SORONG, SUARAPAPUA.com— Pemilik hak ulayat bersama masyarakat di kampung Esahae, distrik Miyah Selatan Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya melakukan pemalangan jalan trans Manokwari – Sorong.
Petrus Sedik, tua marga Sewia mengatakan pemalangan itu dilakukan karena PT. Volica sebagai pemenang tender telah melanggar kesepakatan bersama yang mana telah ditandatangani pada 13 April 2023 oleh pihak masyarakat adat pemilik ulayat dan PT. Kuyace Karya Membangun sebagai kontraktor pelaksana.
“Dari awal memang kami masyarakat sudah tidak setuju dan menolak jalan trans Papua Barat ini dikerjakan PT. Volica. Karena manajemennya kurang baik. Pada bulan Mei 2023 pertama dan kedua antara masyarakat dan pihak perusahaan ditolak oleh masyarakat sampai pada pertemuan ke -3 pada 13 April itu baru adanya kesepakatan bersama,” jelas Petrus melalui saluran telepon dari Miyah kepada suarapapua.com, Selatan (19/9/2023).
Diceritakannya, dalam surat kesepakatan bersama itu telah disetujui bahwa hak-hak masyarakat adat pemilik hak ulayat harus dipenuhi sebelum pekerjaan dilakukan. Namun, faktanya pihak perusahaan tetap melanggar kesepakatan itu, sehingga pemilik hak ulayat melakukan pemalangan – tepatnya di kampung Esahae.
“Kami lakukan pemalangan karena pihak perusahaan sudah melanggar kesepakatan bersama. Saya juga sudah bertemu dengan Satker PUPR untuk menceritakan masalah ini,” ujarnya tanpa menjelaskan waktu kapan dilakukan pemalangan itu dilakukan.
Adu mulut dengan aparat keamanan
Pada tanggal 18 September 2023 pihak perusahaan mendatangkan beberapa aparat kepolisian dari Satuan Brimob dengan senjata lengkap membuka palang dan pihak perusahaan melanjutkan pekerjaan.
Petrus Hae menjelaskan sempat terjadi adu mulut antara masyarakat adat pemilik ulayat, pihak perusahaan dan aparat keamanan di lokasi pemalangan. Dirinya juga mengakui kalau mendapatkan ancaman dari pihak aparat keamanan yang didatangkan perusahaan.
“Kami sempat ribut karena tidak terima palang ini dibuka secara paksa. Bahkan ada oknum anggota polisi [Brimob] yang mengatakan kalau mau urus hak masyarakat adat itu dengan kami [aparat],” katanya meniru pernyataan yang dilontarkan oknum anggota tersebut.
Dirinya mengaku meninggalkan lokasi pemalangan karena takut adanya jatuh korban, apalagi berhadapan dengan aparat yang bersenjata.
Ia juga mempertanyakan pernyataan oknum anggota yang akan menyelesaikan masalah hak mereka. Katanya, “anggota tersebut memiliki uang untuk menyelesaikan hak-hak kami?”
“Kami terpaksa harus pulang. Aparat gunakan senjata mengancam kami. Kami hanya masyarakat biasa. Pekerjaan terus dikerjakan, meskipun telah melanggar kesepakatan bersama,” keluhnya.
Senada disampaikan Boni, warga masyarakat kampung Esahae, di mana ia mengatakan bahwa permasalahan tersebut akan disampaikan kepada pihak Pemerintah Kabupaten Tambrauw.
“Kami akan datangi Pemda Tambrauw guna memanggil pihak perusahaan, agar hak-hak kami yang telah disepakati bersama dapat diselesaikan,” ujarnya.
Ia berharap pihak perusahaan dapat menghormati masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat, sehingga tidak terjadi konflik berkepanjangan.
“Kami punya tanah, kami pemilik hak ulayat. Kalau tidak mau ada palang memalang, maka perusahaan juga harus menghormati kami,” pungkasnya.