Dibutuhkan Dukungan Publik dan Media untuk RUU Masyarakat Adat Disahkan

0
432

SENTANI, SUARAPAPUA.com — Peran media massa dan media sosial dinilai sangat penting bagi perjuangan hak-hak Masyarakat Adat di Nusantara. Pernyataan ini muncul dalam acara sarasehan dengan tema “Peran Media Massa & Media Sosial dalam Mendukung Perjuangan Hak Masyarakat Adat & Sebagai Ruang Kebebasan Berpendapat”. Sarasehan yang dilangsungkan di Kampung Nendali, Kab. Jayapura, pada 26 Oktober 2022. 

Sarasehan yang dibuka oleh Laode Muhammad Syarif, Direktur Kemitraan ini merupakan bagian dari rangkaian acara Kongres Masyarakat Adat Nusantara Keenam (KMAN VI) di Wilayah Adat Tabi, Papua yang digelar oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). 

Menurut Laode Muhammad Syarif, keberpihakan media perlu selalu dibunyikan, terutama untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat. 

“Media harus menjadi tempat pembelajaran untuk perjuangkan hak Masyarakat Adat yang suaranya kadang tidak terdengar atau tidak sampai pada media dan masyarakat umum,” ujarnya. 

Sarasehan yang dihadiri lebih dari 100 peserta dari perwakilan komunitas Masyarakat Adat di penjuru Nusantara ini menjadi landasan penting untuk melihat lebih dalam peran media dan media sosial dalam perjuangan hak-hak Masyarakat Adat dan perjuangan pengesahan RUU Masyarakat Adat. 

ads
Baca Juga:  Pertamina Pastikan Stok Avtur Tersedia Selama Arus Balik Lebaran 2024

Hadir dalam sarasehan tersebut Victor Mambor dari media Jubi yang memberikan penekanan bahwa Masyarakat Adat juga harus mampu membangun media sendiri untuk mengabarkan berbagai isu Masyarakat Adat, dan tidak bersandar pada media arus utama saja. 

Hal senada juga disampaikan oleh Harry Surjadi dari Tempo Witness yang mendorong AMAN sebagai organisasi yang menaungi jutaan Masyarakat Adat untuk membangun jurnalisme rakyat. 

Sementara itu, Alfa Gumilang, staf Infokom Pengurus Besar AMAN menyatakan bahwa media-media penting untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi suara-suara Masyarakat Adat yang selama ini dipinggirkan. Terlebih, ketika terjadi konflik perampasan wilayah adat oleh perusahaan atau pemerintah, suara Masyarakat Adat kerap tak mendapatkan porsi yang baik. 

“Hanya ada beberapa media yang secara konsisten memberikan ruang yang cukup baik bagi suara Masyarakat Adat,” ucapnya. 

Oleh karenanya, Masyarakat Adat kerap menggunakan media sosial sebagai ruang untuk menyuarakan masalah-masalah yang dihadapi. Walau saat ini dukungan publik secara umum belum terlihat masif atas isu-isu Masyarakat Adat, terutama pada agenda pengesahan RUU Masyarakat Adat. 

Baca Juga:  Aksi Hari Aneksasi di Manokwari Dihadang Aparat, Pernyataan Dibacakan di Jalan

“Jika RUU Masyarakat Adat ini disahkan, maka perampasan-perampasan wilayah adat tidak akan terjadi lagi. Sehingga sangat penting bagi publik luas untuk mau mendukung perjuangan pengesahan RUU yang sudah 12 tahun mengendap di DPR,” sambungnya. 

Media sosial yang menjadi salah satu pokok bahasan dalam sarasehan tersebut juga disoroti oleh Mardiyah Chamim dari Development Dialogue Asia. Mardiyah menilai di tengah keterbatasan media, perlu menggunakan media sosial sebagai senjata lain dari perjuangan Masyarakat Adat.

“Kita perlu gunakan semua senjata: media arus utama dan media sosial. Keduanya punya karakter. Media arus utama bisa ke advokasi yang terarah dan media sosial mengajak publik untuk dukung atau peduli dengan apa yang dialami Masyarakat Adat,” ujar Mardiyah yang dulunya juga adalah seorang jurnalis,  Kamis (27/10/2022)

Namun demikian, ruang terbuka untuk melakukan kampanye di media sosial bukan tanpa masalah. Mereka yang bersuara di media sosial masih terus dibayangi oleh UU ITE yang bisa kapan saja menjerat Masyarakat Adat yang bersuara kritis.

 Padahal, bersuara di media sosial merupakan bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi. Komnas HAM sudah melakukan kajian dengan banyak pasal yang mengkriminalkan orang yang berekspresi.

Baca Juga:  ULMWP Desak Dewan HAM PBB Membentuk Tim Investigasi HAM Ke Tanah Papua

“Hak kebebasan berpendapat dan berekspresi ini fundamental. Bayangkan jika ada peristiwa yang mengusik keadilan dan tak manusiawi, maka Masyarakat Adat berhak berpendapat dan berekspresi,” ujar Mimin Dwi Hartono, Pelaksana Tugas Kepala Biro Pemajuan HAM Komnas HAM.

Dalam sarasehan tersebut juga hadir Dinna Noach, Staf Khusus Gubernur NTT Bidang Disabilitas, yang juga menyampaikan gambaran bagaimana para penyandang disabilitas, seperti halnya Masyarakat Adat, tidak banyak mendapatkan ruang pemberitaan di media.

Ia merasa bahwa media punya peran yang penting untuk mengangkat isu-isu kelompok masyarakat yang dipinggirkan. 

Hadir pula dalam sarasehan tersebut Ridzki Rinanto Sigit, Mongabay Indonesia dan Yuliana Langowuyo, Direktur SKPKC Fransiskan Papua. 

Sarasehan yang dilaksanakan buah kerjasama AMAN dengan Human Rights Working Group (HRWG) dan Komnas HAM tersebut ditujukan untuk mendapatkan berbagai rekomendasi yang akan dibahas di sidang-sidang pleno di KMAN VI dan nantinya ditetapkan sebagai program dan rencana kerja Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).  

Pewarta: Yance Wenda
Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaJonah Wenda, dari Penjara Kalisosok hingga ketua WPNCL
Artikel berikutnyaPemerintah Dituntut Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat