PartnersJokowi Mengunjungi PNG Untuk Memperkuat Hubungan, Namun Kesampingkan Masalah Papua Barat

Jokowi Mengunjungi PNG Untuk Memperkuat Hubungan, Namun Kesampingkan Masalah Papua Barat

Editor :
Elisa Sekenyap

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Papua Nugini dan Indonesia mengakui bahwa hubungan ekonomi dan sosial di antara kedua negara semakin erat.

Presiden Indonesia Joko Widodo mengunjungi Port Moresby minggu lalu dengan agenda utama perdagangan, pengaturan perbatasan dan pendidikan.

Jokowi setuju untuk mensponsori 2000 mahasiswa Papua Nugini untuk kuliah di Indonesia, dan menjanjikan dana sebesar 15 juta dolar AS untuk memperbaiki rumah sakit di Port Moresby.

“Ini adalah pertemuan yang hangat, bahkan salah satu pertemuan terhangat yang pernah saya lakukan sebagai kepala negara,” ujar Perdana Menteri Papua Nugini James Marape dalam sebuah konferensi pers bersama.

“Kami (Papua Nugini) belum memanfaatkan kekuatan ekonomi yang ada di seberang sana – ekonomi terbesar ke-16 di dunia saat ini… mereka adalah penghubung kami dengan perdagangan dan perdagangan di Asia.”

Sehari setelah kunjungan tersebut, kantor berita pemerintah Indonesia, Antara, melaporkan bahwa Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyatakan bahwa Indonesia akan menawarkan pelatihan kepada 1000 pelaku usaha di Papua Nugini.

Gajah di dalam ruangan
Namun, satu topik yang tidak dibahas adalah Papua Barat yang sangat membebani banyak orang Papua Nugini, yang merasa resah dengan banyaknya laporan penganiayaan terhadap saudara-saudara mereka di Melanesia di seberang perbatasan.

Baca Juga:  Prancis Mendukung Aturan Pemilihan Umum Baru Untuk Kaledonia Baru

Sebuah laporan media mengatakan bahwa pihak berwenang di Papua Nugini telah menindak tegas pengibaran bendera kemerdekaan Papua Barat menjelang kunjungan Jokowi.

Pekan lalu, pada sesi ke-53 Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, penasihat khusus Dewan Hak Asasi Manusia untuk pencegahan genosida, Alice Wairimu Nderitu, menyerukan dilakukannya penilaian kemanusiaan.

“Situasi hak asasi manusia di Papua Barat masih sangat memprihatinkan. Ini termasuk dugaan pelecehan, penangkapan sewenang-wenang, dan penahanan warga Papua … yang mengakibatkan dugaan perampasan tanah-tanah non-adat,” kata Nderitu.

Termasuk banyak pendukung pro-kemerdekaan Papua Barat di Papua Nugini juga mendukung kunjungan tersebut.

Gubernur Port Moresby Powes Parkop, seorang pengkritik vokal terhadap Indonesia, termasuk advokat yang telah lama berbicara soal penduduk di Papua Barat mengatakan dalam sebuah pernyataan video minggu lalu, bahwa kunjungan tersebut merupakan kesempatan untuk berdialog.

Baca Juga:  Hasil GCC: Ratu Viliame Seruvakula Terpilih Sebagai Ketua Adat Fiji

“Saya ingin menyampaikan kepada Presiden bahwa kami, dari pihak yang mendukung Papua Barat, siap untuk melakukan pembicaraan – kami ingin melangkah maju dalam menangani masalah yang telah berlangsung selama puluhan tahun ini.”

“Kami terbuka untuk melakukan pembicaraan dan saya ingin mengajak beliau (Widodo) dalam hal ini, untuk memikirkan masa depan dan tidak terpaku pada masa lalu,” ujar Parkop.

“Masa lalu tidak bisa kita ubah, ada banyak rasa sakit dan ada. Hhal ini merupakan sentimen yang juga dimiliki oleh sesama aktivis Papua Nugini, Jacob Marcos, yang telah berpartisipasi dalam demonstrasi menentang peran Indonesia di Papua Barat.

“Secara diplomatis, Pemerintah PNG harus mempertahankan garisnya dan hanya mendiskusikan isu-isu yang dibawa oleh presiden Indonesia… tentang kebutuhan negara,” kata Marcos.

Namun bagi masyarakat Papua Nugini, kunjungan dan kesepakatan ekonomi yang murah hati tersebut merupakan pengingat akan kehebatan hubungan luar negeri Indonesia.

Diperkirakan 10.000 pengungsi Papua Barat tinggal di Papua Nugini, yang mana telah melarikan diri dari konflik berdarah antara kelompok separatis bersenjata dan tentara Indonesia.

Baca Juga:  Pasukan Keamanan Prancis di Nouméa Menjelang Dua Aksi yang Berlawanan

Konflik telah meningkat selama beberapa bulan terakhir setelah penculikan pilot Selandia Baru Philip Mehrtens oleh kelompok OPM di Nduga, Papua.

Mangi Lufa-Apo adalah salah satu dari para pengungsi tersebut. Dia tiba di Papua Nugini saat masih kecil setelah orang tuanya melarikan diri dari wilayah tersebut.

Lufa-Apo mengatakan bahwa ia merasa frustrasi melihat negara-negara Pasifik membina hubungan dengan Indonesia, dan percaya bahwa negara-negara Pasifik seharusnya mencontoh solidaritas regional yang ditunjukkan oleh negara-negara Eropa terhadap Ukraina.

“Kami telah melihat bagaimana negara-negara Eropa bersatu untuk Ukraina. Negara-negara Kepulauan Pasifik tidak melakukan hal itu, mengapa mereka diam saja?”

“Ada genosida di depan pintu mereka … Saya tidak tahu mengapa Papua Nugini dan Kepulauan Pasifik tidak bisa membawa hal ini ke PBB dan memberi tahu mereka bahwa ada genosida yang sedang terjadi dan sesuatu harus dilakukan untuk mengatasinya.”

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.