Tanah PapuaDomberaiPerempuan Malagufuk Terpinggir di Tengah Pengembangan Ekowisata

Perempuan Malagufuk Terpinggir di Tengah Pengembangan Ekowisata

Editor :
Markus You

SORONG, SUARAPAPUA.com — Impian kaum perempuan berdaya di tengah geliatnya pengembangan ekowisata belum tergapai. Mereka tak sudi sekadar penghias di saat asap dapur harus mengepul menghidupi rumah tangganya. Butuh respons dan realisasi. Menanti segera dibekali agar kian berdaya saing di kampung Malagufuk.

Siang itu, Sabtu, 19 Agustus 2023, saya dan keponakan Santike, berkunjung ke kampung Malagufuk, distrik Makbon, kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.

Mobil yang kami tumpangi berhenti di terminal penumpang Malagufuk. Turun dari mobil dan menunggu mobil lain untuk menuju ke kota Sorong.

Kami tidak langsung melanjutkan perjalanan. Sempat rehat sejenak, sekira 30 menit. Kami menarik napas dan membaringkan kepala yang agak pening akibat perjalanan darat.

Angin sejuk menerpa dengan kicauan burung di kejauhan saling bersahutan. Mereka bernyanyi dari pohon yang satu ke pohon lainnya. Ditambah sejuknya udara membangkitkan semangat kami untuk menyusuri jembatan sepanjang 3.300 meter menuju kampung Malagufuk.

Saya dan Santike bergerak menapaki perjalanan kurang lebih tiga kilometer.

Sepanjang jalan, mata kami dimanjakan pemandangan dedaunan hijau, coklat, kuning, dan merah. Berbagai jenis flora memajang sepanjang jalan. Pohon besar dan kecil bersemi di sepanjang jalan ke dalam kampung Malagufuk.

Kami sungguh menerima hawa segar yang jarang dirasakan di kota.

Burung kakak tua putih, hitam, dan Taon-taon bersorak ria. Suaranya melengking tinggi dan rendah. Pertanda mereka mendiami kampung ekowisata.

Gapura selamat datang di kampung Ekowisata Malagufuk, distrik Makbon, kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Sabtu (19/8/2023) lalu. (Maria Baru – Suara Papua)

Tiba di kampung Malagufuk, kami menyaksikan berbagai jenis tumbuhan. Termasuk tanaman kebun, seperti pisang, jeruk, pepaya, rambutan, kelapa, dan bermacam lainnya.

Di gapura selamat datang, seorang anak muda sedang memandu lima wisatawan manca negara (Wisman). Rupanya berasal dari Korea. Mereka mengabadikan indahnya pemandangan di dalam kampung.

Juga, mereka memegang Binocular, alat teropong untuk meneropong dari jarak jauh burung beserta aktivitasnya. Memang, di sinilah para turis biasanya melakukan pengamatan burung (birdwatching).

Kampung Malagufuk memang menarik bagi para wisatawan. Di kampung itu, alam hijau terhampar yang dihuni aneka satwa. Alam yang terpelihara tak terlepas dari sistem konservasi tradisional yang dikenal Egek, sebutan dari bahasa daerah Moi Kelim, warga yang mendiami kampung Malagufuk.

Sistem Egek diterapkan masyarakat adat Moi Kelim di utara kabupaten Sorong, terutama di wilayah Malumkarta Raya. Malagufuk masuk dalam kawasan Malumkarta Raya. Dengan Egek melarang siapapun berburu satwa liar dan menebang pohon.

Penebangan pohon boleh dilakukan hanya untuk kebutuhan membangun rumah warga. Jika untuk kebutuhan umum, kayu didatangkan dari luar kampung atau beli di kota.

Begitupun ketika warga ingin berburu, harus keluar dari area konservasi.

Mama-mama yang mau menangkap ikan hanya bisa dilakukan dengan cara tradisional, yaitu memancing, bukan dengan obat-obatan.

Di sini masyarakat juga diperbolehkan memanfaatkan sagu di dusun sebagai pangan lokal, pengganti beras. Mereka tidak bisa membuka lahan kebun yang luas di dalam kampung. Hanya memanfaatkan pekarangan rumah buat tanam sayur, bumbu-bumbu, dan buah-buahan, seperti pisang, jeruk, dan buah jangka panjang lainnya.

Masyarakat memiliki sistem adat untuk menjaga ekosistem alam dan isinya. Hal itu membuat aman beberapa hewan, sehingga masuk ke kampung dan hidup bersama masyarakat, seperti Kasuari, Kangguru Pohon, dan burung Taon-taon.

Baca Juga:  Ruang Panggung HAM Harus Dihidupkan di Wilayah Sorong Raya

Masyarakat pun menjadikan setiap hewan tersebut seperti layaknya teman bermain.

Burung Taon-taon, misalnya, bebas masuk ke dapur warga untuk mencari makan. Masyarakat akan memberikan buah-buahan atau makanan yang ia suka makan.

Para turis asing sedang memotret burung di ruas jalan kampung Ekowisata Malagufuk, kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Senin (21/8/2023) lalu. (Maria Baru – Suara Papua)

Walaupun demikian, di balik keindahan kampung Malagufuk, mama-mama kesulitan mengakses fasilitas kesehatan. Mama-mama dan anaknya yang ingin berobat atau cek kehamilan harus menempuh jarak empat kilometer ke kampung Malumkarta.

Untuk bisa sampai di pusat layanan kesehatan, mama-mama harus mengeluarkan biaya Rp50 ribu sekali jalan. Itu pun bila cuaca cerah. Jika hujan, mereka harus mengurunkan rencananya.

Karena itulah Margaretha Magablo, perempuan muda di kampung Malagufuk, bilang, warga setempat membutuhkan satu pos pelayanan kesehatan yang dibangun di Malagufuk. Dengan begitu mereka tidak harus ke Malumkarta.

“Saya biasa ke Malumkarta setiap tanggal 14 karena jadwal bidan periksa setiap tanggal 15. Ke sana diperiksa, dapat obat dan disuntik. Mama-mama sini biasa bawa anak ke sana, tapi kalo cuaca jelek, ya tra bisa jalan. Kita sekali jalan bayar lima puluh ribu rupiah. Sopir kalo baik hati ya bisa tiga puluh ribu,” tutur Margaretha.

Sulitnya warga setempat berobat diakui Margaretha. Karenanya, ia mau harus ada Posyandu atau perawat agar berobat tidak lagi pergi jauh seperti selama ini.

“Saya mau ada Posyandu atau ada perawat yang ditugaskan ke sini setiap bulan ataupun bisa tinggal di sini supaya masyarakat tidak harus ke Malumkarta atau Sorong. Misalnya ada tamu atau masyarakat yang sakit tiba-tiba bisa ditangani secepatnya,” Margaretha menjelaskan.

Selain itu, ia juga salah satu perempuan yang sering mendapat giliran untuk masak makanan bagi para wisatawan. Turis memberinya upah Rp150 ribu per hari, kalau setengah hari Rp100 ribu.

Syukur bila tamu menginap sampai empat hari. Kelompok ibu pasti akan mendapat Rp600 ribu.

Kata Margaretha, uang tersebut dibagi rata kepada para ibu yang bertugas untuk masak di dapur.

Ibu Margaretha Magablo sedang memasak makanan untuk wisatawan di dapur khusus di kampung Malagufuk, kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Minggu (20/8/2023) lalu. (Maria Baru – Suara Papua)

Margaretha merasa penting sekali pemerintah daerah memberikan pemahaman lebih mendalam kepada masyarakat tentang pengelolaan dan pengembangan ekowisata berkelanjutan di kampung Malagufuk.

Ia juga menghendaki mama-mama dibekali kemampuan berbahasa Inggris. Itu supaya mereka mudah berkomunikasi dengan turis asing.

Menurutnya, selama ini pemerintah daerah melalui Dinas Pariwisata baru memberikan pelatihan tentang cara masak makanan untuk wisatawan, melayani serta merapikan homestay.

“Saya berharap ada pendidikan bahasa Inggris supaya kami juga bisa tanya tamu asing tentang makanan atau merespons pertanyaan mereka,” katanya saat dijumpai setelah istirahat di dapur khusus untuk masak makanan bagi para tamu pada siang hari.

“Kami juga mengharapkan ada pelatihan-pelatihan lainnya demi peningkatan kemampuan dan pemahaman dalam mengembangkan ekowisata di kampung ini [Malagufuk],” kata Magablo.

Sementara itu, Norce Kalami, juga warga kampung Malagufuk, bercerita, sejak ia hamil hingga membesarkan anaknya sudah tiga bulan, belum pernah menggunakan obat modern. Hanya memanfaatkan apotik alami yang ada di hutan Malagufuk untuk kesehatannya saat hamil hinggga melahirkan.

Baca Juga:  Yakobus Dumupa Nyatakan Siap Maju di Pemilihan Gubernur Papua Tengah

“Saya melahirkan anak di kampung. Tidak pernah ke Malumkarta untuk periksa atau imunisasi. Saya hanya pakai daun dan kulit kayu sebagai obat saat melahirkan. Bayi begitu lahir, hanya pakai debu panas yang dibungkus dengan daun, lalu urut biar kuat. Kalau batuk atau beringus, hanya gosok minyak dan minum ramuan,” tutur Norce.

Mama Marice Su sedang menadah air di jerigen lima liter dari pancuran modern di kampung Malagufuk, kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Sabtu (19/8/2023) lalu. (Maria Baru – Suara Papua)

Dina Titin Sumarni, kepala bidang Destinasi Pariwisata kabupaten Sorong, mengatakan, mereka belum adakan pelatihan khusus kepada ibu-ibu. Selama ini hanya memberikan pelatihan secara umum, seperti cara memandu para wisatawan.

“Kami belum kasih pelatihan khusus kepada mama-mama, tetapi pelatihannya secara umum. Ketika pelatihan di Sorong, kami melibatkan masyarakat. Kami belum ada program khusus untuk pelatihan kepada mama-mama,” kata Sumarni saat dikonfirmasi melalui telepon seluler.

Jikapun telah menjadi kampung ekowisata, fasilitas kebutuhan primer warga, seperti air bersih di kampung Malagufuk tidak mudah diakses. Warga harus terlebih dahulu mengambil air dari sarana pancuran yang disediakan pengelola dari kota Sorong. Air tidak dialirkan ke setiap rumah.

Yakoba Kalami, warga kampung Malagufuk, harus dua kali mendorong gerobak dengan enam jerigen untuk memenuhi kebutuhan air di rumahnya. Air tersebut digunakan untuk kebutuhan water closet (WC) bagi para tamu, serta kebutuhan masak dan minum.

“Mama bawa air buat tamu. Air buat dong (baca: mereka) punya kebutuhan di WC. Mereka mandi ke gasebo. Buang air kecil di rumah,” kata mama Yakoba sambil senyum melihatku dan mendorong gerobak dengan air menuju rumahnya.

Pencahayaan, listrik dan WC masih menjadi masalah tersendiri di kampung Malagufuk.

Kepala kampung sementara, bapak Amos Kalami, merisaukan hal tersebut, karena warganya sering menghadapi kendala air, mandi cuci kakus (MCK), dan listrik.

“Kami butuh air masuk di rumah masing-masing. Masyarakat juga belum punya WC di rumah. Terus, kami juga butuh penerangan,” kata Amos.

Fasilitas penerangan di rumah menurutnya biasa disiasati dengan mengandalkan genset.

“Bahan bakar biasanya kami beli di kota. Saya sering beli dua puluh atau lima puluh liter, bahkan lebih. Dua puluh liter biayanya dua ratus ribu lebih. Lima liter bisa dipakai dari jam enam sampe sebelas atau dua belas, lalu kami matikan genset,” bebernya.

Seperti warga lainnya, Amos Kalami pun menghendaki adanya pelatihan-pelatihan yang berkelanjutan. Terutama pengembangan pengetahuan dan kemampuan, seperti pengelolaan kearifan lokal agar kemudian bernilai ekonomis dan menambah penghasilan mama-mama di kampung Malagufuk.

“Mama-mama perlu terus dilatih, dibimbing dan dibantu apa saja yang dibutuhkan dalam pengembangan ekowisata. Contohnya pengembangan Noken atau Koba-koba biasanya terlihat sederhana, dikemas lagi supaya lebih bagus dan kuat, sehingga nilai ekonomisnya bisa lebih tinggi. Itu akan mendorong pemberdayaan perempuan yang lebih baik karena kemampuannya terus berkembang,” tutur Amos berharap.

Jembatan kayu terpanjang di Indonesia yang ada di kampung Malagufuk, distrik Makbon, kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Jembatan ini telah diresmikan oleh bupati Jhony Kamuru pada 2 Juni 2021. (Maria Baru – Suara Papua)

Esau Kalami, salah satu tokoh masyarakat atau Tetua di kampung Malagufuk, menjelaskan, mula-mula kampung Malagufuk hanyalah sebuah dusun biasa. Sebelumnya, semua pemilik hak ulayat di kampung Malagufuk tinggal di kampung Malumkarta, distrik Makbon. Tetapi lantaran terjadi kesalahpahaman antar-keluarga, mereka memilih pindah tempat.

Baca Juga:  PMKRI Kecam Tindakan Biadap Oknum Anggota TNI Siksa Warga Sipil di Papua

Pada 2014, Malagufuk dimekarkan menjadi satu kampung tersendiri. Masyarakat bermigrasi ke Malagufuk. Beberapa waktu kemudian, wisatawan mulai datang untuk mengamati burung.

Sejak saat itulah wisatawan yang gemar birdwatching makin banyak dari tahun ke tahun, meski sempat berkurang drastis di masa pandemi Covid-19 antara tahun 2020 hingga 2022. Tetapi, sejak Januari 2023, jumlah turis pengamat burung kembali meningkat.

“Dulu di sini dusun saja. Semua masih hutan belantara,” Esau buka cerita saat ditemui di rumahnya.

“Kami semua dulu tinggal di Malumkarta, tetapi ada masalah keluarga, jadi kitong (baca: kami) bergeser ke Malagufuk sini.”

“Setelah buka perkampungan, ada turis asing datang. Lihat potensi burung di sini. Dia pulang dan saat itu tamu datang terus ke sini. Mulai dari tahun 2017 tamu ramai. Begitu ada korona, tamu kurang, tapi pas masuk tahun 2023 tamu ramai sekali,” jelasnya.

Bagi Esau Kalami, dengan ekowisata konservasi, warga masyarakat mendapat keuntungan. Hanya memang belum kecipratan rezeki, tetapi ekowisata dianggap salah satu tumpuan harapan masyarakat setempat.

“Dari ekowisata ini, kami ada uang sedikit. Bisa pakai beli minyak goreng, garam, vetsin, sabun, dan lebih ya bantu anak-anak untuk sekolah,” imbuh Esau.

Sejumlah turis saat aktivitas birdwatching di salah satu hutan kampung Malagufuk, distrik Makbon, kabupaten Sorong. (Dok. Nimbrod Kalami – SP)

Berbeda dengan data dari Torianus Kalami, yang mencatat ekowisata Malagufuk belum banyak memberikan pendapatan bagi mama-mama.

Torianus Kalami, salah satu intelektual muda dari suku Moi Kelim. Ia cukup lama berkecimpung di dunia lingkungan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Sorong.

Torianus akui pendapatan mama-mama hanya dari jasa masak, membersihkan homestay, dan mencuci. Sedangkan hasil pertanian, belum mampu menopang perekonomian dan pangan sehari-hari dalam rumah tangga karena mereka hanya berkebun di sekitar pekarangan rumah.

Itu sebabnya, kata Torianus, perlu ada sinergitas dalam mendorong konsep baru bersama antara pemerintah dan lembaga non-pemerintah untuk mengelola potensi lokal lainnya, selain pengamatan burung.

Contohnya, Torianus sebutkan, pengembangan daun pandan menjadi Koba-koba dan Noken.

Koba-koba adalah payung tradisional yang biasanya dijahit dengan bahan dasar daun pandan.

Masyarakat kampung memanfaatkan daun pandan dan dianyam menjadi Noken. Itu bisa menjadi satu suvenir khas dari kampung Malagufuk.

Kata Torianus, jika buat Noken dari bahan kulit kayu, jelas tiap hari mama-mama akan tebang pohon. Apalagi kalau permintaan pasar tinggi. Sedangkan, jenis kayu tersebut tumbuh sendiri di hutan sekunder. Belum ada usaha budidaya.

“Memang pendapatan mama-mama masih kecil, karena hanya dari masak, cuci, dan cleaning service di homestay. Itu saja,” ujarnya.

“Pertanian belum memberi pendapatan dan mencukupi pangan dalam keluarga karena hanya bisa ditanam di sekitar pekarangan rumah. Jadi, selain pengamatan burung, memang harus ada konsep baru yang didorong oleh pemerintah daerah dan non-pemerintah untuk kembangkan ekonomi dan berdayakan mama-mama di kampung ini [Malagufuk],” Torianus memberi saran.

Hanya dengan begitu, diyakini, kaum perempuan di kampung Malagufuk bisa eksis menghidupi rumah tangga dan kian berdaya menggapai impian mereka seiring adanya pengembangan ekowisata. []

Reportase ini merupakan bagian dari program Journalist Fellowship bersama Konde.co didukung Earth Journalism Network (EJN)

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP Himbau Rakyat Papua Peringati 1 Mei Dengan Aksi Serentak

0
“ULMWP sebagai wadah koordinatif gerakan rakyat, siap bertanggung jawab penuh atas semua rangkaian aksi yang dilakukan dalam bentuk apa pun di hadapkan kolonialisme Indonesia dan dunia Internasional.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.