ArsipEkses Eksploitasi Kali Ueima Terhadap Perkebunan Petani di Tanah Wouma

Ekses Eksploitasi Kali Ueima Terhadap Perkebunan Petani di Tanah Wouma

Oleh: Benyamin Lagowan)*
)* Penulis adalah salah satu pemuda dari Tanah Wouma, Lembah Balim

Wouma adalah nama salah satu distrik yang berada di bagian sebelah timur kota Wamena, kabupaten Jayawijaya. Lokasinya agak ke pinggiran. Pusat administrasi pemerintahan distrik ini dibatasi oleh aliran kali Ue dengan kota Wamena yang berbatasan langsung dengan tiga desanya: Desa Ketimapit, Desa Sinarekwa, dan Desa Pipitmo.

Wilayah distrik ini membawahi tujuh desa yang mana keempat desa lainnya (Desa Wouma, Desa Logon Owa, Desa Wesakin dan Desa Wesakma) berada di wilayah yang sama dengan lokasi kantor administrasi distrik Wouma. Mayoritas penduduk di wilayah ini bermata pencaharian sebagai petani, peternak babi, penambang batu-pasir hingga pelaku usaha perikanan air tawar, disamping sebagai pegawai negeri sipil, guru, pengusaha kios, dan profesi lainnya.

Dapat dipastikan bahwa profesi petani dan perkebunan/pertanian merupakan mata pencaharian dan pekerjaan 85%-95% masyarakat adat di wilayah distrik ini. Sebab kendati beberapa penduduknya telah beralih profesi menjadi PNS, guru, pengusaha kios dan lan-lain, mereka  tetap masih menggeluti dan merangkap mata pencaharian sebagai petani.

Kali Ue: Pusat Konsensi Material Pembangunan di Lapago

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir telah terjadi pergeseran mata pencaharian di antara masyarakat Wouma kepada mata pencaharian baru yang polanya relatif destruktif. Diantaranya misalnya: menjadi bandar dan pemain Toto Gelap (Togel), pengusaha milo (minuman keras lokal), dan penambang yang memberlakukan sistem kontrak material yang berdampak kerusakan ekologis, baik ekosistem tumbuhan, hewan dan bahkan manusia.

Setelah ditelusuri, ini terutama diakibatkan karena tingginya aktivitas pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah kabupaten Jayawijaya dan beberapa kabupaten pemekaran lainnya, seperti: kabupaten Yalimo, Lanny Jaya, Nduga, Mamberamo Tengah, Tolikara, dan lain-lain.

Profesi penambang yang digeluti masyarakat Wouma adalah sebagai penambang batu-pasir di sepanjang bantaran kali Ue. Kali Ue ini sendiri mengalir dari arah Selatan ke utara kota Wamena. Membelah distrik Wouma ke sebelah Timur dan memisahkannya dengan pusat kota Wamena di sebelah barat.

Kali Ue memiliki aliran air yang sangat deras dengan dasar batu-batuan kecil-besar hingga pasir. Hulu kali ini bermuara di Sungai Baliem yang selanjutnya akan ke arah Timur sebelum berakhir di wilayah selatan Papua.

Landasan Eksploitasi Material

Kekayaan material yang terkandung di sepanjang bantaran Kali Ue seperti: batu kecil-besar dan pasir (yang sudah sejak lama terkenal baik) untuk konstruksi bangunan, menjadikan kali Ue sebagai pusat pengambilan material dasar utama (satu-satunya) untuk pembangunan infrastruktur baik yang berskala besar dan kecil bagi semua kabupaten di wilayah adat Lapago.

Permintaan material dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini sangat tinggi, sehingga mengakibatkan dampak ikutan yang telah memutuskan kontinuitas jalan raya di Wouma (Jalan raya Wouma-Welesi), menghancurkan setidaknya belasan rumah warga (klen Wuka-Huwi, desa Wesakin), hingga bahkan menelan korban jiwa di kalangan penduduk serta telah memicu lahirnya konflik horizontal antarklen (Wuka-Huwi vs Asso-Matuan/Itlay-Molama/Matuan vs Asso-Matuan, dan seterusnya) di internal orang Wouma.

Lebih-lebih efek utama jangka panjang yang mengancam eksistensi manusia Wouma adalah hilangnya kesuburan tanah pada lahan-lahan pertanian yang selama ini sangat bergantung pada irigasi alamiah kali-kali kecil di sekitar perkebunan rakyat yang mana semuanya kini telah mengalami kekeringan permanen.

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

Semua dampak ikutan tersebut merupakan ekses negatif yang dirasakan akibat adanya proses-proses konsensi eksploitatif yang dimotori oleh pemerintah kabupaten se-wilayah adat Lapago melalui atau bersama para pengusaha yang memiliki projek-projek pembangunan besar.

Dalam hal ini, diperparah dengan adanya perkembangan jumlah pengusaha kontraktor alat berat yang kini banyak muncul di Wamena; yang melakukan kegiatan penimbunan material di setiap titik-titik base camp sebelum dipasarkan ke para pemilik projek-projek bernilai ratusan juta-miliaran rupiah. Di sini terjadi pembelian bahan baku material: batu, pasir maupun kerikil dan batu pecah kepada masyarakat penambang di Wouma dengan harga yang relatif sangat murah. Seringkali ada asumsi unsur-unsur penipuan dan pembodohan juga dilakukan oleh para pengusaha bersama elit dan tokoh masyarakat tertentu. Dengan tujuan agar masyarakat dapat menyetujui kontrak material dengan harga murah.

Apabila telah terjalin kesepakatan kontrak material dengan luas tertentu dengan harga yang disepakati bersama. Dan deal masa kontraknya disepakati secara lisan, maka para pengusaha biasanya tidak sampai membutuhkan waktu sesuai perjanjian masa kontrakan, karena pengambilan material akan selesai lebih cepat dari kesepakatan. Ini disebabkan karena kebanyakan pengusaha memiliki alat berat yang banyak dan jumlah truk yang juga banyak.

Dalam suatu contoh kasus, terlihat bahwa seorang pengusaha bersama dengan seorang anggota masyarakat menyepakati kontrak pengambilan material dengan luas pengambilan yang tidak jelas (karena pemberi kontrak masih awam sekali). Tentang waktu pengambilan yang disepakati lisan selama 1 bulan. Luas lahannya, jika diasumsikan setara 20 x25 meter persegi. Demikian kesepakatan lisan yang terjalin, namun dalam pelaksanaannya, sang kontraktor mengambil material hanya dalam waktu tempo 1 seminggu. Material yang disepakati habis diambil dengan meninggalkan lubang galian sedalam 5 meter dan telah berubah menjadi semacam danau yang tenang. Aliran kali Ue yang deras pun berubah menjadi tidak deras. Harga kontrakan yang diberikan hanya 20an juta rupiah.

Ini merupakan salah satu contoh kasus dari banyaknya pola serupa yang terjadi selama ini. Dari sini jelas terlihat bagaimana para pengusaha bersama pemerintah di kabupaten Jayawijaya maupun kabupaten pemekaran lainnya telah melakukan praktik-praktik penipuan yang diselimuti tindakan eksploitasi material di kali Ue yang di kemudian hari (sekarang) telah menciptakan bencana longsor, penderitaan, kematian, konflik, dan kekeringan yang tidak akan berkesudahan.

Ekses Terhadap Lahan Perkebunan

Ekses destruktif terhadap lahan perkebunan sangat besar serta mengancam. Dibandingkan dengan sekarang, sekitar tahun 2010-an ke bawah di wilayah Wouma sendiri terkenal sebagai salah satu wilayah yang berhutan cukup lebat. Masyarakatnya hidup bergantung dengan sepenuhnya dari hasil olah alam yang ada, namun masih sangat normatif.

Ekses terhadap perkebunan di sini melingkupi kekeringan yang terjadi akibat eksploitasi kali Ue yang mempengaruhi matinya aliran kali-kali kecil penopang irigasi perkebunan masyarakat Wouma. Di mana kekeringan kali-kali kecil itu terjadi karena proses penggalian oleh alat-alat berat dilakukan terlalu dalam, sehingga menarik air dari kali-kali kecil yang berada pada ketinggian ke kali Ue melalui tanah. Secara rinci kali-kali penopang kesuburan lahan perkebunan rakyat petani di wilayah Wouma terdiri dari: kali Yele Inya, Ter Ima, Hureke Inya, I Wiliki Inya, Wam Al Ima dan Hetoko Inya.

Baca Juga:  Adili Masalah Yang Tak Bisa Dibuktikan Hukùm Positif Dengan Peradilan Adat di Papua

Dari jembatan Wouma ke arah dalam, terdapat anak kali Ue yang pertama, dimana sebelumnya pernah mengalirkan air yang cukup deras. Tetapi kali itu duluan mati karena kering dan di sepanjang alirannya ditimbun bangunan dan ditutup untuk pengambilan material, pemukiman serta lahan perkebunan.

Kemudian sesudah itu, terdapat kali berikut yang biasanya disebut kali Yele Inya. Kali ini sekitar tahun 2014/2015 menjadi kering karena di sepanjang badannya telah dilubangi dengan eskavator yang mengudulkan hutan untuk pengambilan material yang diinisiasi oleh oknum-oknum dari klen tertentu.

Demikian pula kali ketiga yang dahulu menjadi sumber mata air bagi semua pengguna jalan, terutama untuk masyarakat sekitar yaitu kali “Ter Ima”. Kini telah menjadi kali kering dan mati!. Padahal sebelumnya, kali ini mengalirkan air deras yang di sekitarnya dibangun kolam-kolam ikan yang berukuran besar. Kali ini sangat jernih, sehingga selalu menarik perhatian setiap orang yang lewat di situ. Tetapi kondisi kali itu sekarang hanya tinggal jejak dan nama. Airnya telah hilang dan pergi, entah kemana.

Kali yang ke empat bernama Kali Hureke Inya. Kali ini seringkali mengalami kekeringan permanen, karena sejak dahulu debit airnya sangat kecil. Kali ini menjadi tergantung hujan. Selanjutnya terdapat kali I Wiliki Inya yang ke lima. Kali ini yang cukup besar dan berada di tengah lahan perkebunan masyarakat Wouma. Kali ini (dan lainnya) mengalir searah dengan aliran kali Ue. Sekarang kali ini masih mengalirkan air, walaupun volume dan debit airnya sudah mengalami penurunan. Kali ini bersama kali Hureke Inya dan beberapa kali seperti kali Wam Al Ima dan Hetoko Inya merupakan kali-kali strategis dan terpenting yang menjadi sumber air dan irigasi alamiah bagi seluruh perkebunan yang dimiliki oleh masyarakat Wouma.

Kali berikutnya adalah kali Wam Al Ima yang berada agak jauh dari fokus pengambilan material atau berjarak sekitar 1/3 dari lokasi  pengambilan material. Demikian juga dengan kali yang terakhir, yakni kali Hetoko Inya. Kali ini adalah batas akhir dari wilayah distrik Wouma dan merupakan batas wilayah adat masyarakat Wouma dengan suku kerabat Asso-Lokobal di bagian timur dari kota Wamena. Volume kali ini masih seperti dulu, karena jaraknya yang jauh dan terbilang aman dari kali Ue. Kendati demikian, aliran kali ini tidak teratur diirigasikan ke perkebunan, sehingga tetap tidak berperan besar dalam menjaga ketersediaan air untuk tanaman di sekitarnya.

Dari semua kali-kali yang telah disebutkan tadi, peran utama irigasi perkebunan secara alamiah masih dimainkan oleh kali I wiliki Inya yang lokasinya di tengah-tengah lahan masyarakat Wouma yang berukuran sekitar 1,5 kilometer persegi. Kali ini pun tidak memiliki alur dan sistem irigasi yang teratur. Oleh karenanya, apabila kekeringan terjadi, maka akan mempengaruhi tingkat kelembaban tanah dan unsur-unsur hara yang ada di dalamnya. Inilah mengapa proses pengambilan material yang eksploitatif di sepanjang Kali Ue dan sekitarnya telah menjadi malapetaka bagi kesuburan tanah pada keseluruhan lahan-lahan perkebunan tradisional milik masyarakat tani di wilayah tanah Wouma.

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

Keluhan Para Petani Wouma

“Eyu.. kebun kami akan bagaimana? Sayur ubi sudah mengering semua! Daun keladi telah layu! Ubi pun mengecil!” Setidaknya demikian yang diungkapkan seorang pemuka tani di depan sebuah forum musyawarah di Wamena pada awal 2019 lalu.

Sejatinya, para petani Wouma bukan tidak pernah berekspresi atas kondisi-kondisi yang mereka alami belakangan ini. Mereka sebenarnya memiliki pergumulan yang besar atas kondisi tersebut, namun mereka bingung kepada siapa harus suarakan.

Apalagi dalam kondisi saat ini, semarak pembangunan masih terus digalakkan pemerintah meski terdapat aksi-aksi kekerasan dan kemanusiaan di kabupaten Nduga yang menyebabkan para petani ini musti berpikir panjang sebelum menyuarakan hak-hak eksistensial mereka tersebut. Mereka tentu tidak ingin dicap anti pembangunan oleh pemerintah yang sedang dibius nostalgia biru, napsu pembangunanisme. Walaupun menyampaikan aspirasi adalah hal yang lumrah di alam demokrasi negara ini.

Tampaknya momentum Mubes yang pernah digelar para pelajar dan mahasiswa Wouma 2019 menjadi jembatan aspiratif mereka yang tepat. Dimana pada waktu itu banyak keluhan dimuntahkan oleh para peserta Mubes yang kebanyakan dihadiri oleh kaum tani Wouma. Dari forum tersebut lahirlah kesepakatan untuk membatasi bahkan menghentikan segala macam kontrakan material dengan menggunakan alat berat di wilayah Wouma. Keputusan itu lahir sebagai upaya memperbaiki kondisi kehancuran lingkungan dan kekeringan yang nyaris mengancam faktor produksi utama masyarakat, yakni kebun yang dimaknai sebagai tiang pokok penopang kehidupan masyarakat Wouma secara turun-temurun itu.

Kita pun tentu masih ingat aksi demonstrasi yang pernah terjadi pada tahun 2015 silam, ketika pemerintah Jayawijaya berencana membangun markas Komando Brimob di area perkebunan tradisional “Molama”, sehingga berbuntut protes panjang masyarakat. Setidaknya kasus serupa dapat terjadi kembali jika kondisi yang ada saat ini semakin memanas dan tidak ada upaya pengendalian atau penghentian.

Keluhan lain juga datang dari ibu-ibu tani, bahwa mereka merasa kecewa karena hasil produksi ubi jalar yang mereka dapatkan saat ini sudah tidak sebesar, sepadat dan sebanyak dulu.

Para petani lainnya juga menyayangkan bahwa pada beberapa tahun terakhir, kebun ubi milik mereka sepertinya semakin tidak subur. Ini karena mereka menyaksikan daun ubi jalar yang ditanam tidak kelihatan hijau, subur dan tampak segar lagi. Justru daun ubi mudah mengering, daun tidak banyak. Tidak panjang dan cepat berwarna kekuningan serta tidak ada proses penggalian yang bisa diharapkan berkali-kali lipat akibat isi ubi yang kecil dan berjumlah semakin sedikit. Semua ini berdampak pada ketahanan pasokan pangan keluarga dan hewan ternak/piaraan yang mereka miliki.

Demikian keluh dan kesah para petani yang dulunya dikenal sebagai penghasil umbi-umbian besar, serta mampu mencapai kemandirian pangan selama bertahun-tahun dari hasil olah produk sendiri.

Pertanyaan yang tersisa di akhir tulisan ini adalah: akan bagaimana nasib kehidupan para petani di wilayah ini, jika proses konsesi material yang eksploitatif tersebut tidak segera dihentikan?.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.