PolhukamHAMSaksi Ahli Pidana: Teriak Papua Merdeka dan Referendum Bukan Makar!

Saksi Ahli Pidana: Teriak Papua Merdeka dan Referendum Bukan Makar!

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sidang lanjutan perkara makar yang didakwakan kepada Victor F. Yeimo, juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), siang tadi, Jumat (31/3/2023), di Pengadilan Negeri Jayapura, menghadirkan saksi ahli Dr. Amira Paripurna, SH, LLM.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, itu dihadirkan sebagai ahli Hukum Pidana.

Saksi ahli Amira Paripurna dalam penjelasannya menegaskan, makar itu sesuai dengan konsep, teori dan juga regulasi harus dimaknai dengan tindakan fisik menyerang.

“Kalau kaitan dengan aksi-aksi damai, demo itu tidak bisa dimaknai dengan makar, karena itu bagian dari freedom of expression, kebebasan berekspresi dan itu dijamin oleh undang-undang,” ujar Amira.

Ditegaskan, warga negara, masyarakat ketika menyampaikan pendapat, orasi itu harus dilindungi. Dalam konteks Papua pada perkara ini, aktivis kalau mengatakan yel-yel Papua Merdeka, meminta penentuan nasib sendiri, dan referendum, termasuk demo anti rasis itu dijamin oleh undang-undang.

“Ahli berpendapat tidak tepat digunakan pasal makar dalam kasus ini,” ujarnya.

Baca Juga:  Pelaku Penyiksaan Harus Diadili, Desakan Copot Pangdam Cenderawasih Terus Disuarakan

Kemudian dalam dakwaan dikatakan ada niat atau permulaan pelaksanaan, Ahli berpendapat, niat tersebut masih dalam konteks batin, dia akan terwujud jika ada perbuatan kesiapan. Perbuatan persiapan juga harus dimaknai dengan persiapan ke arah menyerang.

“Kalau persiapannya orang kumpul-kumpul, rencana untuk demo damai, bicara demo anti rasis, tidak dimaknai dengan makar juga,” tegas Amira.

Dalam keterangan ahli dipertegas soal unsur-unsur makar yang ditujukan kepada terdakwa itu tidak memenuhi unsur makar. Alasannya menurut Amira, karena masih dalam bentuk kebebasan berekspresi.

Kedua, terkait pasal penghasutan, kata saksi ahli, itupun harus diikuti dengan tindakan fisik perbuatan pidana.

“Orang bicara di depan umum, dia perintah lakukan makar atau lakukan penyerangan satu gedung atau pengrusakan. Kalau itu ada, maka unsur penghasutan itu terpenuhi, tetapi kalau tidak ada perbuatan fisik menyerang atau pengrusakan itu tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan penghasutan dan itu sesuai keputusan MK yang terbaru sudah dipertegas soal itu,” ujar ahli Hukum Pidana.

Baca Juga:  Ruang Panggung HAM Harus Dihidupkan di Wilayah Sorong Raya

Amira Paripurna awalnya bersedia hadir pada Selasa (28/3/2023) lalu, tetapi karena sidang molor lima jam dari rencana, Majelis PN Jayapura menundanya sepekan.

Sementara itu, Gustaf Kawer, pengacara Victor Yeimo usai persidangan menjelaskan, kehadiran saksi ahli Dr. Amira Paripurna menjelaskan khusus soal pasal makar dan penghasutan yang didakwa terhadap kliennya.

“Dalam penggunaan pasal itu jaksa mendakwa dengan pasal 106 KUHP tentang makar sendiri dan pasal 110 ayat 1 tentang pemufakatan makar dan pasal 110 ayat 2 ke 1 itu mempersiapkan atau memperlancar makar dan dakwaan yang terakhir itu penghasutan,” kata Gustaf.

Inti dari keterangan ahli, ia berpendapat, unsur-unsur makar yang ditujukan kepada terdakwa tidak memenuhi unsur makar karena masih dalam bentuk kebebasan berekspresi.

“Kaitan konteks dengan persoalan ini, terdakwa berorasi dalam kaitan demo anti rasisme, dan terdakwa tidak terlibat dalam penanggung jawab yang mengorganisir karena ini dilakukan oleh BEM se-kota Jayapura dan kelompok OKP Cipayung. Terdakwa yang hadir diminta sampaikan orasi itu dalam konteks demo anti rasisme, sehingga ahli berpendapat tindakan seperti begini harus dilindungi karena bagian dari kebebasan berekspresi, termasuk penghapusan tindakan rasisme itu ada Undang-undang nomor 40 tahun 2008. Jadi, tidak bisa dikenakan kepada terdakwa, karena terdakwa hadir bukan sebagai penanggung jawab, sehingga tidak bisa dikenakan pidana kepada terdakwa,” tutur Gustaf.

Baca Juga:  Empat Terdakwa Pembunuhan Bebari dan Wandik Dibebaskan, Wujud Impunitas

Keterangan saksi ahli hari ini yang keempat, pertama saksi ahli Filsafat, kedua saksi ahli Hukum Tata Negara, ketiga saksi ahli Resolusi Konflik, dan terakhir ini diharapkan dapat mempertegas bahwa dakwaan jaksa tidak terbukti.

“Kita harapkan nanti di putusan akhir Majelis Hakim dapat mempertimbangkan secara komprehensif sesuai fakta sidang dari saksi-saksi fakta maupun saksi-saksi ahli kita yang sudah jelaskan secara komprehensif karena ada pendekatan filsafat, pendekatan HTN ada, pendekatan Resolusi Konflik ada, dan terakhir pendekatan pidana,” tandas Kawer.

Sidang akan dilanjutkan Selasa (11/4/2023) mendatang, dengan agenda tuntutan Jaksa, dan seminggu kemudian Pledoi.

Pewarta: Agus Pabika
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

DKPP Periksa Dua Komisioner KPU Yahukimo Atas Dugaan Pelanggaran KEPP

0
“Aksi ini untuk mendukung sidang DKPP atas pengaduan Gerats Nepsan selaku peserta seleksi anggota KPU Yahukimo yang haknya dirugikan oleh Timsel pada tahun 2023. Dari semua tahapan pemilihan komisioner KPU hingga kinerjanya kami menilai tidak netral, sehingga kami yang peduli dengan demokrasi melakukan aksi di sini. Kami berharap ada putusan yang adil agar Pilkada besok diselenggarakan oleh komisioner yang netral,” kata Senat Worone Busub, koordinator lapangan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.