ArtikelPenyerahan Sepihak Tanah Adat Untuk Pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan dan Potensi...

Penyerahan Sepihak Tanah Adat Untuk Pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan dan Potensi Konflik

Oleh: Benyamin Lagowan)*
)* Penulis adalah salah satu intelektual Wamena dan koordinator Gerakan Pemuda Anti Perang Suku dan Cinta Perdamaian

Pada tahun 2020-2022 Pemerintah Pusat gencar membahas dan mengesahkan Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Perubahannya sama sekali tanpa mendengar sedikitpun suara rakyat Papua.

Inti dari revisi yang dilakukan sepihak tanpa melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP) itu adalah dimasukkannya pasal pengganti wewenang kunci MRP kepada Pemerintah Pusat untuk turut boleh dapat memiliki wewenang memekarkan wilayah Papua tanpa melibatkan MRP sebagai lembaga tunggal kultural pemegang mandat kedaulatan Orang Asli Papua (OAP).

Dalam artian Pemerintah Pusat (DPR dan Presiden) dapat memekarkan atau membuat Daerah Otonom Baru (DOB) atas wilayah Papua tanpa melibatkan MRP sebagai lembaga representatif kultural OAP.

Alhasil, akhirnya menjadi nyata. Pasca pengesahan revisi kedua Otsus 2001 di tahun 2021, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri secara marathon mengesahkan 4 DOB Papua pada tahun 2022 tanpa sedikitpun mendengar dan mempertimbangkan gelombang protes dan penolakan dari rakyat Papua, termasuk pemerintah daerah Papua dan MRP.

Penunjukkan Penjabat Gubenur

Setelah berhasil melesatkan 4 DOB tanpa legitimasi rakyat, menjelang akhir tahun 2022, Pemerintah Pusat lalu menunjuk 4 Penjabat Gubernur di 4 DOB tersebut.

Untuk wilayah DOB Papua Pegunungan, Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Nicolaus Kondomo yang ditunjuk sebagai Penjabat Gubernur Provinsi Papua Pegunungan. Penunjukkan ini mengabaikan potensi dan harapan beberapa pihak yang getol mendukung DOB dengan harapan mendapatkan posisi sebagai pejabat dan lain sebagainya.

Meski demikian, kehadiran eks Kajati Papua asal Selatan Papua itu dapat diterima oleh OAP di Lapago. Demikian juga, tak lama berselang Penjabat Gubernur menunjukkan Penjabat Sekda yang merupakan sosok pilihan Kemendagri.

Penyerahan Sepihak Tanah Adat Dua Aliansi

Polemik mengenai lokasi pembangunan kantor Gubernur DOB Provinsi Papua Pegunungan sebenarnya telah mulai mencuat ke permukaan sejak penetapan dan pengesahannya pada akhir tahun 2022. Dimana saat itu ada peristiwa penolakan dari masyarakat Wamena di Muliama, Gunung Susu, Welesi hingga Wouma.

Baca Juga:  Perjuangan Papua Untuk Membela Diri

Alasannya, masih sama dengan alasan yang pernah disampaikan pada tahun 2015 silam, yakni tanah yang diincar pemerintah masih merupakan Tanah Adat yang masih eksis digunakan sebagai lahan produktif perkebunan rakyat.

Meskipun demikian, pemerintah rupanya tidak kehabisan akal. Melalui aksi beberapa oknum parasitik yang diduga memiliki kepentingan tertentu, informasi penyerahan Tanah Adat untuk pembangunan kantor Gubernur Papua Pegunungan kembali muncul lagi di tahun ini.

Bahkan tanah yang konon katanya dihibahkan untuk pembangunan kantor Gubernur dan lain-lain berukuran cukup luas yakni 72 hektar. Orang-orang yang menyerahkannya justru adalah beberapa masyarakat dari Aliansi Suku Welesi yang berada di bagian Selatan Wamena.

Secara geografis, wilayah suku ini berada di dataran tinggi di bawah kaki gunung dan dihimpit oleh kali Ueima.

Welesi merupakan sebuah distrik yang relatif baru dimekarkan dari distrik Assolokobal. Dengan jumlah penduduknya yang mencapai 2.800-an jiwa, wilayah ini sebenarnya tidaklah luas untuk pembangunan pusat pemerintahan Papua Pegunungan. Sebab akan menyingkirkan penduduk asli setempat di masa depan. Bahkan pada tahun 2022, luas wilayah aliansi suku ini hanya sebesar 366.93 Km² yang terdiri dari daratan tinggi dan bukit hingga gunung.

Akibatnya, apa yang dikhawatirkan terjadi. Penyerahan luas lokasi pembangunan kantor Gubernur itu menyabet lokasi aliansi Mukoko di distrik Wouma.

Berita mengenai penyerahan tanah adat sepihak itu terdengar pertama kali ke publik pada 13 Januari 2023 sebagaimana dilansir media Jubi.id dengan judul “Masyarakat Walesi Menghibahkan 72 Hektar Tanah ke Pemprov Papua Pegunungan”.

Belakangan diketahui bahwa dari luas lokasi tersebut, diduga terdapat lebih dari 2 hektar tanah adat wilayah distrik Wouma yang ikut diserahkan.

Reaksi Masyarakat Welesi dan Wouma

Atas penyerahan sepihak Tanah Adat di atas penolakan masyarakat adat (Madat) Welesi-Wouma dan mahasiswa pada tahun lalu tersebut menyikapi penyerahan yang mengejutkan, mahasiswa ikatan lima distrik: Welesi, Walaik, dan Napua (WEWANAP) di Jayapura menyatakan sikap tolak atas penyerahan tersebut.

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

Menurut mereka, penyerahan itu tidak pernah dimusyawarahkan di tingkat musyawarah adat maupun distrik dengan menghadirkan seluruh pihak di Welesi. Penyerahan itu dilakukan oleh oknum-oknum dari 5 klan secara sepihak. Kehadiran kantor Gubernur dinilai akan menyingkirkan masyarakat adat dan membunuh eksistensi manusia Welesi di masa depan.

Alasan lainnya, bahwa sejak dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Disel (PLTD) dan Welesi dijadikan sebagai tempat pergelaran tahunan Festival Budaya Lembah Balim pun tak membawa dampak apa-apa bagi masyarakat setempat.

Sementara itu, pada tanggal 15 Januari, pemuda Wouma telah mendatangi Dinas Pertanahan kabupaten Jayawijaya untuk meminta kejelasan terkait penyerahan 72 Ha tanah tersebut. Namun terdengar kesan pihak Dinas Pertanahan tidak mau membuka data soal lokasi, luas wilayah dan peta dan oknum-oknum masyarakat yang terlibat dalam penandatanganan penyerahan “sembunyi-sembunyi” Tanah Adat tersebut.

Audiensi antar pemuda Wouma dan Dinas juga dilanjutkan tanggal 16 Januari 2023 dan berpotensi dilakukan terus hingga status Tanah Adat dan oknum-oknum yang menjadi Yudas diketahui dengan jelas.

Potensi Konflik

Masyarakat suku/Aliansi Wouma dan Welesi memiliki histori konflik yang cukup kelam di masa lalu. Konflik itu berkait erat dengan tingkat peradaban, budaya dan politik di masa itu. Tidak dapat dipungkiri, meski aktor dan generasi perang suku telah menua dan berpulang, namun narasi-narasi konflik di tiap aliansi masih tersimpan dalam memori kolektif.

Oleh karenanya, kapan saja memiliki pretensi untuk terulang. Apalagi soal status kepemilikan tanah sebagai basis produksi primitif ekonomi telah memainkan andil dalam menimbulkan konflik kronik di masa silam.

Meski telah terjadi pergesaran paradigma sosial budaya dan religi pasca hadirnya agama-agama barat dan pemerintahan modern pada akhir dekade 1950-an, aroma ketegangan psikologis sering tak terelakan. Itulah sebabnya, konflik mengenai tanah sebagai basis produksi ekonomi antar kedua aliansi dan wilayah bisa saja menimbulkan klaim antar kedua aliansi.

Baca Juga:  Adili Masalah Yang Tak Bisa Dibuktikan Hukùm Positif Dengan Peradilan Adat di Papua

Pemerintah mestinya tidak terlibat bermain mata dengan salah satu pihak. Pemerintah daerah harusnya bersikap seperti dulu, saat terjadi gejolak konflik di akhir tahun 1980-an yakni menjadi mediator perdamaian. Bukan justru terkesan bermain mata dengan oknum-oknum yang mengatasnamakan masyarakat dan pemilik ulayat untuk berbenturan lagi dengan mayoritas masyarakat kecil yang masih awam politik.

Sebab jika dugaan penyerahan tanah itu benar dilakukan oleh suku Welesi dengan mengklaim tanah milik aliansi Wouma, maka itu dapat menjadi pintu masuk untuk mengagitasi lahirnya konflik atau ketegangan antar masyarakat yang sudah berdamai sejak hadirnya Injil Yesus Kristus, Al Qur’an dan Pemerintah.

Walaupun kini ada perubahan paradigma dan hadirnya beragam profesi-profesi baru yang telah menggantikan tanah sebagai basis produksi tunggal umat manusia dalam sejarahnya, perlu diingat bahwa banyak masyarakat yang masih menaruh kehidupannya pada garapan tanah. Karena bagi orang Papua, tanah adalah mama bukan sekedar komoditas atau material geologis.

Di akhir tulisan ini, penting untuk dipahami bahwa konflik dimasa lalu antar aliansi di Balim khususnya antar aliansi Mukoko dan Welesi bersama afiliasinya terjadi berdasarkan tingkat pengetahuan dan peradaban yang dimiliki oleh generasi tua-tua yang sudah pergi di masa itu.

Semoga itu cukup sampai di situ. Biarlah kita boleh ikhlas merelakannya pergi bersama para arwah leluhur, tua-tua kita yang telah tiada, tanpa berupaya untuk menghadirkannya di masa kini. Di masa kini sudah jelas dan nyata bahwa kita ternyata adalah satu dan sama yang telah berada di dalam kondisi sejarah yang berbeda dan lebih berbahaya bagi eksistensi kita 100 tahun ke depan.

Waaa… Waa… Waa… Nougi, Nayaklak, Nerugiak, Noe, Nagor, Nagosa, Nopase. Pakiasumo Hani Hano Ati.

Jayapura, 17 Januari 2023

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.