PTUN Jakarta Tolak Gugatan Dua Perusahaan Sawit, Suku Awyu Gembira

0
1026
Aksi gugatan masyarakat adat suku Awyu di PTUN Jakarta, 9 Mei 2023. (Dok. Greenpeace Indonesia)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Kabar gembira bagi masyarakat adat Papua ketika Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan menolak gugatan dari dua perusahaan sawit di wilayah provinsi Papua Selatan.

Putusan perkara nomor 82/G/2023/PTUN.JKT, dan 87/G/2023/PTUN.JKT, yang didaftarkan pada Maret 2023, dibacakan Majelis Hakim PTUN Jakarta melalui persidangan secara elektronik (e-court) pada hari Selasa (5/9/2023).

Keduanya merupakan perkara gugatan perusahaan kelapa sawit PT Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT Kartika Cipta Pratama (KCP), yang diduga anak perusahaan Hayel Saeed Anam (HAS) Group, perusahaan modal asing asal Yaman, yang beroperasi di daerah Kali Digoel, distrik Jair, distrik Mandobo, hingga daerah Kali Mappi, distrik Fofi, kabupaten Boven Digoel, provinsi Papua Selatan (sekarang).

Dalam Pokok Perkara, Majelis Hakim PTUN Jakarta menyatakan: 1. Menolak Gugatan Penggugat (PT MJR dan PT KCP) dan Penggugat II Intervensi (atas nama Koperasi Yefioho Dohona Ahawang) seluruhnya; 2. Menghukum Penggugat dan Penggugat II Intervensi secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 332.000 (tiga ratus tiga puluh dua ribu rupiah).

Aksi gugatan masyarakat adat suku Awyu di PTUN Jakarta, 9 Mei 2023. (Dok. Greenpeace Indonesia)

Awal perkaranya, perusahaan PT MJR dan PT KCP menggugat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI Nomor SK.1150/MENLHK.SETJEN/PLA.2/11/2022 dan SK.1157/MENLHK.SETJEN/PLA.2/11/2022, tertanggal 14 November 2022, tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan, masing-masing mengatasnamakan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama.

ads

Perusahaan tersebut memperkarakan putusan Menteri LHK terkait antara lain penetapan komitmen tambahan yang wajib dipenuhi seperti tidak melakukan pembukaan lahan berhutan di dalam areal pelepasannya untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit. Putusan ini dianggap merugikan perusahaan.

Eksepsi jawaban KLHK atas perkara ini antara lain bahwa keputusan yang menjadi objek sengketa merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden RI dan penambahan komitmen sudah sesuai dengan ketentuan untuk mengurangi dan mengendalikan deforestasi. Dalam proses evaluasi ditemukan juga fakta bahwa perusahaan tidak mengusahakan lahan secara maksimal, tidak ada kontrak penjualan, tidak ada suplai untuk pengolahan kelapa sawit, tidak ada laporan produksi, dan belum ada kegiatan pemanenan.

Saksi Ahli Dr. Totok Dwi Diantoro, dosen Fakultas Hukum UGM, yang dihadirkan Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua, dalam persidangan PTUN Jakarta, menyatakan bahwa penertiban kawasan hutan tidak mencabut pelepasan kawasan hutan hanya merubah jenis usahanya, hal itu tidak akan berkait dengan pelepasan kawasan hutan, karena itu tidak mengubah apa yang sudah dilepas.

Baca Juga:  Freeport Indonesia Bangun Jembatan Hubungkan Kampung Banti 2 dan Banti 1

Penertiban dalam konteks ini boleh jadi dimasukkan ke dalam kerangka menertibkan karena melihat ada ketidakefektifan izin yang sudah diberikan, kemudian negara atau pemerintah memberikan sikap dengan mendorong upaya upaya menjadi jenis usaha yang tadinya diharapkan oleh penerima izin.

Dalam perkara ini, masyarakat adat Awyu asal Boven Digoel, pemilik tanah dan hutan adat, yang menjadi sasaran dan objek sengketa bersikap dengan mengajukan permohonan gugatan sebagai Tergugat Intervensi.

Pada Mei 2023, perwakilan masyarakat adat dan pemimpin marga dari Suku Awyu, yang berdiam di beberapa kampung di wilayah kabupaten Boven Digoel, yakni Gergorius Yame, Fidelis Misa, Barbara Mukri, Paskalis Mukri, Maximus Nawisi, dan Adolfina Sifi, menyampaikan permohonan sebagai intervensi melawan gugatan yang diajukan perusahaan melalui PTUN Jakarta.

Mereka memohon kepada Majelis Hakim PTUN Jakarta agar diterima menjadi pihak intervensi dengan kemauan sendiri untuk mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya mereka tidak dirugikan oleh putusan pengadilan.

Gregorius Yame berpendapat, tindakan Menteri LHK menerbitkan putusan pencabutan dan pembatasan izin akan dapat memulihkan hak dan kepentingan masyarakat adat terdampak perusahaan ini. Sebaliknya bila permohonan perusahaan diterima, maka akan merugikan hak dan kepentingan masyarakat, termasuk perempuan adat.

Masyarakat adat menurut Gregorius, sebagaimana siaran pers Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua, akan kehilangan wilayah hak ulayat berupa hutan dan tanah, kehilangan ruang kehidupan, menghilangkan keanekaragaman hayati di lokasi dan menghilangkan tempat keramat dan tempat penting berdasarkan pengetahuan dan keyakinan masyarakat adat.

Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua mengajukan permohonan intervensi di PTUN Jakarta, 9 Mei 2023 (Ist)

Berbagai organisasi masyarakat sipil, organisasi pemuda dan mahasiswa di Tanah Papua dan di luar Pulau Papua, berkomitmen untuk mengawal gugatan masyarakat adat Awyu terhadap perusahaan di PTUN Jakarta dan terhadap pemerintah di PTUN Jayapura, sebagai gugatan masyarakat adat, gugatan lingkungan hidup, untuk keselamatan manusia dan bumi.

Pada perayaan Hari Masyarakat Adat Internasional di Jayapura, 12 Agustus 2023, pemuda adat dan pelajar mahasiswa, menyatakan mendukung upaya penyelamatan hutan adat Papua yang kini sedang terancam dengan hadirnya investasi berbasis lahan dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada keberlangsungan dan keberlanjutan hutan adat Papua.

Baca Juga:  Media Sangat Penting, Beginilah Tembakan Pertama Asosiasi Wartawan Papua

“Kawal sampai menang,” seruan berbagai organisasi masyarakat sipil, organisasi pemuda dan mahasiswa sehubungan dengan gugatan masyarakat adat Awyu terhadap perusahaan di pengadilan.

Kemenangan Masyarakat Adat Awyu

Putusan PTUN Jakarta menolak gugatan dua perusahaan sawit terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu disambut gembira pejuang lingkungan hidup sekaligus pemilik tanah adat dari suku Awyu.

Putusan yang memenangkan Menteri LHK (tergugat) dan masyarakat adat suku Awyu (tergugat intervensi) diumumkan lewat sistem e-court Mahkamah Agung pada Selasa (5/9/2023).

Putusan ini menyelamatkan 65.415 hektare hutan hujan asli dari konsesi PT MJR dan PT KCP. Perusahaan tidak boleh melakukan deforestasi dalam area tersebut dan hanya boleh menjalankan bisnis dalam 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat yang telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi.

“Ini putusan yang kami tunggu-tunggu. Cukup sudah, perusahaan jangan ganggu hutan dan tanah adat. Ko (perusahaan) mau bikin apa lagi di tanah adat kami? Patuhi sudah putusan ini dan biarkan kami rawat sendiri tanah adat kami,” ujar Gregorius Yame, salah satu dari enam masyarakat Awyu yang menjadi tergugat intervensi dalam perkara tersebut.

“Dengan gugatan ini, semoga KLHK tahu kalau perusahaan trada niat baik dan segera cabut sepenuhnya izin PT MJR dan PT KCP,” ujarnya.

Lanjut Gregorius, “Harapannya kami bisa dapatkan hutan adat lagi, biar bisa kami kelola untuk anak cucu suku Awyu.”

Aksi masyarakat adat Awyu, aktivis dan mahasiswa di depan PTUN Jayapura, Kamis (6/7/2023). (Dok. Pusaka)

PT MJR dan PT KCP mendaftarkan gugatan mereka ke PTUN Jakarta pada 10 Maret dan 15 Maret lalu. Lewat gugatan itu, kedua perusahaan mempersoalkan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang penertiban dan penataan izin pelepasan kawasan hutan, yang isinya antara lain mensyaratkan agar tidak melakukan pembukaan lahan berhutan untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit.

Adapun Gregorius Yame dan lima orang masyarakat adat Awyu lainnya mengajukan diri sebagai tergugat intervensi pada 9 Mei 2023. Dalam persidangan yang bergulir, masyarakat Awyu dan kuasa hukumnya berjuang menghadirkan bukti-bukti, saksi, hingga ahli, untuk mendukung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghadapi gugatan PT MJR dan PT KCP.

Baca Juga:  Hindari Jatuhnya Korban, JDP Minta Jokowi Keluarkan Perpres Penyelesaian Konflik di Tanah Papua

“Dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi, masyarakat adat suku Awyu telah berdiri bersama pemerintah dan membantu Menteri LHK memenangkan gugatan ini. Sekarang saatnya bagi Menteri LHK Ibu Siti Nurbaya dan koleganya di pemerintahan, baik di tingkat nasional maupun lokal, untuk mempercepat pengakuan hak atas tanah adat suku Awyu,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum masyarakat Awyu.

Lanjut Sekar, “Masyarakat adat Awyu berhak untuk melindungi dan mengelola hutan adat mereka sendiri, demi penghidupan sehari-hari dan masa depan mereka.”

Permohonan intervensi tersebut merupakan bagian dari perjuangan masyarakat suku Awyu untuk mempertahankan hutan adat mereka dari perampasan oleh perusahaan kelapa sawit, satu pola yang banyak terjadi di Tanah Papua, merujuk laporan Greenpeace Internasional ‘Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua’.

Selain di PTUN Jakarta, upaya litigasi untuk mempertahankan hutan adat juga ditempuh masyarakat Awyu di PTUN Jayapura.

Kuasa hukum pengugat dari marga Woro dan suku Awyu, tampak berdiri di hadapan hakim usai sidang, Kamis (27/7/2023). (Supplied for SP)

Pada 13 Maret lalu, Hendrikus ‘Franky’ Woro, pejuang lingkungan hidup dan pemimpin marga Woro, bagian dari suku Awyu, menggugat izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan pemerintah provinsi Papua untuk perusahaan sawit lainnya, PT Indo Asiana Lestari (IAL).

Hingga kini proses persidangan gugatan tersebut masih berlanjut.

“Jarang sekali kami dapat berita baik, jadi kami berharap masih bisa dapat kabar baik dari gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim di Jayapura. Semoga di PTUN Jayapura menang lagi,” ujar Woro.

Tigor Gemdita Hutapea, anggota tim kuasa hukum masyarakat Awyu, menyatakan, perkara-perkara gugatan dan serangkaian persidangan ini makin membuktikan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus segera mengakui hutan adat.

Kata Hutapea, pengakuan hutan adat sangat penting untuk menjauhkan komunitas adat dari konflik dengan perusahaan yang merampas ruang hidup mereka.

“Dari persidangan ini, KLHK mestinya belajar bahwa Papua bukan tanah kosong. Tidak ada alasan menunda lagi, segera akui hutan adat!,” tegasnya.

Masyarakat adat Awyu, aktivis dan mahasiswa ketika gelar aksi di depan PTUN Jayapura, Kamis (6/7/2023). (Dok. Pusaka)

Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua yang terlibat dalam perjuangan ini antara lain Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia, dan lainnya. []

Artikel sebelumnyaTanpa BPJS dan APD, Upah Petugas Kebersihan Dibayar Seenaknya
Artikel berikutnyaGawat! Ratusan Anak Papua di Kota Sorong Terancam Putus Sekolah