Rilis PersRasisme Terhadap Orang Papua Telah Berlangsung Selama 61 Tahun

Rasisme Terhadap Orang Papua Telah Berlangsung Selama 61 Tahun

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Pernyataan bersama Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI) menyatakan, bahwa ujaran rasisme terhadap orang Papua telah berlangsung selama 61 tahun (15 Agustus 1962 – 15 Agustus 2023).

Rasisme dalam pernyataan bersama dalam memperingati perjanjian New York pada 15 Agustus 2023 dan memperingati 5 tahun rasisme (2019-2023) bahwa telah dimulai dari perebutan wilayah Papua, perbudakan oleh Belanda, Amerika, dan Indonesia, di mana orang Papua dijadikan objek atas wilayahnya. Terutama cara otoriterisme Indonesia atas Papua dimulai dengan operasi militer hanya demi mengamankan investasi di tanah Papua tanpa menghargai hak politik orang Papua.

Orang Papua sebagai bangsa merdeka sebagaimana deklarasi 1 Desember 1961 disabotase pemerintah Indonesia melalui Tri Komando Rakyat [Trikora]  pada 19 Desember 1961. Dengan demikian, tindakan rasialisme diperaktekan dalam perundingan-perundingan penting yang membahas nasib orang Papua oleh Belanda, Amerika Serikat, dan Indonesiam, serta keterlibatan PBB tanpa melibatkan rakyat Papua Barat sendiri.

Di mana salah satunya adalah pernjanjian New York Agreement yang dilakukan tanpa melibatkan orang Papua, padahal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup orang Papua Barat sebagai bangsa yang telah Merdeka.

Baca Juga:  Stop Kriminalisasi dan Pengalihan Isu Pemerkosaan dan Pembakaran Rumah Warga!

Kemudian, setelah aneksasi dilakukan secara paksa pada 1 Mei 1963, Indonesia mendapat tanggung jawab untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib sendiri dan pembangunan di Papua selama 25 tahun. Namun Pemerintah Indonesia melakukan pengkondisian wilayah melalui berbagai operasi militer dan penumpasan gerakan kemerdekaan rakyat Papua Barat.

Di mana klaim Indonesia atas wilayah Papua Barat mulai dilakukan dengan kontrak Freeport, perusahaan pertambangan milik Amerika Serikat pada tahun 7 April 1967, dua tahun sebelum Pepera 1969. Selain Pepera yang tidak demokratis dari jumlah penduduk orang Papua (809.337), hanya diwakili 1025  dengan cara musyawarah yang tidak memiliki ketentuan hukum Internasional (one man one vote), yang telah diatur dalam New York Agreement secara hukum Internasional.

Puncak Penentang orang Papua terhadap ucapan rasisme terjadi pada Agustus  2019 di Surabaya. Proses ini merupakan bagian dari pada awal rentetan peristiwa yang terendam  sejak 61 tahun. Sejak rakyat Papua mengalami stereotipe atau Papua fobia, di mana harkat dan martabatnya orang Papua tidak pernah dihargai oleh elit-elit intelektual di Indonesia.

Hal ini sama dengan apa yang dialami oleh rakyat Indonesia, dimana Belanda ketika mengkoloni Indonesia menganggap bahwa rakyat pribumi Jawa dianggap inlader, yang artinya bodoh, udik, dengan derajat yang rendah. Mereka memang tak membasmi orang-orang pribumi yang mereka sebut inlander atau menganggap rendah orang Indonesia, namun tindakan rasis itu tetap dilakukan oleh Belanda hingga rakyat Indonesia bebas dari rasisme dan perbudakan itu.

Baca Juga:  Freeport Setor Rp3,35 Triliun Bagian Daerah atas Keuntungan Bersih 2023

Sayangnya, setelah Indonesia merdeka pada 1945, perbedaan,  antara ras, atau etnis itu tidak perna hilang. Malah tetap ada, di mana stereotipe itu dialami etnis Tiongkok, tetapi juga hal yang sama masih dipraktekan terhadap orang Papua, terutama ketika orang Papua disamakan dengan monyet, tikus, sampah, teroris dan lainnya.

Ada contoh rasisme yang disampaikan oleh para pejabat Indonesia, yaitu Ali Murtopa, Komandan Kopasus pada tahun 1969 menyatakan bahwa Jakarta tidak sama sekali tertarik dengan orang Papua, tetapi Jakarta hanya tertarik dengan Wilayah Irian Barat (West Papua). Jika inginkan kemerdekaan, maka sebaiknya minta kepada Allah agar diberikan tempat di salah sebuah Pulau di Samudera Pasifik, atau menyurati orang-orang Amerika untuk mencarikan tempat di bulan.

Termasuk apa yang disampaikan Purnawirawan Jenderal Luhut Pandjaitan pada 2016 yang menyatakan bahwa orang Papua yang ingin merdeka maka pindah saja di Pasifik – tidak boleh tinggal di Indonesia. Termasuk ujaran rasisme kepada mahasiswa Papua di Surabaya pada 2029 dengan penyebutan monyet, asu, dan usir Papua.

Baca Juga:  F-MRPAM Kutuk Tindakan Kekerasan Aparat Terhadap Massa Aksi di Jayapura 

Dengan demikian pihaknya mendesak;

  1. Memberikan kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat West Papua.
  2. Mengakui bahwa New York Agreement 15 Agustus 1962 merupakan kesepakatan yang tidak sah secara yuridis, maupun moral karena tanpa keterlibatan satupun rakyat Papua Barat.
  3. Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan non-organik dari seluruh tanah Papua Barat.
  4. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, MIFEE, dan seluruh perusahaan asing lainnya yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas tanah Papua Barat.
  5. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses penentuan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua.
  6. Buka ruang demokrasi seluas-luasnya dan berikan kebebasan bagi jurnalis nasional, dan internasional meliput serta mengakses informasi di Papua Barat.
  7. Mengutuk keras Kapolres Kota Sorong dalam surat penolakan yang menyatakan bahwa Aliansi Selamatkan Tanah Adat dengan kalimat Manusia Purba.
  8. Mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk masuk menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG), dan..
  9. Cabut dan tolak Otsus jilit II, DOB, Omnibuslaw, KUHP, ITE, Minerba, dan seluruh regulasi produk Pemerintah Indonesia di West Papua.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Jurnalis Senior Ini Resmi Menjabat Komisaris PT KBI

0
Kendati sibuk dengan jabatan komisaris BUMN, dunia jurnalistik dan teater tak pernah benar-benar ia tinggalkan. Hingga kini, ia tetap berkontribusi sebagai penulis buku dan penulis artikel di berbagai platform media online.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.