JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Mahasiswa Papua mendatangi kantor Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia di Jakarta, Senin (30/1/2023), menuntut segera menyelidiki kasus penembakan yang menewaskan Yulianus Tebai (28) di kabupaten Dogiyai pada hari Sabtu 21 Januari 2023.
Desakan disampaikan Solidaritas Mahasiswa Papua untuk Kasus Dogiyai saat aksi unjuk rasa di depan kantor Komnas HAM RI, yang menegaskan bahwa Komnas HAM RI bersama Mabes Polri dan Polda Papua segera membentuk tim pencari fakta kasus Dogiyai berdarah itu.
“Komnas HAM dan Polri segera bentuk tim untuk menyelidiki peristiwa Dogiyai berdarah yang patut diduga telah terjadi pelanggaran HAM,” ujar Natalis Iyai, perwakilan keluarga korban dalam orasinya di Jl. Latuharhari, Menteng, Jakarta.
Dalam tim tersebut diminta libatkan juga berbagai pihak lain.
“Pembentukan tim pencari fakta terhadap kasus penembakan di Dogiyai harus melibatkan praktisi hukum, HAM, Gereja, dan akademisi,” kata dia.
Setelah berorasi, Komnas HAM menerima beberapa orang perwakilan keluarga korban dan mahasiswa Papua. Kemudian, membuat laporan pengaduan.
Kepada Gariel, analis pengaduan Komnas HAM, Iyai menyerahkan kronologi kejadian versi keluarga korban. Bersamaan juga bukti berupa foto dan video kejadian.
Kasus Dogiyai berdarah itu, menurut Iyai, rangkaian peristiwa penembakan oleh aparat keamanan terhadap warga sipil di kampung Gopouya, kampung Tugomani, kampung Bomomani, dan bukit Degeidimi, perbatasan Mowanemani dan Bomomani.
Dalam siaran pers dibeberkan, penembakan dilakukan oleh oknum aparat kepolisian yang bertugas di Polres Paniai dan Polres Dogiyai, pada hari Sabtu, 21 Januari 2023, sekitar Pukul 11.00-15.30 Waktu Papua.
“Pada peristiwa berdarah itu aparat kepolisian telah menembak mati seorang warga sipil atas nama Yulianus Tebai (28) yang sehari-harinya anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kabupaten Dogiyai saat ia bersama adiknya pergi dari rumahnya ke kebun di kampung Ugida dan tiga orang warga sipil lainnya mengalami luka berat dan ringan,” ungkapnya.
Tiga korban lainnya, Vinsen Dogomo (25), Amandus Dogomo (22), dan Thomas Dogomo (22). Sementara, Alfons Kegiye (29) yang berprofesi sebagai sopir angkut lintas Nabire-Paniai tidak mengalami luka-luka, tetapi mobilnya ditembak berkali-kali saat melintas di bukit Degeidimi dari Moanemani menuju Nabire.
Mahasiswa juga mendesak Mabes Polri segera selidiki Kapolres Dogiyai dan anggotanya yang diduga terlibat dalam kasus penembakan tersebut.
“Segera periksa dan pecat Kapolres Dogiyai bersama anggotanya yang terlibat dalam peristiwa Dogiyai berdarah,” katanya dengan tegas.
Merespons penembakan tersebut, pasar dan rumah kios milik para pedagang di Bomomani, ibu kota distrik Mapia, yang tidak ada hubungan dengan kasus penembakan dibakar oleh oknum tertentu. Hal itu mengakibatkan mereka kehilangan tempat tinggal hingga mengungsi ke Nabire.
Lebih lanjut Ambrosius Mulait, sekjen AMPTPI, mengungkapkan berdasarkan informasi yang diterima dari masyarakat sesuai keterangan saksi dan korban bahwa peristiwa berdarah itu dipicu oleh aksi penembakan dari seorang polisi yang ikut mengawal sebuah truk tujuan Nabire.
Aksi penembakan ke arah udara yang terjadi di kampung Gopouya ditegaskan sebagai pemicu atau penyebab terjadinya peristiwa lainnya yakni penembakan dan pembunuhan terhadap warga sipil dan kehilangan tempat tinggal bagi para pedagang.
“Berdasarkan keterangan yang kami peroleh dari para saksi bahwa penembakan dan pembunuhan diduga kuat dilakukan oleh anggota Polres Dogiyai yang berada di tempat kejadian perkara (TKP) yakni rombongan Kapolres Dogiyai bersama beberapa anggotanya. Diduga kuat Kapolres ada di TKP dan mengetahui peristiwa penembakan dan pembunuhan terhadap Yulianus Tebai dan warga sipil lainnya. Dimana Kapolres gagal mengontrol dan mengarahkan anak buah dalam penggunaan senjata,” tutur Mulait.
Ambrosius tegaskan, kasus penembakan yang menimpa warga sipil merupakan tindakan pembunuhan di luar hukum yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.
“Pelaku adalah aparat kepolisian yang bertugas di Polres Paniai dan Dogiyai terbukti telah melanggar hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak atas rasa aman, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani para korban. Hak asasi yang dilanggar merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun, tetapi aparat kepolisian seenaknya mencabut hak asasi yang paling dasar dan ini merupakan pelanggaran HAM,” ujarnya dengan menyatakan sebagai bagian dari tindakan pemusnahan orang asli Papua.
Terkait kasus penembakan warga Mapia di kabupaten Dogiyai itu, tiga anggota Polres Dogiyai diperiksa Bidang Propam Polres Nabire. Hanya belum dipastikan apakah ada yang telah dijadikan sebagai tersangka atau tidak.
Sementara itu, keluarga korban menyampaikan tuntutan tersendiri dalam beberapa pertemuan dengan bupati bersama Kapolres dan Forkopimda Dogiyai di Bomomani.
REDAKSI