BeritaDukung Penolakan Ibu Kota PBD, Ini Sikap Dewan Adat Suku Moi

Dukung Penolakan Ibu Kota PBD, Ini Sikap Dewan Adat Suku Moi

SORONG, SUARAPAPUA.com — Dewan adat suku Moi mendukung penuh penolakan pembangunan ibu kota provinsi Papua Barat Daya (PBD) yang dilakukan masyarakat adat sub suku Moi Salkma, Moi Abun, Moi Klabra di distrik Sayosa dan Moi Sigin di distrik Moi Sigin, kabupaten Sorong.

Penolakan wacana penetapan lokasi ibu kota provinsi PBD di distrik Moi Sigin dan Sayosa yang secara terus menerus dilakukan masyarakat adat suku Moi sebagai bentuk upaya penyelamatan hutan, tanah adat suku Moi di kabupaten Sorong.

Pernyataan ini ditegaskan Paulus Sapisa, ketua dewan adat suku besar Moi.

Menurut Paulus, penolakan lokasi ibu kota provinsi PBD telah dilakukan jauh sebelum provinsi ke-38 itu disahkan DPR RI.

“Penolakan ini bukan baru terjadi, sudah berulang kali dilakukan baik lewat aksi demonstrasi maupun diskusi di kalangan generasi muda suku Moi dan lain sebagainya. Sudah tolak dari dulu,” ujarnya kepada suarapapua.com saat dijumpai usai pertemuan pembentukan panitia penjemputan Pj Gubernur PBD di gedung Keik Malamoi, Senin (12/12/2022).

Baca Juga:  Lima Bank Besar di Indonesia Turut Mendanai Kerusakan Hutan Hingga Pelanggaran HAM

Ditegaskan Paulus, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) kabupaten Sorong nomor 10 tahun 2017, masyarakat adat suku Moi berhak untuk menetukan menerima atau tidak lokasi ibu kota provinsi PBD. Katanya, tanah adat sub suku Moi Salkma dan Moi Klabra merupakan wilayah bersatus tanah adat. Sementara satus tanah di sub suku Moi Sigin merupakan tanah bermasalah antara pemerintah kabupaten Sorong dan PT IKL.

“Tidak ada salahnya kalau terjadi penolakan. Masyarakat adat suku Moi di kabupaten Sorong berhak untuk menentukan keputusan menerima ataupun menolak. Tanah adat di Sayosa Raya dan Klabra Raya merupakan hutan primer, selain itu tanah adat ini merupakan lokasi pendidikan adat bagi suku Moi. Di distrik Moi Sigin status tanahnya belum ada kejelasan dan masih bermasalah,” tegasnya.

Baca Juga:  KPU Tambrauw Resmi Tutup Pleno Tingkat Kabupaten

Sebagai lembaga kultur tertinggi suku Moi, Paulus menyatakan, dewan adat suku besar Moi mendukung penuh upaya penolakan ibu kota provinsi PBD yang dilakukan oleh tujuh sub suku Moi yang tersebar di 1 kota 5 kabupaten.

Untuk mencegah konflik sejak dini, ia berharap, pemerintah fokus lokasi yang telah ditetapkan sebagai ibu kota provinsi PBD yakni kota Sorong.

“Pemerintah jangan ciptakan konflik di kemudian hari. Alangkah baiknya fokus di kota Sorong saja sebagaimana telah ditetapkan sebagai ibu kota provinsi,” Paulus menyarankan.

Sebelumnya, Jimmy Saifi, pemuda distrik Sayosa, menegaskan, masyarakat adat sub suku Moi Salkam, Moi Abun, Moi Klabra yang tersebar di Sayosa Raya menolak dengan tegas wacana pemerintah tersebut.

Baca Juga:  Kadis PUPR Sorsel Diduga Terlibat Politik Praktis, Obaja: Harus Dinonaktifkan

Menurut Jimmy, hutan yang tersisa di lima distrik itu akan diperjuangkan untuk generasi yang akan datang.

“Hutan adat ini hak kami, kami masyarakat adat di Sayosa Raya akan memperjuangkannya untuk kehidupan generasi kami,” ujarnya.

Saifi menjelaskan, upaya pemerintah memilih Sayosa sebagai ibu kota provinsi PBD telah mendapatkan penolakan dari berbagai komponen masyarakat adat suku Moi di berbagai distrik hingga di kampung-kampung.

“Penolakan ini bukan baru terjadi, sudah dari lama disampaikan oleh seluruh masyarakat adat suku Moi. Hanya saja pemerintah terus melakukan upaya pendekatan dengan oknum-oknum tertentu saja yang mengatasnamakan tokoh-tokoh adat,” tandas Jimmy.

Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Forum Komunikasi Lintas Suku Asli Tambrauw mengingatkan pengurus partai politik di kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, untuk transparan dalam tahapan pendaftaran...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.