PolhukamHAMPutusan Penjara 3 Tahun Bagi Victor Yeimo Dipertanyakan

Putusan Penjara 3 Tahun Bagi Victor Yeimo Dipertanyakan

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Tuntutan tiga tahun penjara terhadap terdakwa Victor Yeimo sebagaimana dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kamis (27/4/2023) di Pengadilan Negeri (PN) Jayapura, disoroti berbagai pihak. Putusan tersebut dinilai berlebihan karena tanpa mempertimbangkan aspek lain, termasuk fakta persidangan pun diabaikan.

Penasihat Hukum (PH) terdakwa Victor Yeimo bahkan menyatakan jaksa secara jelas-jelas tidak menggunakan fakta sidang dalam pengambilan putusannya. JPU lebih cenderung memperlihatkan unsur-unsur pasal sebagaimana dalam berkas perkara sebelumnya.

Begitupun pendapat Amnesty International Indonesia dan legislator Papua, yang menyebut tuntutan JPU berlebihan. Apalagi Victor Yeimo dinyatakan terbukti melakukan makar dan menuntutnya dengan hukuman pidana penjara 3 tahun.

Laurenzus Kadepa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) mengatakan, seharusnya jaksa lebih bijak terhadap perkara Victor Yeimo.

“Saya menilai tuntutannya berlebihan. Harap jaksa bijaksana,” ujarnya.

Seperti pihak lainnya, kasus Victor Yeimo mendapat perhatian sangat serius dari Laurenzus Kadepa.

Kadepa bahkan berkali-kali bicara tegas menanggapi masalah rasisme. Ia hadir bicara di ruang sidang pengadilan, begitu juga bicara di berbagai media massa. Juga secara langsung sampaikan kepada para pengambil kebijakan sehubungan dengan aksi spontanitas rakyat Papua merespons ujaran rasisme di Surabaya, Jawa Timur.

Secara umum Laurenzus Kadepa pernah tegaskan bahwa aksi anti rasisme merupakan aksi spontanitas masyarakat di kota Jayapura. Aksi sama serentak diadakan di berbagai kota di seluruh Tanah Papua.

Kadepa menyatakan aksi lawan rasisme bukanlah tindakan makar.

“Saya bicara berkali-kali secara lantang terkait masalah rasisme ini baik di ruang sidang pengadilan, media massa, elektronik, juga secara langsung kepada para pengambil kebijakan di daerah ini kalau aksi ini adalah aksi spontanitas masyarakat yang dimotori mahasiswa dan Cipayung. Demonstrasi anti rasisme Papua itu aksi spontanitas masyarakat dan bukan makar. Tidak ada makar di saat demonstrasi anti rasisme di Papua. Yang ada hanya ungkapan kemarahan, kekecewaan dan protes terhadap tindakan rasis yang dinilai subur selama ini terhadap ras tertentu dalam kemajemukan bangsa kita,” tuturnya.

Baca Juga:  Empat Jurnalis di Nabire Dihadang Hingga Dikeroyok Polisi Saat Liput Aksi Demo

Kadepa tegaskan, “Aksi demonstrasi anti rasisme 2019 adalah puncak akumulasi kekecewaan orang Papua terhadap segala kebijakan dan bentuk tindakan rasis yang ada. Ini masalahnya, jadi saya meminta kepada para penegak hukum, jangan manfaatkan kesempatan ini untuk menghukum orang-orang yang dianggap melawan pemerintah.”

PH Soroti Putusan JPU

Emanuel Gobay, koordinator litigasi Koalisi Penegak Hukum dan HAM untuk Papua, mengatakan, jaksa mendakwa kliennya dengan empat dakwaan, tetapi pada pembacaan tuntutan hanya menggunakan satu dakwaan yakni Pasal 106 KUHP jo 55 ayat (1) KUHP.

Dari uraian fakta yang menjadi dasar JPU, Gobay menyoroti adanya keanehan, dimana jaksa tidak menggunakan fakta sidang yang terungkap pada pembuktian.

“Dari uraian unsur-unsur pasal tersebut mayoritas diambil dari berkas perkara sebelumnya. Sementara fakta sidang tidak diuraikan secara banyak. Beberapa saksi memberatkan mayoritas menyebutkan dalam sidang bahwa tidak pernah melihat klien kami, lihat pun samar-samar dan itu diragukan,” kata Emanuel.

Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, menyatakan, jaksa seharusnya tuntut bebas Victor Yeimo.

“Tuntutan pidana tiga tahun penjara itu mencerminkan keraguan Jaksa atas dakwaan makar kepada Victor Yeimo. Dia ditangkap dan ditahan sejak Mei 2021, dan kini JPU menuntutnya tiga tahun penjara, dikurangi masa tahanan.”

Dalam siaran pers, Usman menyebutkan seluruh bukti yang ada menunjukkan Victor Yeimo tidak layak dituntut kejahatan makar.

“Ia hanya mengekspresikan sikap politiknya secara damai. Bahkan penerapan pasal pidana makar terhadap ekspresi politik damai sendiri sudah bertentangan dengan hak asasi,” kata Usman.

“Tuntutan pidana itu akhirnya dilihat tidak lebih dari upaya untuk menekan suara-suara kritis dan mempersempit ruang gerak bagi aktivis atau siapa saja yang memperjuangkan hak-hak asasi orang Papua.”

Baca Juga:  AJI, PWI, AWP dan Advokat Kecam Tindakan Polisi Terhadap Empat Jurnalis di Nabire

Lanjut Usman, “Setia orang termauk orang asli Papua memiliki hak untuk menyuarakan pikiran, pendapat, dan ekspresi politk mereka secara bebas tanpa takut dihukum atau diintimidasi. Hak ini dijamin dalam hukum nasional maupun hukum internasional.”

JPU Sepelekan Fakta Sidang

Dalam uraian tuntutan JPU tidak menyinggung fakta persidangan. Begitupun keterangan dari saksi ahli tidak dipertimbangkan juga.

Kata Emanuel, dalam persidangan saksi JPU yang dihadirkan pun tidak mampu membeberkan fakta sebenarnya. Saksi mengaku tidak melihat pernyataan di dalam video. Juga tidak memperlihatkan sedikitpun video yang memperkuat dugaannya kepada Victor Yeimo.

“Saksi tidak melihat pernyataan di dalam video. Dalam fakta sidang, tidak ada satu pun video yang diputar atau diperlihatkan dalam persidangan yang dijadikan alat bukti,” ujarnya.

Berkaitan dengan video dan pernyataan, ujar Emanuel, semestinya pakai UU ITE, bukan Pasal 106 KUHP.

“Basisnya pada bukti elektronik. Bukti yang disebutkan juga diragukan karena tidak ada ahli atau penyidik cyber yang dihadirkan. Ini semakin menunjukkan bahwa jaksa dalam kesimpulan dakwaan pertama tidak sesuai dengan fakta dan terkesan mengada-ada,” tuturnya.

Emanuel menyatakan, hanya untuk tuntutan itu, kliennya harus menunggu selama dua minggu lantaran sidang mengalami dua kali penundaan.

“Sidang tuntutan ditunda dua kali, tetapi rumusannya tidak menggunakan fakta sidang. Semestinya waktu sangat banyak untuk uraian fakta sidang secara maksimal. Tetapi putusannya seperti begini,” ujarnya.

Ironisnya lagi, Gobay sesalkan JPU tidak memasukkan keterangan saksi meringankan yang dihadirkan di persidangan.

“Bicara fakta yang mana, kalau rumusannya seperti itu. Kami melihat ini kesannya jaksa ada di lapangan dan main tebak-tebakan. Yang tidak masuk akal dalam tuntutannya, jaksa juga menyebutkan organisasi separatis. Ini keterlaluan,” sorotnya.

Gobay juga pertanyakan JPU fokuskan Pasal 106 ataukah sedang mengadili organisasi? Sebab menurutnya, dalam rumusan putusan lebih banyak aturan digabungkan menjadi satu. Hal itu terkesan dengan jelas mau memberatkan kliennya. Sementara, secara undang-undang juga ada UU Ormas dan itu ada mekanismenya.

Baca Juga:  Dua Anak Diterjang Peluru, Satu Tewas, Satu Kritis Dalam Konflik di Intan Jaya

Usman Hamid menyatakan, “Kami mendesak pihak berwenang untuk segera membebaskannya dari segala dakwaan pasal makar. Kami juga menyesalkan bahwa pihak berwenang berulangkali menggunakan pasal-pasal makar dalam KUHP untuk mengkriminalisasi kritik dan protes damai masyarakat.”

Dengan kasus tersebut, Amnesty International Indonesia juga mengulang kembali seruan kepada pemerintah dan DPR untuk mencabut atau mengubah secara substansial pasal-pasal makar dalam KUHP yang multitafsir.

“Ini untuk memastikan bahwa ketentuan ini tidak lagi disalahgunakan untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi,” tulisnya dalam siaran pers.

Sidang pledoi atau pembelaan akan digelar Selasa (2/5/2023) mendatang.

Penasehat hukum terdakwa Victor Yeimo, menurut Emanuel Gobay, akan menanggapi tuntutan JPU itu dengan menjawabnya secara tertulis dan dibacakan di sidang pledoi.

Victor Yeimo hadir dalam sidang pembacaan putusan di PN Jayapura, Kamis (27/4/2023).
Juru bicara internasional KNPB itu didakwa 3 tahun penjara.

Tuntutan dibacakan Achmad Kobarubun, Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam sidang yang dipimpin majelis hakim diketuai Mathius bersama hakim anggota Andi Asmuruf dan Linn Carol Hamadi.

JPU Achmad Kobarubun membacakan tuntutannya terhadap terdakwa Victor Yeimo melanggar Pertama Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dalam dakwaan Kesatu Penuntut Umum.

Terdakwa akan menjalani masa hukuman berupa pidana penjara selama tiga tahun dengan dikurangi masa tahanan, dan terdakwa tetap mendekam di tahanan.

Sebelumnya, JPU mendakwa Victor Yeimo dengan empat pasal berbeda, yaitu Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, Pasal 110 ayat (1) KUHP, Pasal 110 ayat (2) ke 1 KHUP, Pasal 160 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Ronald Kinho, aktivis muda Sorong, menyebut masyarakat nusantara atau non Papua seperti parasit untuk monopoli sumber rezeki warga pribumi atau orang...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.