JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Victor Yeimo, pemimpin dan tokoh politik perjuangan kemerdekaan Papua Barat, baru saja dianugerahi penghargaan internasional “Voltaire Empty Chair Award”. Penghargaan internasional di bidang Human Rights itu diberikan Liberty Victoria, Australia, Jumat (10/11/2023).
Juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Petisi Rakyat Papua (PRP) itu, demikian libertyvictoria.org.au, mendapat penghargaan internasional atas perjuangan gigihnya terhadap HAM, kebebasan berbicara dan kebebasan sipil di Papua Barat.
Penghargaan internasional itu dimenangkan Victor Yeimo karena dianggap sebagai seorang pejuang yang sangat kuat atas kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia.
Tercatat perjuangan panjang telah dilalui Yeimo selama ini, bahkan hingga berulangkali ditangkap, dijebloskan ke sel polisi, dikenakan pasal makar, dan dalam kondisi tidak sehat menjalani proses persidangan. Ia sudah banyak kali keluar masuk penjara Indonesia.
Liberty Victoria adalah sebuah organisasi kebebasan sipil terlama di Australia yang selama tujuh tahun terakhir terus gencar memperluas hak-hak sipil dan asasi manusia di dunia.
Sejak didirikan tahun 2016, Penghargaan Kursi Kosong Voltaire diberikan kepada seseorang yang dianggap layak menerimanya meski terkadang tidak dapat hadir langsung akibat konsekuensi dari pembelaannya terhadap HAM, kebebasan berbicara atau kebebasan sipil.
Victor Yeimo, seorang aktivis pro-kemerdekaan dan pembela hak asasi manusia yang gigih, sempat masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) oleh pihak berwenang Indonesia sejak ia memimpin perlawanan sipil di Papua Barat. Sudah banyak kali ditangkap dan dipenjara. Tercatat tiga kali, pada Oktober 2009, Mei 2013, dan Mei 2021, karena menggunakan hak sipilnya dalam memimpin unjuk rasa damai.
Penangkapan dan pemenjaraan Victor Yeimo baru-baru ini adalah atas tuduhan makar karena memimpin protes damai terhadap diskriminasi rasial di Papua Barat pada tahun 2019. Yeimo ditempatkan di sebuah sel isolasi selama tiga bulan. Akses terhadap pengacara dan keluarga ditutup, bahkan akses medis juga. Kesehatannya sempat memburuk di sela-sela menjalani proses persidangan.
Setelah 28 bulan mendekam di penjara, Victor Yeimo akhirnya dibebaskan pada 23 September 2023.
Pada Mei 2023, Pengadilan Negeri Jayapura memutuskan Victor Yeimo melanggar KUHP dengan dalil menyebarkan informasi terlarang. Tetapi putusan tersebut dibatalkan pada Juli 2023, lalu dijatuhi hukuman satu tahun penjara.
Tepat hari Sabtu (23/9/2023), ia bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Jayapura. Ribuan warga Papua turun jalan menjemut dan mengarak hingga ke Waena untuk merayakan pembebasannya.
Saat acara penganugerahan, Liberty Victoria menyatakan, “Kami dengan bangga mengumumkan bahwa Penghargaan Kursi Kosong Voltaire 2023 diberikan kepada tuan Victor Yeimo, seorang pendukung kuat kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia dan juru bicara internasional untuk Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Petisi Rakyat Papua (PRP).”
“Kami merasa terhormat bahwa tuan Victor Yeimo telah menerima penghargaan Kursi Kosong Liberty Victoria 2023.”
Komentar Victor Yeimo
Dianugerahi Voltaire Empty Chair Human Rights Award 2023, Victor Yeimo bicara tentang rasisme di negara Indonesia yang menurutnya sudah mengakar kuat.
“Rasisme adalah penyakit. Rasisme adalah virus. Rasisme pertama kali disebarkan oleh orang-orang yang merasa superior. Keyakinan bahwa ras lain lebih rendah. Perasaan bahwa ras lain lebih primitif dan terbelakang dibandingkan ras lain,” ujar Yeimo.
“Setelah Indonesia merdeka berhasil mengusir kolonialisme, namun gagal menghilangkan rasisme yang ditimbulkan budaya Eropa terhadap masyarakat nusantara. Saat ini rasisme telah berkembang menjadi fenomena budaya yang mendarah daging di kalangan masyarakat Indonesia, sehingga membuat mereka merasa rendah diri sebagai akibat dari sejarah penjajahan.”
Victor Yeimo juga menyatakan perjuangan rakyat bangsa Papua Barat tidak akan pernah berakhir.
“Perjanjian New York tahun 1962, perjanjian antara Indonesia dan Amerika Serikat tahun 1967 mengenai kontrak karya Freeport, dan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 tanpa partisipasi rakyat Papua Barat. Pengecualian ini berakar pada keyakinan bahwa orang Papua Barat dipandang primitif dan tidak berhak untuk menentukan nasib politik mereka sendiri,” ujarnya.
Konsisten dengan perjuangannya, aktivis pro-kemerdekaan dan pembela HAM itu sampai dinyatakan masuk DPO lantaran memimpin aksi rakyat Papua Barat lawan rasisme 16 Agustus 2019. []