Tanah PapuaDomberaiHutan Desa di Wilayah Adat Menghilangkan Hak Masyarakat Adat

Hutan Desa di Wilayah Adat Menghilangkan Hak Masyarakat Adat

SORONG, SUARAPAPUA.com — Sem Vani Ulimpa, Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (DAMANAS) Region Papua, menegaskan, selain investasi, program skema hutan desa (HD) yang ditawarkan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mengancam eksistensi masyarakat adat.

Ulimpa menyatakan, konstitusi mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat adat dengan batasan tertentu, bahwa diakui sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara yang diatur dengan undang-undang.

“Praktiknya, seringkali terjadi pengabaian atas hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah dan hutan adat, hak dan otoritas kelembagaan, hukum dan pengetahuan adat dalam pengelolaan tanah dan hutan adat,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima suarapapua.com, Sabtu (16/9/2023).

Diuraikan, ketiadaan perlindungan hukum dan lemahnya penegakan hukum dalam pemenuhan dan penghormatan hak masyarakat ini disebut sebagai kehampaan hak dalam jangka panjang dapat menghilangkan hak hidup masyarakat adat.

“Kehampaan hak terjadi karena hambatan struktural, misalnya politik hukum bersyarat yang terkadang subjektif ditentukan oleh kepentingan kekuasaan, pelemahan hukum dan prosedural membuat hak warga tidak efektif. Sebaliknya, sebagian kecil kelompok orang dan atau badan usaha difasilitasi negara memperoleh hak dan izin usaha pengelolaan dan bisnis ekstraktif pemanfaatan hasil hutan yang notabene berada di wilayah adat,” beber Ulimpa.

Baca Juga:  Dukung ULMWP, Posisi Indonesia di MSG Tidak Mewakili Rakyat Papua
Surat penolakan hutan desa oleh beberapa marga di kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya. (Sceenshot – SP)

Mantan ketua AMAN Malamoi itu mengakui kabupaten Sorong dan Tambrauw, provinsi Papua Barat Daya, yang secara de facto didiami oleh masyarakat adat dan hidup di wilayah adat, justru belum mendapatkan pengakuan hak dari kelembagaan negara.

“Pemerintah telah menerbitkan peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum  adat, namun dapat dihitung dengan jari surat keputusan yang menetapkan hak-hak masyarakat adat, hak atas tanah dan hutan adat, hak untuk melakukan pengadilan adat dan hukum adat, dan sebagainya. Sebaliknya, pemerintah menerbitkan izin baru untuk usaha perkebunan kelapa sawit dan pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu di wilayah adat, termasuk hutan desa,” tuturnya.

Ulimpa menegaskan, dalam konsep hukum adat di kabupaten Sorong dan Tambrauw, desa atau kampung tidak mempunyai hak atas hutan dan tanah. Marga adalah pemegang hak atas sebuah wilayah tertentu.

“Desa atau kampung itu hadir hanya untuk mengadministrasikan, mengorganisasikan, mengelompokkan masyarakat kampung masuk dalam sistem negara pemerintahan agar dana desa dan program pembangunan dari daerah dan pusat itu sampai ke tangan masyarakat kampung.”

Baca Juga:  Papuan Culture Event Bertajuk KPCTLE di Sorong Sukses Digelar

Lanjut dijelaskan, situasi ketidakadilan ini menimbulkan reaksi dan aksi-aksi perlawanan dari masyarakat adat secara sederhana, diam-diam dan tersembunyi, hingga terbuka.yang mana diketahui masyarakat adat dari marga Hae, Bofra, Momo, Irun, di distrik Miyah Selatan, Miyah dan Fef, di kabupaten Tambrauw, telah bereaksi menolak atas rencana dan pemberian status hutan desa (HD) di wilayah adat mereka yang diinisiasi oleh organisasi Flora Fauna Internasional dan CDK Kehutanan Tambrauw.

“Dalam kasus ini, pemerintah memberikan status hutan desa dan belum menetapkan status hutan adat yang dapat melindungi hak masyarakat adat. Terlepas dari status tersebut, pengelolaan dan pemanfaatan HD ini dikaitkan dengan kepentingan organisasi lingkungan yang diduga untuk bisnis komersial pemanfaatan jasa lingkungan,” ujarnya.

Kata Ulimpa, masyarakat adat mengirimkan surat pernyataan pembatalan dan penolakan pengusulan hutan desa yang dianggap akan menghilangkan hak hukum masyarakat adat atas wilayah adat. Alasan lainnya, masyarakat adat belum membicarakan tata batas antara kampung dan batas antara marga yang berpotensi terjadi konflik ruang.

Baca Juga:  Protes New York Agreement dan Rasisme, Begini Pernyataan KNPB

“Pemberian HD yang dipaksakan berarti melanggar hak masyarakat adat. Semestinya pemberian hak kelola atas hutan desa harus meminta izin dan mendapatkan restu dari masyarakat adat. Masyarakat adat yang memeriksa, memverifikasi dan memutuskan pemberian hak kelola hutan desa, bukan sebaliknya negara atau pemerintah yang memberikan izin kelola dengan jangka waktu 35 tahun,” tegas Ulimpa.

Sementara itu, Soter Hae, koordinator perkumpulan Aka Woun, dihubungi suarapapua.com melalui telepon seluler, membenarkan adanya penolakan hutan desa.

Kata Soter, berdasarkan informasi yang dihimpun, alasan utama karena takut kehilangan wilayah adat mereka.

“Awalnya masyarakat hanya diberikan informasi soal dampak baik dari skema hutan desa dari salah satu NGO dan instasi terkait. Tetapi setelah masyarakat mengetahui dampak buruk dari hutan desa, masyarakat langsung menolak skema hutan desa demi mempertahankan wilayah adat mereka,” jelas Hae.

Sikap masyarakat adat, katanya telah dibuat dalam sebuah surat yang ditandatangani beberapa marga.

“Surat penolakan sudah ditandatangani oleh beberapa marga, dan dalam waktu ini akan diserahkan ke pemerintah kabupaten Tambrauw,” kata Soter. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Tim Pokjanal Dibentuk, Tingkatkan Pelayanan Posyandu Distrik dan Kampung

0
“Contohnya seperti imunisasi itu masyarakat yang kerjakan, seperti menimbang, memberi makan, serta penyuluhan karena mereka punya pengetahuan,” kata Khairul Lie kepada wartawan di kota Sentani, Senin (2/10/2023)

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.

error: Content is protected !!