PolhukamDemokrasiSistem Oligarki di Tanah Papua Harus Dihancurkan

Sistem Oligarki di Tanah Papua Harus Dihancurkan

SORONG, SUARAPAPUA.com — Samuel Moifilit, juru kampanye Selamatkan Manusia, Tanah dan Hutan Malamoi meyakini sejumlah konflik berkepanjangan yang terus terjadi di Tanah Papua sejak 1963 hingga 2023 akibat adanya perampasan tanah, hutan dan sumber daya alam (SDA) Papua oleh para kelompok oligarki.

Hampir seluruh urat nadi negeri ini sedang dikuasai kaum oligarki secara tersistematis. Oligarki merupakan bentuk kekuatan ekonomi dan struktur kekuasaan politik yang secara efektif dipegang kelompok kecil atau segelintir orang dari masyarakat.

“Mereka adalah orang-orang, keluarga, kelompok politik dan ekonomi yang saling berhubungan satu sama lain atas dasar kepentingan ekonomi politik. Oligarki sebagai sebuah struktur kekuasaan yang mengekspresikan fusi dari kekuatan atau kepentingan politikal birokrasi dan ekonomi,” ujar Samuel Moifilit kepada suarapapua.com di Sorong, Minggu (8/10/2023).

Baca Juga:  Nomenklatur KKB Menjadi OPM, TNI Legitimasi Operasi Militer di Papua

Samuel mengungkapkan fakta hingga kini masyarakat adat di Tanah Papua terutama suku Moi di Sorong sejak tahun 1935 sudah merasakan perampasan tanah adat yang ditandai dengan kehadiran perusahaan Netherland New Guinea Petroleum Maskapai (NNGPM) melakukan pengeboran minyak bumi pertama kali di Tanah Papua.

Hingga kini, kata Moifilit, berlanjut dengan proyek strategis nasional (PSN) yaitu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong. Meski ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah nomor 31 tahun 2016, KEK Sorong baru diresmikan pada Oktober 2019 dengan total luas mencapai 523,7 hektare. Konon, pemerintah memproyeksikan KEK Sorong bisa menarik investasi senilai Rp 32,2 Triliun untuk pengembangan industri logistik, agro industri, pertambangan, hingga industri sagu.

Baca Juga:  Jokowi Didesak Pecat Aparat TNI yang Melakukan Penganiayaan Terhadap Warga Papua

“Sudah dimulai dari tahun 1935 dan sekarang dengan KEK Sorong merupakan ancaman bagi kami masyarakat adat suku Moi. Faktanya masyarakat adat suku Moi tidak ada yang sejahtera. Proyek KEK Sorong sejak awal hanya memperhatikan kepentingan investasi dan meminggirkan masyarakat adat, karena pemerintah pusat memberikan banyak kemudahan lewat beragam kebijakan pro investasi, terutama Undang-undang Cipta Kerja,” tutur Samuel.

Sementara itu, Amos Sumbung, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, dihubungi melalui WhatsApp menyatakan, sistem oligarki di Indonesia terselubung dari daerah hingga pusat, sehingga perlu dilawan bersama agar sistemnya bisa diputuskan.

“Oligarki Papua tetap terhubung dengan oligarki pusat. Tidak bisa dipisahkan, mereka menguasai partai, punya pengaruh di pemerintahan dan punya bisnis besar di segala sektor. Misalnya sektor kehutanan, perkebunan dan tambang,” kata Amos.

Baca Juga:  Polda Papua Diminta Evaluasi Penanganan Aksi Demo di Nabire

Dalam laporan Greenpeace Internasional berjudul “Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua”, diuraikan bagaimana proses perampasan tanah di Papua melalui pemberian izin.

“Beberapa aktor bisa dilihat di laporan kami, stop baku tipu soal izin-izin sektor kehutanan di Tanah Papua,” lanjutnya.

Greenpeace sebagai media kampanye, selain mengkampanyekan deforestasi di Papua, juga mendesak adanya transparansi dari pemerintah terkait izin-izin tersebut agar kelompok oligarki dihancurkan.

“Harus ada transparansi dari pemerintah, dari proses perizinan sampai membuka data bagi publik. Penting untuk melibatkan, mengakui serta menghormati keberadaan masyarakat adat. Kepentingan masyarakat umum (adat) yang diutamakan, bukan sekelompok orang yang masuk dalam jajaran oligarki,” pungkasnya. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.