Tanah PapuaMeepagoKritik dan Saran Terhadap Proses Pemilihan Anggota MRP Pokja Agama di Provinsi...

Kritik dan Saran Terhadap Proses Pemilihan Anggota MRP Pokja Agama di Provinsi Papua Tengah

Shalom. Saudara-saudari sekalian yang saya hormati.

Pada kesempatan ini, saya hendak menyampaikan kritik dan saran terhadap proses pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Tengah, khususnya yang berkaitan dengan proses pemilihan anggota Kelompok Kerja (Pokja) Agama MRP.

Terlebih dahulu, saya tegaskan bahwa kritik dan saran ini, saya sampaikan dengan maksud yang baik dan benar, tanpa bermaksud memfitnah siapapun. Kritik dan saran ini bermaksud untuk mengevaluasi proses pemilihan anggota MRP, khusus proses pemilihan anggota Pokja Agama MRP yang sedang berlangsung dan upaya perbaikannya kedepan.

Saya sebagai mantan anggota MRP periode tahun 2012-2016, mempunyai sedikit pengetahuan dan pengalaman mengenai proses pemilihan MRP. Selain saya pernah mengikuti proses pemilihan MRP pada tahun 2011, saya juga pernah terlibat cukup aktif dalam memberikan pendapat dalam pembuatan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota Majelis Rakyat Papua.

Selanjutnya, beberapa kritik dan saran saya sebagai berikut:

1. Saya menilai ada ada beberapa kelemahan dalam Peraturan Gubernur Provinsi Papua Tengah Nomor 9 Tahun 2023 tentang Pembentukan dan Jumlah Keanggotaan Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Tengah. Dari beberapa kelemahan tersebut, satu hal yang menjadi polemik dan sejak awal sudah saya sampaikan, yaitu pengaturan pembagian kuota keanggotaan MRP pada Pokja Agama. Dalam Pergub tersebut tidak diatur pembagian kuota keanggotaan Pokja Agama MRP. Pergub tersebut hanya mengamanatkan Pansel Provinsi untuk mengatur dan membagi kuotanya berdasarkan musyawarah dan kesepakatan bersama dengan para pimpinan keagamaan. Sekalipun saya tahu bahwa Pergub ini tidak mengatur hal-hal yang bersifat teknis pemilihan, tetapi karena hal ini berpotensi melahirkan masalah, maka sebaiknya dan seharusnya pembagian kuota ini diatur dalam Pergub ini, agar Pansel Provinsi tinggal melaksanakan proses pemilihannya saja.

Baca Juga:  Stop Kriminalisasi dan Pengalihan Isu Pemerkosaan dan Pembakaran Rumah Warga!

2. Dua hal yang menjadi dasar dan pertimbangan pembagian kuota keanggotaan Pokja Agama MRP adalah: (1) keberadaan agama di Provinsi Papua Tengah, bukan keberadaan lembaga agama sebagaimana yang diatur dalam Pergub tersebut; dan (2) jumlah penganut agama orang asli Papua dan menyebarannya dalam Provinsi Papua Tengah. Sayangnya, yang menjadi dasar dan pertimbangan sebagaimana diatur dalam Pergub tersebut adalah keberadaan lembaga kegamaan dan mengabaikan keberadaan agama. Selain itu, dasar pertimbangan jumlah penganut agama orang asli Papua dan penyebarannya juga tidak diatur dengan baik, termasuk oleh Pansel Provinsi.

3. Akibat dari dual hal tersebut di atas, kemudian muncul beberapa masalah: (1) agama Katolik hanya mempunyai satu lembaga keagamaan, yaitu Keuskupan Timika, sedangkan agama Protestan mempunya banyak lembaga keagamaan sesuai denominasinya masing-masing, seperti KINGMI, GKI, GKII, GIDI, Baptis, Pantekosta, dan lainnya; (2) karena penentuan jumlah kuota diatur agar dimusyawarahkan dan diputuskan bersama, maka masing-masing lembaga agama saling berebutan; (3) akibat dari perebutan tersebut, terjadi perubahan jumlah kuota masing-masing lembaga agama beberapa kali; (4) Pansel Provinsi mengalami dilema dalam proses penentuan kuota ini; dan (5) terkesan ada kepentingan pihak tertentu dalam proses penentuan kuota ini.

Baca Juga:  Velix Vernando Wanggai Pimpin Asosiasi Kepala Daerah se-Tanah Papua

4. Dengan pertimbangan, proses penentuan kuota dan proses pemilihan yang tidak baik dan tidak benar ini, maka agama Katolik melalui Pimpinan Keuskupan Timika telah mengambil keputusan untuk membatalkan keikutsertaannya dalam proses pemilihan anggota MRP periode ini. Itu keputusan yang baik dan benar, serta bijak dan cerdas. Saya pun ikut mendukung keputusan ini. Perlu saya tegaskan, semua hal yang baik dan benar, dan untuk meraih hasil yang baik dan benar, harus diawali dengan proses yang baik dan benar pula.

5. Sejak awal saya mengamati proses pemilihan MRP di Provinsi Papua Tengah, sepertinya terdapat banyak kepentingan. Yang paling dominan adalah kepentingan politik dan kepentingan ekonomi. Beberapa pihak sedang bermain dalam proses pemilihan MRP di Provinsi Papua Tengah. Saya mau sampaikan bahwa dalam politik, apa yang tampak di depan, dapat menjelaskan apa yang tidak tampak di belakang. Orang yang telah banyak belajar ilmu politik dan banyak berpengalaman dalam politik, dapat melihat dan menganalisis secara jelas dan tepat fenomena seperti ini.

Baca Juga:  Jawaban Anggota DPRP Saat Terima Aspirasi FMRPAM di Gapura Uncen

6. Jika masalah pemilihan anggota MRP di Provinsi Papua Tengah, khususnya Pokja Agama mau diselesaikan dengan baik, saya hendak menyarankan beberapa hal: (1) pembagian kuota keanggotaan Pokja Agama MRP harus dengan pertimbangan keberadaan agama, bukan keberadaan lembaga agama, dan harus mempertimbangkan jumlah umat beragama orang asli Papua pada masing-masing agama; (2) pembagian kuota dilakukan ulang dengan baik dan benar dan dilakukan pemilihan ulang dengan baik dan benar; dan (3) jika kedua hal ini tidak dilakukan, maka Gereja Katolik tidak terlibat dalam keanggotaan MRP Provinsi Papua Tengah periode ini.

Demikian kritik dan saran saya. Sekali lagi, perlu saya sampaikan bahwa semua yang saya sampaikan ini dengan maksud yang baik dan benar untuk kemajuan Provinsi Papua Tengah kedepan. Semoga Tuhan senantiasa memberkati kita sekalian.

Terimakasih. Shalom.

Nabire, 28 Juli 2023

Yakobus Dumupa, S.IP, M.I.P

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP Himbau Rakyat Papua Peringati 1 Mei Dengan Aksi Serentak

0
“ULMWP sebagai wadah koordinatif gerakan rakyat, siap bertanggung jawab penuh atas semua rangkaian aksi yang dilakukan dalam bentuk apa pun di hadapkan kolonialisme Indonesia dan dunia Internasional.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.