Tanah PapuaDomberaiKLHK RI Didesak Kukuhkan 10 Hutan Adat di Tanah Papua

KLHK RI Didesak Kukuhkan 10 Hutan Adat di Tanah Papua

SORONG, SUARAPAPUA.com — Pemimpin masyarakat adat suku Wambon Kenemopte dan Afsya mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengukuhkan 10 hutan adat, sembilan di kabupaten Boven Digoel, provinsi Papua Selatan, dan satu lagi di kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya.

Rabu (20/9/2023) pagi, mama Regina bersama 18 orang lainnya, terdiri dari perwakilan serta pemimpin masyarakat adat dari berbagai suku di Papua, termasuk suku Afsya, kabupaten Sorong Selatan, suku Moi Kelim, kabupaten Sorong, suku Wambon Kenemopte, distrik Subur dan distrik Jair, serta suku Awyu, kabupaten Boven Digoel, pemimpin organisasi pemuda adat Sorong dan perempuan adat Namblong Jayapura, serta Yayasan Pusaka Bentala Rakyat berkumpul untuk berdialog dengan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) di ruang pertemuan PSKL KLHK, Manggala Wanabakti, Jakarta.

Dalam acara dialog, perwakilan dan pemimpin dari berbagai marga dan suku dengan penuh kesungguhan menyampaikan surat permohonan resmi untuk menuntut pengakuan 10 hutan adat. Surat tersebut dilengkapi dengan sejumlah dokumen yang penting, seperti sejarah panjang masyarakat adat, pemahaman mendalam tentang kepemilikan dan penguasaan lahan, serta silsilah turun-temurun.

Tidak hanya itu, mereka juga memberikan gambaran komprehensif mengenai wilayah adat yang mereka klaim, dengan peta adat yang menggambarkan batas wilayah dengan jelas. Semua ini ditopang oleh struktur kelembagaan adat yang mengatur kehidupan sosial mereka, serta berita acara kesepakatan mengenai batas wilayah adat yang menjadi bukti komitmen mereka.

Dokumen peraturan daerah (Perda) yang mendukung pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat juga disertakan sebagai landasan hukum yang kuat.

Direktorat Jendral Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan saat berdialog dengan perwakilan masyarakat adat di ruang pertemuan PSKL KLHK, Manggala Wanabakti, Jakarta, Rabu (20/9/2023). (Dok. Pusaka for SP)

Dalam dialog tersebut, mereka meminta pengukuhan dan pengakuan 10 wilayah adat, satu di kabupaten Sorong Selatan dan sembilan di kabupaten Boven Digoel.

Adapun hutan adat dari 10 marga sebagai berikut:

  1. Sub suku Afsya di distrik Konda, kabupaten Sorong Selatan
  2. Marga Kinggo Kambenap, suku Wambon Kenemopte, distrik Jair, seluas 5.100 hektar
  3. Marga Tenggare, suku Wambon Kenemopte, distrik Jair, seluas 3.000 hektar
  4. Marga Aute, suku Wambon Kenemopte, distrik Subur, seluas 15.343 ha
  5. Marga Kanduga, suku Wambon Kenemopte, distrik Subur, seluas 14.105 ha
  6. Marga Ekoki di kampung Aiwat, suku Wambon Kenemopte, distrik Subur, seluas 61.304 ha
  7. Marga Ekoki di kampung Subur, suku Wambon Kenemopte, distrik Subur, seluas 41.222 ha
  8. Marga Kemi, suku Wambon Kenemopte, distrik Subur, seluas 48.901 ha
  9. Marga Eninggugop, suku Wambon Kenemopte, distrik Subur, seluas 30.228 ha
  10. Marga Wauk, suku Wambon Kenemopte, distrik Subur, seluas 20.149 ha.
Baca Juga:  Festival Angkat Sampah di Lembah Emereuw, Bentuk Kritik Terhadap Pemerintah

“Bapak, kami mohon untuk disegerakan penetapan hutan adat di wilayah adat kami. Wilayah adat kami sempit. Kami menolak perusahaan yang mendapat izin dari KLHK,” ujar Johanis Meres, salah satu tokoh masyarakat adat Afsya saat serahkan surat dan dokumen usulan hutan adat kepada direktur PKTHA.

Regina Bay, salah satu perempuan adat dari Lembah Grime Nawa yang kecewa terhadap sikap pemerintah yang hanya memberikan pengakuan kosong saat kongres Aman di Jayapura tahun 2022, mengungkapkan, hutan adatnya tanpa ada perlindungan keberlanjutan serta hak-hak mereka diabaikan.

Masyarakat adat di Lembah Grime Nawa, kata Regina, juga kehilangan akses air bersih dan pangan.

“Kami hanya melihat pengakuan hutan adat saat kongres AMAN, namun setelah itu, kami merasa ditinggalkan. Hak-hak kami diabaikan, hutan adat kami dijarah dan digusur tanpa ampun. Kami bahkan menghadapi kesulitan mendapatkan air bersih dan menderita kelaparan. Lebih buruk lagi, konflik antara masyarakat pro dan kontra dengan perusahaan terus memanas,” tutur Regina Bay penuh kekecewaan.

Baca Juga:  Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di PBD Belum Diterapkan

Sementara, Irene Thesia, perempuan adat Tehit, dari kabupaten Sorong, mengatakan, menyambut baik komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan evaluasi perizinan usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam di Tanah Papua.

KLHK telah mengeluarkan SK.01/MENLHK/KUM.1/1/2022 yang mencabut sekitar 55 izin perkebunan pengusaha hasil hutan, dan hutan tanaman industri di Papua. Namun, Irene tegaskan, langkah-langkah untuk menerbitkan perizinan tersebut belum diikuti oleh upaya konkret dalam pemulihan dan pengembalian hak-hak masyarakat adat Papua yang sebelumnya telah dialihkan secara paksa dan tanpa mendapatkan persetujuan bebas dari masyarakat adat.

“Kami menyambut baik komitmen pemerintah nasional dan daerah untuk melakukan evaluasi perizinan usaha pemanfaatan sumber daya alam. Menteri Lingkungan Hidup telah menerbitkan SK.01/MENLHK/KUM.1/1/2022 tentang pencabutan izin konsesi kawasan hutan dan mencabut sekitar 55 izin usaha perkebunan, pengusahaan hasil hutan dan hutan tanaman industri di Papua. Namun, upaya penertiban perizinan belum diikuti dengan pemulihan dan pengembalian hak masyarakat adat Papua yang dialihkan secara paksa dan diambil tanpa persetujuan bebas masyarakat adat,” beber Irene.

Setelah berdialog di ruang pertemuan PSKL KLHK, Manggala Wanabakti, Jakarta, Rabu (20/9/2023). (Dok. Pusaka for SP)

Franky Samperante, pimpinan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, dalam rilisnya menyebutkan perkiraan total kawasan hutan yang telah dialihkan kepada 59 perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) seluas 2.061.538 hektar.

Dijelaskan, hutan yang hilang dan telah dibuka untuk untuk bisnis perkebunan dan HTI seluas 120.255 hektar, maka kawasan hutan pada areal konsesi yang masih tersisa seluas 1.948.283 hektar. Kawasan hutan dimaksud berada dalam wilayah adat dan masih dalam penguasaan masyarakat adat.

Lanjut Franky, dalam konteks restitusi hak asasi manusia, idealnya hak masyarakat adat yang hilang, yang dirampas, dan mengakibatkan penderitaan dan kerugian, seharusnya pemerintah mengembalikan dan memulihkan kerugian masyarakat adat. Semua peserta menyambut dan bersuara meminta dan menuntut pemerintah agar hutan adat segera dikembalikan, kuasa, pengelolaan dan pemanfaatannya oleh masyarakat adat.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Karena itu, Julian Kareth, perwakilan perempuan, dalam permintaannya, menyatakan, mereka meminta tanah dan hutan adat yang sebelumnya merupakan konsesi perusahaan, yang telah dikuasai oleh perusahaan tanpa persetujuan dan kesepakatan bersama masyarakat, untuk dikembalikan kepada masyarakat.

Ditegaskan, mereka berkeinginan untuk mengelola hutan adat tersebut sendiri.

“Kami meminta tanah dan hutan adat bekas konsesi perusahaan, yang dikuasai perusahaan tanpa persetujuan kesepakatan dengan masyarakat untuk dikembalikan kepada masyarakat. Kami akan kelola sendiri hutan adat,” ujar Kareth.

Yayasan Pusaka melaporkan, di tahun tahun 2022 lalu, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan tujuh hutan adat di Papua, terdiri dari enam surat keputusan (SK) hutan adat di kabupaten Jayapura, atas nama marga Syuglue Woi Yonsu seluas 14.602,96 hektar, Yano Akura seluas 2.177,18 hektar, Yano Meyu seluas 411,15 hektar, Yosu Desoyo seluas 3.392,97 hektar, Yano Wai seluas 2.593,74 hektar, dan Takwobleng seluas 404,9 hektar, lainnya marga Ogoney di kabupaten Teluk Bintuni seluas 16.299 hektar.

SK hutan adat di Papua yang pertama kali semenjak adanya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012 bahwa hutan adat bukan hutan negara.

Berpose dari depan kantor KLHK RI, Rabu (20/9/2023). (Dok. Pusaka for SP)

Diketahui, dialog tersebut dipimpin sekretaris Ditjen PSKL, Mahfudz MP, dan menghadirkan direktur Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), Ir. Muhammad Said, dan kepala Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal, Yuli Prasetyo Nugroho, berlangsung hangat dan membahas isu permasalahan dampak dari aktivitas perusahaan terhadap masyarakat adat dan lingkungan.

Direktur PKTHA menjelaskan, pemerintah sedang memproses 50 usulan hutan adat dan menjadi prioritas untuk ditetapkan pada 2023, diantaranya ada delapan lokasi hutan adat di Papua. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Partai Demokrat se-Papua Tengah Jaring Bakal Calon Kepala Daerah Jelang Pilkada...

0
Grace Ludiana Boikawai, kepala Bappiluda Partai Demokrat provinsi Papua Tengah, menambahkan, informasi teknis lainnya akan disampaikan panitia dan pengurus partai Demokrat di sekretariat pendaftaran masing-masing tingkatan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.