ArtikelCatatan Aktivis PapuaPolitik Adu Domba Mulai Menguat di Era Otsus Jilid II

Politik Adu Domba Mulai Menguat di Era Otsus Jilid II

Hal ini terbukti pada proses penetapan anggota MRP hasil seleksi periode 2023-2028.

Oleh: Paskalis Kossay
*) Pemerhati masalah Papua

Memasuki era baru Otonomi Khusus di tanah Papua, perilaku politik dalam dinamika hidup orang asli Papua mulai berubah, yang lebih cenderung ke arah adu domba di antara sesama orang Papua sendiri. Hal ini terbukti pada proses penetapan anggota MRP hasil seleksi periode 2023-2028. Di mana ada sejumlah orang yang gagal dilantik karena namanya mendadak diganti oleh nama lain.

Proses pergantian nama lain tersebut terjadi di luar mekanisme formal sebagaimana diatur dalam PP No. 54/2004 dan Perdasi No 5/ 2023.

Hal ini bisa terjadi karena permainan politik adu domba diantara sesama orang Papua sendiri.

Menurut Marinus Yaung, politik adu domba (devide et impera) adalah hasil praktek politik Jakarta terhadap Papua sebagaimana dimuat di salah satu media lokal di Papua.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Pernyataan Marinus Yaung tersebut, merujuk dari gagalnya beberapa anggota MRP terpilih yang gagal dilantik pada 7 November 2023.

Mereka dituduh menolak Otsus kata Wamendagri John Wempi Wetipo saat dilakukan pelantikan anggota MRP baru periode 2023-2028 di Jayapura pada, Selasa (7/11/2023).

Kegagalan beberapa anggota MRP terpilih tersebut diduga adanya perebutan kekuasaan politik dengan ‘cara Papua tipu Papua’, Papua fitnah Papua dengan strategi kami merah putih, mereka bintang kejora (Marinus Yaung).

Mencermati dinamika politik dikalangan orang asli Papua dalam memasuki era Otsus jilid II ini, memang apa yang diasumsikan Marinus Yaung sedang terjadi diantara sesama orang asli Papua.

Saling fitnah memfitnah, saling membedakan antara suku, agama, antar kelompok dan antar wilayah adat sangat kencang dipraktekan oleh orang-orang Papua yang berpandangan pragmatis serta primordialistis.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Dinamika perilaku pragmatisme politik seperti ini akan tumbuh menjadi sebuah konstelasi politik baru di mana terjadi segmentasi politik yang menggerus nilai-nilai kesatuan di antara masyarakat asli Papua. Kesatuan masyarakat adat Papua akan terpecah belah berdasarkan batas wilayah adat, suku, agama dan golongan.

Jika terjadi demikian maka dampak lebih lanjut adalah eksistensi orang asli Papua semakin lama semakin tersisih dan menjadi minoritas di atas negerinya sendiri.

Itulah sebabnya maka, bapak Barnabas Suebu, tokoh bangsa Papua, dalam Sidang Raya Sinode GKI di Tanah Papua 2022 pernah menegaskan, “Orang Papua tetap satu” biarpun muncul banyak provinsi di tanah Papua, tetapi keberadaan orang Papua tetap satu. Karena itu Gereja GKI sudah menyatakan bahwa Sinode GKI hanya satu yaitu Sinode GKI di Tanah Papua.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Pandangan Barnabas Suebu, bapak bangsa Papua tersebut menganalisa jauh ke depan dampak buruk dari kehadiran banyak provinsi di tanah Papua ini. Buktinya, baru satu tahun usia provinsi baru, orang Papua sudah mulai cakar-cakaran, saling fitnah memfitnah antara sesama, membangun semangat primordialisme sempit berdasarkan batas wilayah adat, suku, agama dan kepentingan politik pragmatis.

Perilaku politik seperti ini sepertinya agak sulit dibendung, karena sudah dibatasi oleh ruang-ruang politik yang segmentarian oleh batas wilayah administrasi pemerintahan tingkat provinsi. Semangat provinsialisme akan tumbuh dan berkembang membentuk image dan persepsi politik kedaerahan. Akhirnya orang Papua ke depan hidup bagaikan tanpa identitas kepapuan yang jelas.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Forum Komunikasi Lintas Suku Asli Tambrauw mengingatkan pengurus partai politik di kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, untuk transparan dalam tahapan pendaftaran...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.