Tanah PapuaAnim HaMasyarakat Adat Awyu Sangat Kecewa Terhadap Putusan PTUN Jayapura

Masyarakat Adat Awyu Sangat Kecewa Terhadap Putusan PTUN Jayapura

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Semangat masyarakat adat Awyu menanti keadilan atas gugatan dari Hendrikus Woro, pimpinan marga Woro di kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, pupus dengan munculnya putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.

Majelis Hakim TUN dalam putusan pada Kamis (2/11/2023) lalu, menyatakan menolak gugatan masyarakat adat Awyu terhadap izin kelayakan lingkungan hidup dan perubahan iklim PT Indo Asiana Lestari (IAL) yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) provinsi Papua tahun 2021.

“Bapak Hendrikus Woro mendaftarkan gugatan di PTUN Jayapura sejak 13 Maret 2023. Masa persidangannya berlangsung selama tujuh bulan, sampai terakhir sidang pembacaan putusannya seperti begitu, memang sangat mengecewakan masyarakat adat Awyu. Padahal dalam persidangan sudah jelas banyak fakta kejanggalan terungkap terutama soal penerbitan izinnya, tetapi majelis hakim tidak perdulikan itu semua,” kata Anastasya Manong, aktivis Selamatkan Hutan Papua, Rabu (8/11/2023).

Lantaran putusannya sangat mengecewakan, masyarakat adat Awyu bersama mahasiswa dan berbagai kelompok solidaritas menurut Manong akan mendatangi PTUN Jayapura.

“Rencana besok kami akan aksi damai di halaman PTUN Jayapura. Kami sebagai generasi muda penentu masa depan tanah kami merasa ada ketidakadilan dan ini harus kami pertanyakan,” ujar Manong.

Tasya menambahkan, aksi damai besok bertujuan menyikapi putusan hakim yang jauh dari rasa keadilan karena akan kehilangan hutan adat milik masyarakat adat Awyu, khususnya marga Woro.

Baca Juga:  Media Sangat Penting, Beginilah Tembakan Pertama Asosiasi Wartawan Papua

Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Hutan dan Hak Masyarakat Adat (AMPERAMADA) Papua sejak awal hingga sidang pembacaan putusan terus mengawal gugatan dengan nomor perkara 6/G/LH/2023/PTUN.JPR tertanggal 13 Maret 2023 itu.

Sebelumnya, Hendrikus Woro mengaku sangat kesal terhadap putusan hakim tersebut. Masyarakat adat Awyu yang sedang berjuang mempertahankan hutan adatnya dari perusahaan kelapa sawit menyatakan putusan tersebut sebagai satu kabar sangat buruk bagi perlindungan hak-hak masyarakat adat, hutan Papua dan upaya melawan krisis iklim.

“Saya sedih dan kecewa sekali karena yang saya perjuangkan seperti sia-sia,” kata Woro.

Meski gugatannya ditolak majelis hakim, Hendrikus mengaku tak akan pernah mundur selangkahpun.

“Saya tidak akan pernah mundur. Saya akan terus maju. Saya siap mati demi tanah saya, karena itu yang tete nene leluhur wariskan untuk saya. Kalau hakim tidak percaya, terjun ke lapangan untuk lihat langsung,” ujarnya dengan tegas.

Woro juga mengaku berutang budi terhadap semangat solidaritas dari berbagai pihak yang sudah sangat peduli terhadap perjuangan masyarakat adat suku Awyu.

“Saya juga sedih karena teman-teman lain sudah luar biasa mendukung kami selama ini. Mereka tidak punya tanah di sini, tetapi mereka luangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk kami masyarakat adat Awyu. Sayangnya, hakim tidak melihat persoalan itu dengan benar dan tidak memutuskan dengan seadil-adilnya,” tutur Hendrikus.

Baca Juga:  Jawaban Anggota DPRP Saat Terima Aspirasi FMRPAM di Gapura Uncen

Selama tujuh bulan lamanya masa persidangan, Hendrikus Woro dan kuasa hukumnya telah menghadirkan 102 bukti surat, enam orang saksi fakta, dan tiga orang saksi ahli. Alat-alat bukti dan saksi dari pihak suku Awyu jelas menunjukkan kejanggalan dalam penerbitan izin PT IAL.

“Misalnya, penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat adat, adanya intimidasi terhadap masyarakat yang menolak perusahaan sawit, hingga tidak diakuinya keberadaan marga Woro dalam peta versi perusahaan,” jelas Tigor Gemdita Hutapea, salah satu tim kuasa hukum penggugat.

Menurut Tigor, putusan hakim tidak dapat mempertimbangkan prosedur penerbitan Amdal karena bukan bagian dari obyek sengketa dalam perkara ini yakni SK kepala Dinas PMPTSP Papua tentang izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL. Sedangkan Amdal merupakan lampiran dan dasar penerbitan obyek sengketa.

Tigor menyatakan, “Hakim keliru mempertimbangkan telah terjadi partisipasi bermakna hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) kabupaten Boven Digoel yang tidak jelas status hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat, tidak merepresentasikan masyarakat adat Awyu dan marga Woro, dan juga tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat. Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent) langsung dari masyarakat terdampak.”

Baca Juga:  Akomodir Aspirasi OAP Melalui John NR Gobai, Jokowi Revisi PP 96/2021

Lanjut ditegaskan, putusan tersebut juga tidak mengindahkan potensi dampak iklim jika PT IAL membuka kebun sawit dan melakukan deforestasi di hutan adat suku Awyu.

“Jika deforestasi itu terjadi, potensi emisi karbon yang lepas setidaknya sebesar 23 juta ton CO2. Ini akan menyumbang lima persen dari proyeksi tingkat emisi karbon Indonesia tahun 2030. Majelis hakim gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim, serta gagal memahami penerapan peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan hidup,” beber Hutapea.

Diberitakan media ini sebelumnya, pemimpin marga Woro, bagian dari suku Awyu, mengajukan gugatan ke PTUN Jayapura terkait dengan SK DPMPTSP Papua memberi izin kepada PT IAL dengan nomor 82 tahun 2021 tentang kelayakan lingkungan hidup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan berkapasitas 90 ton TBS/jam pada lahan seluas 36.096,4 hektare di distrik Fofi dan distrik Mandobo, kabupaten Boven Digoel, tertanggal 2 November 2021. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.