BeritaSaksi TNI/Polri Tutupi Fakta Kasus Paniai Berdarah, Kejagung Siap Kasasi

Saksi TNI/Polri Tutupi Fakta Kasus Paniai Berdarah, Kejagung Siap Kasasi

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Hakim ad hoc dalam perkara pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat Paniai, Siti Noor Laila, mengakui adanya sejumlah saksi dari unsur TNI dan Polri yang terkesan menutupi fakta sebenarnya selama proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan.

Sidang perkara pelanggaran HAM Berat Paniai dimulai sejak 21 September 2022. Total 15 sidang digelar dengan meminta keterangan dari 36 saksi berbagai pihak antara lain Polri (12 orang), TNI (13 orang), dan enam saksi ahli, serta lima warga sipil. Untuk warga sipil, hanya dua yang hadir di sidang. Tiga lainnya tidak hadir, hanya dibacakan berita acara pemeriksaan (BAP).

Dalam sidang beragendakan pembacaan vonis untuk terdakwa tunggal mantan Perwira Penghubung (Pabung) Kodim 1705/Paniai, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu, di PN Makassar, Kamis (8/12/2022), Siti menduga hal itu dilakukan para saksi dari intitusi negara untuk menghindari ancaman pidana kepada dirinya, rekan, juga kesatuannya masing-masing.

Menurut Siti, para saksi dari Koramil 1705-02/Enarotali dan Polsek Paniai Timur yang telah diambil keterangannya selama sidang harusnya tahu siapa yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa maupun luka dalam peristiwa 8 Desember 2014.

“Namun fakta di persidangan, saksi-saksi tersebut menerangkan tidak dapat mengetahui atau tidak melakukan penembakan di luar prosedur yang menyebabkan korban jiwa dan luka-luka,” ujarnya.

Hakim Siti juga menyinggung beleid dalam Pasal 185 Ayat (6) KUHAP terkait penilaian kebenaran keterangan seorang saksi. Dalam ketentuan itu, hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan kesesuaian antara keterangan saksi satu dan saksi maupun alat bukti lain, cara hidup dan kesusilaan saksi, serta segala sesuatu yang memengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Baca Juga:  57 Tahun Freeport Indonesia Berkarya

Atas dasar itu, ia mengatakan, majelis hakim memahami para saksi TNI/Polri berusaha menutupi fakta yang sebenarnya terjadi.

“Karena ingin melindungi diri, rekan, dan juga kesatuan masing-masing dari ancaman pidana dan opini negatif dari masyarakat,” ujar Siti.

Disinggung pula kesaksian salah satu korban luka bernama Yeremias Kayame terkait tembakan yang dilepaskan tentara Koramil 1705-02/Enarotali pada 8 Desember 2014 ke arah massa. Kesaksian itu hanya dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) karena saksi tidak hadir di persidangan.

Tembakan tentara itu dipicu oleh massa yang melemparkan batu ke arah kantor Koramil.

“Tidak lama kemudian, dari arah kantor Koramil, anggota tentara langsung melepaskan tembakan,” lanjut Siti, “Lalu diikuti dengan anggota Polisi, Brimob, BAIS, Paskhas, dan semua yang pegang senjata di situ melepaskan tembakan selayaknya ada perang dunia.”

Selain belasan orang menderita luka-luka, tragedi Paniai Berdarah menewaskan Alpius You, Alpius Gobay, Yulian Yeimo, dan Simon Degei.

Majelis hakim menerangkan, peristiwa 8 Desember 2014 merupakan bentuk protes masyarakat atas tindakan pemukulan kepada sejumlah anak di Pondok Natal sehari sebelumnya yang diduga dilakukan oknum anggota TNI.

Kendati demikian, ia menilai penanganan terhadap protes masyarakat oleh aparat dinilai berlebihan dan tidak profesional. Respons aparat, kata majelis hakim, tidak seimbang dengan ancaman demonstrasi.

Baca Juga:  KPU Tambrauw Resmi Tutup Pleno Tingkat Kabupaten

Masih Ada Pihak Lain

Robert Pasaribu dalam pertimbangan hakim terhadap putusan Isak Sattu, menduga ada pihak lain di luar terdakwa tunggal yang layak untuk dimintai pertanggungjawaban. Unsur pertanggungjawaban rantai komando yang dibebankan jaksa terhadap Isak Sattu dinyatakan tidak terpenuhi.

“Terhadap telah terjadinya kejahatan kemanusiaan berupa pembunuhan, terdapat pihak-pihak yang layak dimintai pertanggungjawaban berdasarkan rantai komando secara berjenjang,” kata hakim ad hoc Robert Pasaribu.

“Berdasarkan komando teritori maupun pasukan khusus atau BKO, baik dari TNI maupun Polri,” lanjutnya.

Robert menyebut jabatan Isak Sattu sebagai Pabung Kodim 1705/Paniai tidak serta merta secara de facto menggantikan posisi Kapten Junaid selaku Komandan Rayon Militer (Danramil) 1705-02/Enarotali yang pada saat kejadian  tidak ada di tempat.

Majelis hakim sidang HAM Berat Paniai diketuai Sutisna Sawati, bersama anggota hakim Abdul Rahman Karim, Sofi Rahma Dewi, Siti Noor Laila, dan Robert Pasaribu.

Putusan pengadilan HAM pada Peristiwa Paniai 2014 menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), patut dipertanyakan karena belum maksimal bahkan tidak memberikan keadilan bagi korban.

Abdul Haris Semendawai, wakil ketua Eksternal Komnas HAM, mengatakan, meski menghormati putusan vonis bebas, pihaknya menilai itu memutus harapan publik terhadap upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat.

“Telah terjadi pelanggaran HAM yang berat, namun belum membuktikan pertanggungjawaban pelaku,” ujarnya, Kamis (8/12/2022).

Baca Juga:  Desak Pelaku Diadili, PMKRI Sorong Minta Panglima TNI Copot Pangdam Cenderawasih

Komnas HAM menyoroti putusan tersebut tidak lepas dari proses penyidikan dan penuntutan yang tidak transparan dan tidak melibatkan saksi korban, sehingga menyebabkan ketidakpercayaan dari pihak saksi korban beserta keluarga terhadap proses peradilannya.

Selain itu, kata Abdul, proses pembuktian tidak berjalan maksimal karena tiadanya partisipasi aktif dari saksi korban dan keluarga.

“Mayoritas saksi yang dihadirkan dalam persidangan berasal dari anggota TNI dan Polri.”

Terkait penetapan Mayor Inf. (Purn) Isak Sattu sebagai terdakwa tunggal, imbuh Abdul, mengakibatkan kebenaran atas perkaranya tidak terungkap dan belum memberikan keadilan bagi saksi, korban, dan masyarakat luas.

Terhadap putusan vonis bebas tersebut, sambung Abdul, Komnas HAM mendesak Jaksa Agung segera menindaklanjuti putusan dengan memproses secara hukum pelaku yang memiliki tanggung jawab komando dalam perkara Paniai sesuai hasil penyelidikan Komnas HAM.

“Agar jaksa agung mengambil upaya hukum terkait dengan putusan tersebut,” ujarnya.

Abdul juga menyebut perbedaan pendapat (dissenting opinion) patut diperhitungkan karena Komnas HAM berpandangan bahwa adanya tanggung jawab komando atau dapat dibuktikan adanya tanggung jawab tersebut oleh terdakwa.

Sementara itu, Kejagung menyatakan perkara Paniai tidak berhenti di pengadilan tingkat pertama.

Ketut Sumedana, kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI, menyatakan, JPU akan mengajukan kasasi atas putusan bebas tersebut ke Mahkamah Agung.

“Kejaksaan pasti melakukan upaya hukum kasasi, tapi kami pelajari dulu putusan lengkapnya,” singkat Ketut, dilansir CNN Indonesia, Kamis (8/12/2022).

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

Partai Demokrat se-Papua Tengah Jaring Bakal Calon Kepala Daerah Jelang Pilkada...

0
Grace Ludiana Boikawai, kepala Bappiluda Partai Demokrat provinsi Papua Tengah, menambahkan, informasi teknis lainnya akan disampaikan panitia dan pengurus partai Demokrat di sekretariat pendaftaran masing-masing tingkatan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.