ArtikelMengupas Pro-Kontra Penempatan Lokasi Kantor Gubernur Papua Pegunungan

Mengupas Pro-Kontra Penempatan Lokasi Kantor Gubernur Papua Pegunungan

Oleh: Benyamin Lagowan)*
)* Penulis adalah salah satu intelektual muda asal Wamena

A. Pendahuluan

Pada akhir Juni 2022, Pemerintah dan DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Daerah Otonom Baru (RUU DOB) Papua menjadi Undang-Undang Daerah Otonom baru (UU DOB) di Tanah Papua.[1] Pengesahan ini berselang hanya beberapa minggu pasca ditunjuknya John Wempi Wetipo sebagai Wakil Menteri Dalam Negeri dari posisi sebelumnya sebagai Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).[2]

Sejatinya wacana pemekaran provinsi baru telah mengemuka sejak awal tahun 2022 pasca dilakukannya revisi Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 setahun sebelumnya. Provinsi Papua dimekarkan menjadi 3 daerah otonom baru (DOB), sementara dari provinsi Papua Barat dimekarkan menjadi 1 DOB. Masing-masing adalah DOB provinsi Papua Selatan dengan ibu kota Merauke, DOB provinsi Papua Tengah beribukota di Timika, DOB provinsi Papua Pegunungan beribukota di Wamena, DOB provinsi Papua Barat Daya dengan ibu kota Sorong. Setelah itu, pada akhir November 2022, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian melantik 4 Pejabat Gubernur DOB Provinsi. Masing-Masing, Apolo Safanpo sebagai Pj Gubernur Papua Selatan, Ribka Haluk sebagai Pj Gubernur Papua Tengah, Nikolaus Kondomo sebagai Pj Gubernur Papua Pegunungan, dan terakhir di awal tahun 2023, Muhammad Musa’ad sebagai Pj Gubernur Papua Barat Daya.[3, 4, 5, 6]

Perlu digarisbawahi bahwa sejak dilakukannya revisi UU Otonomi Khusus Papua hingga diusulkannya daerah otonom baru (DOB) terjadi pro dan kontra karena terdapat kesan dilakukan hanya sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan partisipasi penuh dan bermakna dari penduduk asli Papua beserta lembaga resmi representatif, baik Majelis Rakyat Papua (MRP) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Pemerintah Provinsi Papua.[7, 8, 9]

Meskipun demikian, pemerintah pusat tetap menutup mata dan telinga, hingga revisi Jilid II UU Otsus Papua dan RUU 4 DOB Provinsi disahkan, dan kini sedang jalan dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Permasalahan yang kemudian muncul sekarang adalah mengenai status daerah administratif kota madya, lokasi penempatan kantor Gubernur, kebijakan afirmatif penunjukkan/pengangkatan para pejabat struktural eselon II dan III, hingga masalah anggaran demi terlaksananya roda pemerintahan dan birokrasi yang efektif dan lancar di 4 DOB.[10, 11, 12, 13]

B. Masalah Lokasi Kantor Gubernur di Welesi

Pro dan kontra penempatan lokasi kantor Gubernur menjadi yang paling berpolemik hingga saat ini. Meskipun beberapa waktu lalu ada polemik mengenai status ibu kota provinsi, misalnya seperti polemik penempatan ibukota DOB provinsi Papua Tengah antara di Nabire dan Timika.[10] Demikian juga ada riak-riak ketidakpuasan menyangkut pengangkatan pejabat struktural Aparatur Sipil Negara (ASN) eselon II-III [14] dan juga menyangkut anggaran yang masih minim, sehingga membebankan pemerintah daerah kabupaten/kota.

Pada 29 Juli 2022, Wamendagri John Wempi Wetipo (JWW) yang baru saja dilantik (belum sampai satu bulan) mengunjungi masyarakat distrik Muliama, Wamena di Konamwaga.[15] Tujuannya adalah untuk meninjau lokasi penempatan kantor Gubernur yang katanya akan didirikan di atas tanah milik pemerintah daerah Jayawijaya (ada dugaan bahwa tanah tersebut dibeli dengan dana APBD, tetapi bersertifikat nama individu).

Menyikapi kunjungan Wamendagri dan Pemda Jayawijaya, masyarakat Konamwaga melakukan aksi protes penolakan dengan alasan tanah Konamwaga bukan tanah kosong. Dalam media, Wamendagri  JWW mengatakan bahwa mereka masih akan menyeleksi kelayakan 3 daerah (Muliama, Gunung Susu, dan Welesi) sebagai lokasi penempatan kantor Gububernur DOB Papua Pegunungan.[15]

Setelah aksi penolakan itu, beredar informasi bahwa akan ditempatkan di wilayah Gunung Susu (Kebun Biologi milik LIPI), tetapi belum ada kesepahaman antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam hal ini adalah Kemendagri.

Dalam kondisi ketidaksepahaman itu, pada akhir tahun 2022 muncul kabar penyerahan puluhan hektar tanah oleh Ismail Asso kepada pemerintah daerah Jayawijaya dan juga pemerintah provinsi DOB Papua Pegunungan. Melalui tulisan berjudul “An Newe Heranawusak Huga”, tokoh Muslim Pribumi Papua itu menyatakan sikapnya untuk tetap menghibahkan puluhan hektar tanah milik aliansi Welesi dengan beberapa syarat, misalnya mengharuskan kebijakan afirmasi bagi para pemilik hak ulayat, menggunakan sistem kontrak, bukan hibah atau transaksi jual-beli lahan.[16]

Seolah mendorong penyerahan itu, pada 13 Januari 2023 beberapa masyarakat dipimpin oleh Yohanes Yelipele, kepala suku klen Assolipele mendatangi Pj Gubernur Papua Pegunungan dan menawarkan hibah tanah seluas 72 Ha untuk lokasi penempatan kantor gubernur Papua Pegunungan.[17] Dalam penjelasan Pj Gubernur Papua Pegunungan kepada jubi.id di hari yang sama mengatakan kedatangan mereka adalah untuk menyampaikan aspirasi menawarkan atau menghibahkan tanah seluas 72 Ha untuk diberikan kepada pemerintah provinsi Papua Pegunungan untuk pembangunan kantor Gubernur di wilayah tanah adat mereka.

“Dokumen yang diserahkan ke kami dan akan kami pelajari lebih lanjut baru akan kami putuskan sebagai perjanjian antara masyarakat Welesi dan Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan,” kata Kondomo kala itu.

C. Pro Kontra dan Basis Argumentasi

Menyikapi penyerahan yang dilakukan oleh beberapa oknum dari klen wita-waya di Welesi, maka di hari yang tidak terlalu jauh terjadi pertemuan dan aksi penolakan serta pemalangan oleh masyarakat distrik Welesi.[18] Pada 15 Januari atau berselang 3 hari, mahasiswa dan pelajar Welesi melakukan penolakan baik di Jayapura maupun di Welesi. Alasan mereka adalah tidak benar informasi bahwa penyerahan dilakukan oleh 5 klen wita-waya secara demokratis dan melibatkan partisipasi penuh seluruh masyarakat Welesi.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Kenyataannya, penyerahan dilakukan hanya sepihak dan lebih karena dilatari oleh kepentingan beberapa oknum elit politik lokal setempat. Hal itu bisa dilihat dalam pernyataan Yafet Yelipele, ketua Ikatan Pelajar Mahasiswa Welesi, Walaik, Napua dan Pelebaga (Wewanap) kepada suarapapua.com bahwa penyerahan wilayah adat yang mau diserahkan hanya sepihak dan merupakan kepentingan oknum tertentu. [19]

“Ada sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat adat lalu melakukan pendekatan dengan penjabat gubernur untuk bahas lokasi pembangunan kantor Gubernur. Tetapi hasil daripada itu, mereka malahan tidak pernah mau adakan diskusi dengan masyarakat,” kata Yafet.

Menurut keterangan Yafet Yelipele dkk, ada sekitar 11 kali pertemuan yang dilakukan di kantor distrik Welesi membahas rencana penyerahan lahan dimaksud. Namun dari semua pertemuan itu tidak menghasilkan satu kata sepakat untuk menyerahkan lahan kepada para pihak di pemerintah. Masyarakat tidak menyetujui karena khawatir akan tersingkir di masa depan, dan nasib anak cucu mereka akan tergadaikan. Justru di sana ada semacam pemaksaan atau upaya mendoktrin oleh tokoh-tokoh/elit tertentu dengan iming-iming dan janji seperti akan ada yang diangkat menjadi anggota DPRP lewat jalur 14 Kursi Otsus, demikian juga anggota MRP dan semua putra-putri yang sudah sekolah akan diangkat menjadi PNS, diberikan bantuan sosial perumahan, dan lain sebagainya.

Erwin Kuan salah satu mahasiswa muslim dari Welesi mengatakan bahwa kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di Welesi pada tahun 1970-an saja tidak memberikan manfaat apapun.[20] Padahal pada awalnya ada janji dari pemerintah daerah untuk memperhatikan nasib masyarakat Welesi. Utamanya dalam perekrutan staf, pegawai dan teknisi di lingkungan PLTD. Kenyataannya janji tersebut tidak pernah dipenuhi hingga saat ini.

Markus Lanny bersama beberapa warga lainnya juga mengatakan, kehadiran Festival Budaya Lembah Balim (FBLB) tahunan di Welesi pada masa pemerintahan JWW tidak memberikan dampak yang berarti bagi perkembangan ekonomi dan usaha masyarakat adat setempat. Justru pemerintah daerah dan para pengusaha besar seperti hotel dan transportasi yang mendapatkan pemasukan besar dari kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara. Oleh karena itu, masyarakat Welesi menyatakan menolak atas rencana penyerahan hibah tanah untuk lokasi pendirian kantor Gubernur Papua Pegunungan.[18]

Di wilayah Wouma, pro dan kontra terjadi setelah adanya wacana penyerahan lahan seluas 72 ha oleh Ustad Ismail Asso. Pada sebuah pertemuan awal di kapela Yesus Elalin Wouma yang digelar menyikapi rencana penempatan kantor Gubernur di Welesi yang mencaplok wilayah Wouma, sebagian besar masyarakat dan tokoh-tokoh telah bersepakat menyatakan menolak. Hanya saja, pada pertemuan selanjutnya diduga diperankan langsung oleh oknum tertentu, masyarakat justru menyatakan menerima lokasi penempatan kantor Gubernur Papua Pegunungan.

Puncaknya diinisiasi oleh Paulus Matuan, dibentuklah Tim Ambisium Wouma yang bertujuan menerima dan menyerahkan tanah hibah seluas 108 Ha di Welesi hingga Wouma. Dalam informasi yang beredar di publik, tim tersebut menjanjikan akan ada 6 kursi DPR PP, 5 kursi MRP bagi masyarakat Wouma, demikian juga para sarjana dan lulusan sekolah lanjutan atas akan diterima sebagai ASN, masyarakat akan mendapatkan bantuan perumahan dan fasilitas lainnya. Kondisi dan tawaran yang mirip dengan generasi 1960-an yang ditipu oleh militer dan pemerintah Indonesia dengan memberikan senter, kuali, kapak dan parang demi menyerahkan tanah yang dikuasai pemerintah maupun swasta saat ini di Kota Wamena.

Polarisasi akibat janji-janji pemerintah makin menguat antar masyarakat di Wouma, setelah kunjungan Wakil Menteri Dalam Negeri pada 6 Februari 2023 ke lokasi penempatan kantor Gubernur PP di Welesi.[21] Masyarakat Wouma yang diwakili oleh Usman Wuka menyetujui dan menandatangani penyerahan hibah tanah seluas 108 Ha di Kantor Gubernur PP. Meskipun ada upaya penolakan lewat aksi demo damai di wilayah Wouma, tetapi dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian bersama Brimob bersenjata lengkap.

Bahkan di dalam acara penandatanganan di kantor sementara Gubernur PP, masyarakat yang sempat ikut menghadiri menyatakan bahwa JWW tidak memberikan sedikitpun ruang untuk berdiskusi. JWW sendiri memimpin jalannya acara tatap muka dan membatasi ruang diskusi. Hal itu terlihat jelas dalam cuplikan video yang beredar, dimana ada seorang bapak dari Wouma menyatakan menolak, tetapi disambut oleh JWW dengan menyatakan, “siapa itu yang bicara?”, secara berulang kali.

Di Wouma, setelah pembentukan tim inisiator peduli tanah adat Wouma dan pembentukan Solidaritas Pelajar, Mahasiswa dan Masyarakat Lintas Tiga Aliansi Distrik Wouma, Welesi dan Assolokobal di Jayapura telah dilakukan beberapa aksi. Misalnya diskusi, rapat dan jumpa pers. Jumpa pers pertama di lakukan di Jayapura yang menolak dengan tegas penyerahan lahan seluas 108 Ha dan mengutuk serta meminta JWW membatalkan niatnya untuk menyabet lahan milik komunal yang kini menjadi aset satu-satunya harta warisan bagi tiga aliansi dan masa depan anak cucu mereka.[22] Solidaritas Lintas Tiga Aliansi juga menyampaikan aspirasi pendampingan/dukungan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, ALDP, MRP, DPRP, Dewan Gereja Papua, Keuskupan Jayapura dan Dewan Adat Papua di Lapago.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Pada 6-7 Februari 2023, terjadi penyerangan terhadap Ayub Wuka, salah seorang oknum yang diduga terlibat dalam penyerahan lahan di Welesi, juga di wilayah aliansi Assolokobal di Helaluwa. Dalam penyerangan oleh kelompok yang menolak penyerahan lahan tersebut, beberapa rumah dibakar dan masyarakat telah terbagi dalam dua kubu: pro dan kontra. Saat ini masyarakat setempat sedang berurusan dengan hukum dan kehidupan mereka menjadi tidak kondusif dan harmonis seperti sedia kala.

Pada pertemuan lanjutan diinisiasi oleh tim gabungan di Wouma, 16 Februari 2023, kelompok yang menyerahkan tanah tidak hadir sama sekali, padahal agenda pertemuan adalah menyatukan persepsi dalam memandang masalah pro dan kontra saat ini. Ada kesan masyarakat akan saling menjaga posisi dan saling bertegang mengingat tensi di antara mereka masih tinggi beberapa hari ini.

D. Reaksi Pemerintah: Arogan dan Tangan Besi

Menyikapi aksi-aksi mahasiswa, pelajar, dan pemuda serta masyarakat di Welesi yang menolak upaya penyerahan tanah adat secara sepihak oleh oknum Ismail Asso, Wakil Menteri Dalam Negeri JWW meminta aparat keamanan dalam hal ini Dandim dan Kapolres Jayawijaya agar menangkap dan memproses hukum siapapun yang menurutnya berusaha menghalangi proses pembangunan kantor Gubernur PP.[23]

“Jika masih ada pro kontra, maka aktornya harus eksekusi untuk proses hukum karena dianggap menghalangi. Ini negara hukum jika ada yang merasa tidak puas silakan menempuh jalur hukum, bukan melakukan pemalangan jalan,” ujar JWW waktu itu.

“Saya tegaskan siapa saja yang menghasut, menghalangi proses pembangunan, saya sudah minta kepada Dandim dan Kapolres untuk mencari provokatornya agar diproses secara hukum.”

Meskipun demikian, tidak ada sikap tegas serupa yang berasal dari pemerintah daerah Jayawijaya maupun oleh Pj Gubernur Papua Pegunungan. Dalam tulisan lain yang beredar dari ustad Ismail Asso juga meminta kepada aparat keamanan bersenjata lengkap untuk menangkap dan memproses hukum siapapun masyarakat yang akan mengganggu proses pembangunan kantor pemerintahan Papua Pegunungan di Welesi.

Senada juga diungkap oleh Nius Asso, yang mencibir dan menjustifikasi suara protes dan kritik penolakan sebagai upaya menghalangi pembangunan.[24] Narasi yang lebih pada upaya menggeneralisasi para penolak pencaplokan tanah adatnya sebagai kelompok anti pembangunan, yang pada kenyataannya tidak dapat dibenarkan sama sekali.

E. Dukungan Mediasi dan Penolakan

Majelis Rakyat Papua pada media tanggal 27 Januari 2023 menyatakan bahwa pemerintah Papua Pegunungan perlu mengundang dan mendengar semua pihak yang merupakan pemilik sah lahan yang akan diserahkan. Tidak boleh mendengar satu atau dua oknum.[25]

“Pemerintah harus buka ruang untuk menghadirkan semua pihak, baik dari Welesi, Assolokobal dan Wouma untuk melihat dan memastikan batas-batas wilayah mereka. Hal ini penting agar prosesnya berjalan benar dan kemudian hari aksi palang memalang tidak terjadi lagi. Pemerintah harus mendengarkan semua pihak, tidak boleh hanya satu dua orang serahkan, lalu klaim tanah itu. Tidak boleh pemerintah dengan tekanan keamanan, lalu abaikan pemilik ulayat,” kata Yoel Luiz Mulait.

Pada tanggal 8 Februari, Yoel Mulait kembali mengingatkan pemerintah provinsi Papua Pegunungan bahwa di Papua semua tanah ada pemiliknya.

“Pemerintah harus menghargai masyarakat karena di setiap wilayah, semua tanah pasti bertuan. Kita tau di Papua setiap suku/clan punya hak wilayat masing-masing, ketika mereka diabaikan, maka pemerintah sendiri telah merusak tatanan kehidupan dan masa depan masyarakat,” kata Mulait.[26]

Pernyataan senada disampaikan oleh Uskup Keuskupan Jayapura, Mgr. Yanuarius Theofilus Matopai You, melalui 7 pokok ajakan usai tahbisan.

Satu: Orang Papua harus hidup dari tanah adat. Dua, Orang Papua harus hidup dari hasil olah tanah yaitu hidup dengan berkebun, beternak, berburu, bernelayan, dan berusaha.[27]

Lembaga bantuan Hukum (LBH) Papua juga telah menyatakan dukungan kepada Solidaritas Pelajar, Mahasiswa dan Masyarakat Lintas Tiga Aliansi dengan menerima surat kuasa bilamana terjadi penangkapan dan konsekuensi hukum lainnya. Bahkan dalam waktu dekat akan ada tim Aliansi Demokrasi Untuk Papua (AlDP) akan membentuk tim untuk menggugat penyerahan tanah sepihak yang dilakukan oleh oknum-oknum haus dan gila jabatan beberapa waktu lalu.

Paskalis Kossay, seorang politisi senior dari Wamena, dalam sebuah media online baru-baru ini juga mendesak agar pemerintah provinsi Papua Pegunungan agar mencari lokasi lain misalnya, taman biologi LIPI Wamena sebagai lokasi penempatan Kantor Gubernur.[28]

“Penempatan lokasi pembangunan kantor Gubernur Papua Pegunungan tidak strategis. Letaknya (di Walesi) terlalu di bawah kaki gunung, sulit untuk pengembangan kota ke depan. Idealnya, menurut saya daerah yang sangat strategis untuk pembangunan gedung kantor Gubernur Papua Pegunungan itu di lokasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Gunung Susu. Lokasi ini sudah dilepas masyarakat adat kepada LIPI, sehingga sudah menjadi milik negara. Pilihan lokasi milik LIPI di Gunung Susu ideal karena tanpa resiko biaya maupun tuntutan ganti rugi masyarakat,” kata Paskalis kepada Odiyaiwuu.com.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

F. Kesimpulan

Sejak munculnya wacana penempatan lokasi kantor Gubernur Papua Pegunungan di Welesi, masyarakat di tiga aliansi distrik Wouma, Welesi dan Assolokobal telah terpolarisasi dalam dua kelompok yaitu pro dan kontra. Perlu ditegaskan bahwa polarisasi ini dapat berpotensi mengakibatkan konflik sosial horizontal seperti yang telah terjadi di wilayah Assolokobal beberapa waktu lalu.

Sementara itu, suara-suara penolakan terus lahir dari hampir seluruh masyarakat di wilayah Wamena, hingga seluruh Lapago di Pegunungan Papua karena mereka memahami wilayah Wouma sebagai sentral produksi pangan lokal sejak dahulu. Ini artinya masyarakat bisa berhadapan dengan aparatur keamanan sebagai imbas dari salah langkah yang diambil oleh pemerintah dan JWW bersama oknum kaki tangannya seperti Ismail Asso dan Paulus Matuan.

Oleh karena itu, sekali lagi agar kehadiran pemerintah dan DOB tidak dilihat sebagai musuh masyarakat yang berusaha mengalienasikan masyarakat Papua Pegunungan yang didominasi oleh petani dari sumber pendapatan mereka, maka pemerintah harus bersikap bijaksana dalam penempatan kantor Gubernur ini.

Pemerintah mesti mempertimbangkan semua konsekuensi terlebih yang dapat beresiko mengancam kesinambungan hidup rakyat Papua di Wamena, khususnya di tiga aliansi. Suara penolakan penempatan lokasi kantor Gubernur, bukan semata-mata berarti masyarakat menolak atau menghalangi pembangunan. Sebab sejarah telah membuktikan bahwa pembangunan di Lapago telah terjadi dengan aman dan lancar yang ditopang secara linier oleh rusaknya kali Ueima sebagai pusat pengambilan material yang mengaliri wilayah milik aliansi Wouma dan Welesi.

Yang terakhir, pembangunan sektor pertanian dan perkebunan merupakan tanggung jawab pemerintah yang harus dilaksanakan tanpa mendahulukan atau mengistimewakan pembangunan infrastruktur semata. Oleh karenanya, narasi menghalangi pembangunan sambil menghancurkan perkebunan tradisional rakyat yang telah menjadi sumber pangan lokal selama puluhan ribu tahun dari generasi ke generasi sama sekali tidak dapat dibenarkan.

Dan oleh karena itu, demi menjaga kedamainan dan keharnonisan hidup masyarakat di tiga aliansi distrik, maka lokasi penempatan Kantor Gubernur Papua Pegunungan harus dipindahkan ke wilayah lain yang masih amat luas. Biarkan wilayah Wouma, Welesi dan Assolokobal menjadi pusat pembudidayaan dan produksi pangan lokal bagi provinsi Papua Pegunungan hari ini dan di masa depan. (*)

RUJUKAN:

  1. Mts/Ugo. 2022. DPR Sahkan RUU Otsus Papua Jadi UU. Https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210715121147-32-668046/dpr-sahkan-ruu-otsus-papua-jadi-uu.
  2. Pop/Tsa. 2022. Jokowi Dikabarkan Tunjuk John Wempi Wetipo Jadi Wamendagri. Https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220615101533-32-809144/jokowi-dikabarkan-tunjuk-john-wempi-wetipo-jadi-wamendagri
  3. Sf. 2022. DPR Sahkan 3 UU Provinsi Baru, Puan: Jaminan Hak Rakyat Papua Dalam Pemerataan Pembangunan. Https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/39597/t/DPR+ Sahkan+3+UU+Provinsi+Baru%2C+Puan%3A+Jaminan+Hak+Rakyat+Papua+dalam+Pemerataan+Pembangunan
  4. Laitul Anisah. 2022. Tok, DPR Sahkan RUU DOB Papua Menjadi UU. Https://nasional.kontan.co.id/news/tok-dpr-sahkan-ruu-daerah-otonomi-baru-papua-barat-menjadi-uu
  5. Eko Ari Wibowo. 2022. Mendagri Lantik 3 PJ Gubernur DOB Papua. Https:// nasional.tempo.co/read/1655592/mendagri-lantik-3-penjabat-gubernur-dob-papua
  6. Admin. 2022. Mendagri Lantik Muh. Musaad Sebagai PJ Gubernur Papua Barat Daya. Https://kemendagri.go.id/berita/read/34192/mendagri-lantik-muhammad-musaad-sebagai-pj-gubernur-papua-barat daya
  7. Admin. 2022. MRP Tegaskan Tetap Tolak DOB Papua. Https://www.republika.id/posts/28207/mrp-tegaskan-tetap-tolak-dob-papua
  8. Roberthus Yewen. 2022. DPR Papua Resmi Serahkan Aspirasi Penolakan dan Peneriman DOB ke Baleg DPR RI. Https://regional.kompas.com/read/2022/04/13/205907278/dpr-papua-resmi-serahkan-aspirasi-penolakan-dan-penerimaan-dob-ke-baleg-dpr?page=all
  9. Redaksi Suara Papua. 2022. Gubernur Lukas Enembe: Mayoritas Rakyat Papua Tolak DOB. Https://suarapapua.com/2022/05/30/gubernur-lukas-enembe-rakyat-papua-tolak-dob/
  10. Fajar Febriyanto. 2022. DOB Baru Disahkan, Konflik Perebutan Ibu Kota Sudah Terjadi. Https://nasional.tempo.co/read/1607493/dob-papua-baru-disahkan-konflik-perebutan-ibu-kota-sudah-terjadi
  11. Nurhadi Sucahyo. 2022. Pejabat Gubernur DOB Harus Bebas Kepentingan Politik. Https://www.voaindonesia.com/a/penjabat-gubernur-dob-papua-harus-bebas-kepentingan-politik/6796054.html
  12. BBC. 2022. Pemekaran Provinsi Di Papua Dikhawatirkan Akan Menjadi Daerah Otonomi Gagal Karena Tidak Ada Masa Persiapan, Kata Pakar. Https://www.bbc. com/indonesia/indonesia-61955604
  13. Eko Ari Wibowo. 2022. Anggota DPR Sebut Pemekaran Tiga DOB Papua Bakal Pakai APBN. Https://nasional.tempo.co/read/1607116/anggota-dpr-sebut-pemekaran-3-dob-papua-bakal-pakai-apbn
  14. Redaksi. 2023. Bupati Pegunungan Bintang Kecewa Dengan Kebijakan Pj Gubernur Papua Pegunungan. Https://jubitv.id/bupati-pegunungan-bintang-kecewa-dengan-kebijakan-penjabat-gubernur-papua-pegunungan/
  15. Redaksi. 2023. Dikunjungi Wamendagri, Warga Tolak Kampung Konam jadi Lokasi Pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan. Https://jubitv.id/dikunjungi-wamendagri-warga-tolak-kampung-konam-jadi-lokasi-pembangunan-kantor-gubernur-papua-pegunungan/
  16. Lih. Status Facebook Ismail Asso yang diunggah pada Februari 2023.
  17. Ima Pele. 2023. Masyarakat Welesi Hibahkan 72 Ha Tanah Ke Pemprov Papua Pegunungan. Https://jubi.id/lapago/2023/masyarakat-walesi-hibahkan-72-hektar-tanah-ke-pemprov-papua-pegunungan/
  18. Reiner Brabar. 2023. Tak Ada Kesepakatan Bersama, Mahasiswa Tolak Rencana Bangun Kantor Gubernur di Welesi. Https://suarapapua.com/2023/01/17/tak-ada-kesepakatan-bersama-mahasiswa-tolak-rencana-bangun-kantor-gubernur-di-welesi/
  19. Naftali. 2023. Ini Alasan Penolakan Pembangunan Kantor Gubernur di Distrik Welesi. Https://kawattimur.id/2022/07/29/ini-alasan-penolakan-pembangunan-kantor-gubernur-di-distrik-walesi
  20. Redaksi. 2023. Mahasiswa Wewanap Tolak Rencana Pembangunan Kantor Gubernur PP di Welesi. Https://jubi.id/kabupaten-jayawijaya/2023/mahasiswa-wewanap-tolak-rencana-pembangunan-kantor-gubernur-pp-di-welesi/
  21. Redaksi. 2023. Potret Wamendagri Kunjungi Calon Lokasi Pusat Pemerintahan Papua Pegunungan. Https://kabarpapua.co/potret-wamendagri-kunjungi-calon-lokasi-pusat-pemerintahan-papua-pegunungan/
  22. Agus Pabika. 2023. Mahasiswa Lintas Tiga Aliansi Distrik Tolak Lokasi Kantor Gubernur di Welesi. Https://suarapapua.com/2023/02/08/mahasiswa-lintas-tiga-aliansi-distrik-tolak-lokasi-kantor-gubernur-di-welesi/
  23. Redaksi. 2023. Wamendagri Minta Aparat Proses Hukum Penghalang Pembangunan di Papua Pegunungan. Https://kabarpapua.co/wamendagri-minta-aparat-proses-hukum-penghalang-pembangunan-di-papua-pegunungan/
  24. Lih. Unggahan Status Facebook Nius Asso pada 10 Februari 2023.
  25. Admin. 2023. MRP Sarankan Pemprov Papua Pegunungan Pastikan Pemilik Sah 72 Ha Tanah Hibah di Welesi. Https://mrp.papua.go.id/2023/01/28/mrp-sarankan-pemprov-papua-pegunungan-pastikan-pemilik-sah-72-ha-tanah-hibah-di-welesi/
  26. Admin. 2023. Semua Tanah di Papua Bertuan, Pemerintah Harus Menghargai Pemilik Ulayat. Https://mrp.papua.go.id/2023/02/08/semua-tanah-di-papua-bertuan-pemerintah-harus-menghargai-pemilik-wilayat/
  27. Redaksi. 2023. Usai Ditahbis, Uskup Jayapura Bicara Tujuh Larangan dan Ajakan Plus Doa. Https://suarapapua.com/2023/02/05/usai-ditahbis-uskup-jayapura-bicara-tujuh-larangan-dan-ajakan-plus-doa/
  28. Ansel Deri. 2023. Tokoh Masyarakat Kritik Pilihan Lokasi Pembangunan Gedung Kantor Gubernur Papua Pegunungan. Https://www.odiyaiwuu.com/2023/02/07/masyarakat-pembangunan-pegunungan/

Terkini

Populer Minggu Ini:

PT IKS Diduga Mencaplok Ratusan Hektar Tanah Adat Milik Marga Sagaja

0
“Perusahaan segera ganti rugi tanaman, melakukan reboisasi dan yang paling penting yaitu kembalikan status tanah adat kami marga Sagaja,” pungkasnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.