PolhukamDemokrasiTujuh Dekade Pemerintah RI Gagal Tegakan HAM di Papua

Tujuh Dekade Pemerintah RI Gagal Tegakan HAM di Papua

SORONG, SUARAPAPUA.com — Momentum hari hak asasi manusia (HAM) se-dunia ke-75 di Indonesia dirayakan dalam situasi kontradiktif dengan harapan pemenuhan dan penegakan HAM setiap warga negara. Pemerintah dinilai gagal dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM selama ini di Tanah Papua.

Elias Hindom, sekretaris jenderal Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP), mengemukakan setiap manusia di muka bumi baru saja merayakan hari HAM dengan tujuan menegakkan dan mempertahankan serta memperjuangkan hak-hak yang selama ini tidak dijunjung tinggi oleh negara.

Hanya saja menurutnya, hingga kini masih banyak persoalan di berbagai aspek cenderung mengabaikan hak individu maupun kelompok.

“Negara mestinya wajib memenuhi HAM setiap warga negara, bukan kembali melakukan tindakan represif untuk meniadakan HAM dari warga negara,” ujar Hindom kepada suarapapua.com melalui telepon seluler.

10 Desember 1948 ditetapkan sebagai hari HAM se-dunia, dan 10 Desember 2023 sudah mencapai usia ke-75 tahun dengan tema “Kebebasan, kesetaraan dan keadilan bagi semua”.

“Tema HAM tahun ini berdasarkan fakta negara dalam tindakannya terhadap rakyat khususnya di Papua justru tidak ada jaminan kebebasan, kesetaraan dan keadilan bagi semua orang. Hal inilah yang kemudian dalam perayaan memperingati hari HAM selalu kami suarakan untuk koreksi banyak kesalahan dan kebiadaban negara agar harus berlaku adil dan bukan hanya memihak pada kelompok tertentu. Hampir seluruh persoalan di Papua banyak yang termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat, yang belum pernah diselesaikan oleh pemerintah Indonesia,” bebernya.

Meski peringatan hari HAM digelar di beberapa daerah di Papua, Hindom akui yang diterima oleh massa rakyat oleh aparat keamanan adalah tindakan represif, bahkan tembakan gas air mata, pendropan pasukan keamanan disertai alat pengamanan seolah ada terjadi peperangan skala besar di tengah kota.

Baca Juga:  Komnas HAM RI Didesak Selidiki Kasus Penyiksaan Warga Sipil Papua di Puncak

“Asumsi saya bahwa pemerintah memang tidak ingin memberikan HAM terhadap kami rakyat Papua. Sejak tahun 1961 sampai saat ini berbagai persoalan yang juga sudah dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, tetapi setiap pelakunya adalah militer Indonesia masih saja diberikan kebebasan.”

Hindom menyebut fakta mengerikan masih terus dihadapi orang Papua.

“Orang Papua menggunakan hak berpolitik justru dikenakan dengan pasal berlapis. Termasuk pasal makar. Itu buktinya belum ada penegakan HAM di negara ini. Jadi, jangan dengan alasan keamanan dan ketertiban, lalu mengabaikan apa yang menjadi makna dari HAM itu sendiri. Pemerintah mestinya menghormati hak setiap individu ataupun kelompok dalam berbagai aspek,” tegas Elias.

Ia mencontohkan, di kabupaten Fakfak 112 personel gabungan dikerahkan untuk melakukan razia 13-14 Desember 2023 dengan alasan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, lalu mengamankan semua atribut berbau politik.

“Hal seperti itu pihak kepolisian sudah melanggar HAM karena apa yang dilakukan oleh kelompok tertentu itu pun sesuai dengan prosedur atau undang-undang yang berlaku di negara ini. Jadi, jangan semena-mena bertindak seperti itu. Bahkan tindakannya represif terhadap warga masyarakat di Fakfak,” lanjutnya.

Ditegaskan, pelanggaran HAM di kabupaten Fakfak terhadap 5 warga masyarakat sipil yang terjadi di distrik Kramongmongga pada Agustus lalu, dan korban penembakan yang juga terjadi Desember 2019 harus diselesaikan.

“Pemerintah harus selesaikan pelanggaran HAM itu. Bukan lagi dengan melakukan tindakan represif terhadap warga Fakfak dengan alasan tidak masuk akal,” ujar Hindom.

Baca Juga:  ULMWP Desak Dewan HAM PBB Membentuk Tim Investigasi HAM Ke Tanah Papua

Sebagai lembaga negara independen, kata Atnike, Komnas HAM terus mencatat berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam perlindungan HAM. Ia berharap catatan tersebut bisa menjadi alarm pengingat bagi pemerintah akan pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan.

“Apakah itu tantangan di dalam hak ekonomi sosial dan budaya, ya, di mana kita melihat tentu problem kesejahteraan, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan itu belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh seluruh warga negara di wilayah Indonesia. Dari sisi hak sipil politik juga kita masih melihat terjadinya kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia,” katanya.

Latifah Kuswariba Alhamid, staf AlDP mengungkapkan, dari 56 kasus, 12 diantaranya disertai dengan tindakan pengrusakan sejumlah fasilitas publik, termasuk pesawat terbang, sekolah, bandara, kios dan kantor pemerintah.

“Jumlah pengungsi makin bertambah secara signifikan, berasal dari masyarakat sipil OAP dan juga non-OAP. Mobilisasi pengungsi OAP yang jumlahnya sangat besar, tidak mendapatkan perhatian dan penanganan secara serius dari pemerintah,” ungkapnya melalui siaran pers AlDP pada peringatan Hari HAM Sedunia 10 Desember 2023.

AIDP juga merilis data sejumlah kasus yang terjadi sepanjang tahun 2023 periode Januari hingga Desember 2023.

Data korban meninggal dunia:
Masyarakat sipil: 44 orang
TNI: 22 orang
Polri: 5 orang
TPNPB: 10 orang

Data korban luka-luka:
Masyarakat sipil: 37 orang
TNI: 4 orang
Polri: 22 orang
TPNPB: 5 orang

Alhamid menambahkan, meluasnya korban dari masyarakat sipil dikarenakan ruang gerak dan ruang perang diantara para pihak (TNI/Polri dan TPNPB) cenderung dilakukan di ruang publik, tempat masyarakat sipil hidup, tinggal dan beraktivitas sehari-hari. Padahal di tempat-tempat terpencil seperti itu pada situasi tanpa perang sekalipun, mereka bagian dari kelompok yang tidak berdaya karena keterbatasan akses dan fasilitas untuk pemenuhan hak-hak dasar.

Baca Juga:  Pilot Selandia Baru Mengaku Terancam Dibom Militer Indonesia

Sejumlah peristiwa penyiksaan dan pembunuhan pada peristiwa Sinakma 23 Februari 2023, kematian 2 ibu di Dekai tanggal 11 Oktober 2023, penyerangan terhadap para penambang ilegal di Yahukimo tanggal 16 Oktober 2023 atau pekerja bangunan Puskesmas di kepala air kabupaten Puncak tanggal 19 Oktober 2023.

“Mereka menjadi target untuk melampiaskan dendam, kemarahan dan kekecewaan. Mereka mengalami penderitaan luar biasa sebelum akhirnya meninggal dunia. Juga menyimpan trauma bagi yang selamat, termasuk keluarga mereka. Rangkaian tragedi kemanusiaan ini mengoyak akal sehat dan hati nurani kita,” tuturnya.

Pemerintah telah berulangkali menyampaikan strategi pendekatan keamanan dengan menggunakan bahasa atau istilah yang berbeda-beda, dalam praktiknya masyarakat masih menjadi sasaran intimidasi dan represi secara berulang.

“Dalam tiga tahun ini yakni sejak November 2021 hingga November 2023 telah terjadi tiga kali pergantian panglima TNI. Upaya negara untuk menghentikan kekerasan dan konflik bersenjata belum berhasil dilakukan,” kata Latifah.

Di lain sisi, AlDP menyebut pemerintah gencar menawarkan penyelesaian pelanggaran HAM melalui mekanisme non-yudisial untuk peristiwa Wasior 2001 dan peristiwa Wamena 2003. Hal itu dimaknai sebagai strategi negara untuk membungkam hak korban dan makin melanggengkan impunitas.

“Tidak ada keadilan bagi korban karena tanpa ada pengakuan dan permintaan maaf dari pelaku,” imbuhnya menegaskan. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di PBD Belum Diterapkan

0
“Kami bersama AMAN Sorong Raya akan melakukan upaya-upaya agar Perda PPMHA  yang telah diterbitkan oleh beberapa kabupaten ini dapat direvisi. Untuk itu, sangat penting semua pihak duduk bersama dan membicarakan agar Perda PPMHA bisa lebih terarah dan terfokus,” ujar Ayub Paa.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.