (Ahli forensik), dan Iman Prihandono (Ahli hukum Universitas Airlangga).

Sesuai rencana awal, sidang digelar dua kali dalam sepekan. Setiap hari Senin dan Kamis.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di PBD Belum Diterapkan

0
“Kami bersama AMAN Sorong Raya akan melakukan upaya-upaya agar Perda PPMHA  yang telah diterbitkan oleh beberapa kabupaten ini dapat direvisi. Untuk itu, sangat penting semua pihak duduk bersama dan membicarakan agar Perda PPMHA bisa lebih terarah dan terfokus,” ujar Ayub Paa.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.