BeritaTerdakwa Tunggal Kasus HAM Berat Paniai Bantah Seluruh Dakwaan, Prosesnya Disorot Tidak...

Terdakwa Tunggal Kasus HAM Berat Paniai Bantah Seluruh Dakwaan, Prosesnya Disorot Tidak Optimal

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Perkara pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Berat Paniai tahun 2014 yang disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Khusus Makassar, Sulawesi Selatan, disorot pegiat HAM tidak optimal dalam proses penyidikan hingga persidangan tanpa keterlibatan korban, keluarga korban dan saksi sipil.

Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai Berdarah 2014 mengungkap minimnya keterlibatan itu terlihat dari sejak penyidikan dan berlangsung hingga proses persidangan. Narasi pemeriksaan lebih banyak didominasi saksi aparat Polri dan TNI yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di persidangan.

Tioria Pretty Stephanie dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai Berdarah 2014 mengemukakan, pengakuan tim JPU bahwa dalam kasus Paniai telah memeriksa 55 saksi dengan 8 diantaranya warga sipil yang kemudian hanya hadirkan 2 saksi di ruang sidang.

Pemantauan selama persidangan, kata Tioria, pelibatan korban dan saksi sipil sangat minim. Delapan orang unsur masyarakat sipil yang diperiksa oleh Kejaksaan Agung, hanya 2 saksi yang dihadirkan. Sedangkan saksi-saksi dari lokasi kejadian pertama yaitu pondok Natal di Gunung Merah pada 7 Desember 2014 tidak pernah berhasil dihadirkan ke persidangan oleh JPU.

Akibat dari itu, lanjut Tioria, keterangannya lebih banyak dari pihak TNI dan Polri. Hal itu jelas membuat perbedaan yang mencolok terkait kronologi serta tindakan pelaku dan korban dalam dakwaan JPU dengan ringkasan eksekutif hasil penyelidikan pro justisia Komnas HAM.

“Dari berbagai perbedaan itu membuat pengadilan HAM Berat Paniai menjadi tidak optimal,” ujarnya.

Selain KontraS, Koalisi terdiri dari gabungan organisasi masyarakat sipil yang ada di Jakarta, Makassar dan Papua, antara lain Amnesty International Indonesia, PBHI, LBH Makassar, Bersatu Untuk Keadilan (BUK), Elsham Papua, dan lain-lain.

Baca Juga:  Atasi Konflik Papua, JDP Desak Pemerintah Buka Ruang Dialog

Koalisi dari sebelumnya sempat ragukan kredibilitas persidangan kasus HAM Berat Paniai. Keraguan itu dikemukakan kembali setelah sidang kedelapan pada Kamis (20/10/2022), lantaran proses persidangan belum memperlihatkan upaya penuntasan. Terbukti dari saksi-saksi yang dihadirkan untuk diperiksa, masih terdengar kesaksian yang berbeda-beda bahkan muncul upaya pengabuan fakta lapangan.

Penyampaian dakwaan yang kabur dari konteks peristiwa dan konsep pelanggaran HAM Berat di hadapan terdakwa tunggal dan penasihat hukumnya pada sidang perdana, JPU menurut Koalisi tidak berupaya optimal membuktikan unsur sistematis atau meluas yang menjadi unsur penting dari Pasal mengenai kejahatan kemanusiaan yang diatur di Pasal 9 Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Begitupun setelah menyimak beberapa fakta di persidangan, semakin menunjukkan ketidakseriusan Kejaksaan Agung dalam menangani kasus HAM Berat Paniai.

Kata Tioria, dalam kasus HAM Paniai ada timeline yakni tanggal 7 Desember 2014 dan 8 Desember 2014. Dalam persidangan, korban dan keluarga korban tidak dihadirkan. Sedangkan Kejagung sebelum masuk persidangan, JPU mengaku telah memeriksa 8 saksi warga sipil. Tetapi hanya 2 saja yang dihadirkan, tentu narasinya didominasi saksi TNI dan Polri.

Hingga sidang terakhir pemeriksaan saksi-saksi, dari 8 orang masyarakat sipil, tim JPU tidak pernah berhasil menghadirkan 6 orang lainnya.

Berbagai alasan dikemukakan Jaksa di persidangan, dari terkendala akses transportasi, saksi mendapat teror dan ancaman, kesulitan menghubungi karena alamat tinggal tidak diketahui secara pasti, dan lain-lain.

Setelah ikuti keterangan saksi-saksi di setiap sidang, Koalisi mencatat lebih didominasi keterangan aparat keamanan. Tidak ada kesaksian dari korban dan keluarga korban. Seharusnya masyarakat sipil dihadirkan agar ada kesaksian. Sampai sidang kesekian juga jaksa gagal hadirkan terus itu perlu dipertanyakan juga. Keterangan saksi TNI dan Polri lebih banyak membela institusi, bahkan mempersalahkan warga sipil.

Baca Juga:  Komnas HAM RI Didesak Selidiki Kasus Penyiksaan Warga Sipil Papua di Puncak

Hal tersebut sangat berbeda dengan fakta lapangan, termasuk kesaksian warga seperti termuat dalam ringkasan eksekutif peristiwa pelanggaran HAM yang berat terbitan Komnas HAM RI berdasarkan hasil investigasi di Paniai.

Hingga sidang Kamis (3/11/2022), Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai Berdarah 2014 mencermati seluruh keterangan saksi-saksi termasuk dari terdakwa sangat berbeda dengan fakta dan prosesnya pincang bahkan disebut sangat tidak efektif.

“Fakta ini menunjukkan indikator posisi dan keberpihakan kedua lembaga penegak hukum terhadap para pihak, baik pelaku atau pun korban. Kami menilai perbedaan demikian terjadi karena minimnya pelibatan para penyintas dan keluarga korban pada proses penyidikan, sementara kronik dan detail informasi di dakwaan sangat didominasi narasi dari sisi TNI dan Polri saja,” bebernya.

Hakim diingatkan agar semestinya lebih menggali informasi dan keterangan dari warga sipil untuk menyeimbangkan informasi dari para saksi korban dan warga sipil.

Koalisi bahkan pernah menilai Kejaksaan Agung tidak mampu menghadirkan bukti pelanggaran HAM Berat Paniai di persidangan. Hingga  Usman Hamid, anggota Koalisi Masyarakat Sipil dari Amnesty International Indonesia, mengingatkan Kejaksaan Agung harus lebih serius menyidik dan menuntut perkara Paniai.

Menurut Usman mengutip pernyataan Koalisi, Kejaksaan Agung tidak boleh terpaku pada satu terdakwa saja, apalagi tanggung jawab pidananya atas kejadian pembunuhan tidak sah terhadap para remaja di Paniai masih jauh dari meyakinkan.

“Bahkan belum jelas siapa sesungguhnya para pelaku lapangan saat itu,” ujarnya dalam siaran pers.

Ditegaskan Koalisi, semua orang yang bertanggungjawab secara pidana harus dibawa ke pengadilan, tanpa kecuali.

Baca Juga:  Direpresif Aparat Kepolisian, Sejumlah Massa Aksi di Nabire Terluka

“Bukan hanya komando efektif di lapangan, tetapi juga pembuat kebijakan yang menetapkan Operasi Aman Matoa V. Kebijakan inilah yang menyebabkan pengerahan aparat beserta kelengkapan senjata yang ketika itu diarahkan untuk menghadapi warga sipil,” tegasnya.

Di sidang yang dipimpin Hakim Ketua Sutisna Sawati bersama Hakim Anggota Abdul Rahman, Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, dan Sofi Rahman Dewi, terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu dalam keterangannya membantah seluruh dakwaan jaksa termasuk keterangan dari para saksi yang memberatkan.

Terdakwa mengaku saat kantor Koramil Enarotali dilempari batu pada 8 Desember 2014 tidak pernah memerintahkan anggota Koramil melakukan penembakan ke arah kerumunan massa baik di depan kantornya maupun saat ‘waita’ di lapangan Karel Gobay, Enarotali.

Menurut terdakwa, peristiwa berdarah 8 Desember 2014 terjadi secara spontan.

Terdakwa dicecar Majelis Hakim dengan beberapa pertanyaan. Begitupun dari tim JPU. Pertanyaan diajukan ke terdakwa lantaran keterangannya berbeda dari beberapa saksi pada sidang-sidang sebelumnya.

Pemeriksaan Isak Sattu berlangsung selama empat jam dari Pukul 10.00 hingga 14.00 WITA.

Mayor Inf Isak Sattu saat kejadian menjabat sebagai Perwira Penghubung (Pabung) Kodim Paniai di Koramil 1705-02/Enarotali. Terdakwa tunggal didakwa dengan dua delik kejahatan terhadap kemanusiaan yang diancam hukuman 20 tahun penjara.

Dalam tragedi Paniai Berdarah 8 Desember 2014, empat warga sipil tewas di ujung bedil dan 21 lainnya luka-luka saat warga memprotes aksi pengeroyokan aparat TNI terhadap sekelompok anak muda di bukit Ipakiye, 7 Desember 2014.

Sidang perkara ini sebentar lagi berakhir setelah lebih dari 30 saksi dan terdakwa memberi keterangan di persidangan. Jaksa segera membacakan tuntutannya.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.