ArtikelProgram Owaadaa Meningkatkan Kualitas Hidup Keluarga Masyarakat Adat Papua

Program Owaadaa Meningkatkan Kualitas Hidup Keluarga Masyarakat Adat Papua

Oleh: Hanok Herison Pigai
*) Direktur Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (Yapkema) Papua

Orang asli Papua (OAP) adalah masyarakat adat karena kehidupannya tumbuh dari tanah tempat ia hidup beserta kekayaan alam dan nilai-nilai spiritual yang melingkupinya. Namun situasi kehidupan masyarakat adat Papua, terutama di wilayah pegunungan, sedang mengalami degradasi akut. Hal itu disebabkan oleh perubahan sosial, budaya dan ekonomi yang sangat cepat dan cenderung dipaksakan oleh model pembangunan yang mengabaikan situasi lokal, bahkan sekadar bertujuan mengejar pertumbuhan ekonomi semata.

Selain itu, efektivitas pembangunan saat ini di bawah kebijakan otonomi khusus (Otsus) juga patut dipertanyakan karena sejumlah besar dana yang dikucurkan ke Papua tidak banyak berdampak pada perbaikan kondisi masyarakat adat Papua.

Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pegunungan, tantangan terhadap infrastruktur, informasi, konflik, dan kehadiran militer serta kebijakan ekonomi bantuan langsung tunai (BLT) menjadi faktor saling terkait yang menyebabkan perubahan kondisi kehidupan dengan sangat cepat yang mengarah pada degradasi kehidupan keluarga masyarakat adat Papua.

Dari perspektif kebijakan pembangunan nasional di Indonesia, masyarakat adat ditempatkan pada kategori terbelakang dan miskin. Padahal kata-kata miskin bahkan tidak dikenali oleh tradisi dan budaya masyarakat adat yang dari asal usulnya memiliki kearifan lokalnya sendiri dalam mengelola potensi alam dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri.

Kemiskinan yang dialami masyarakat adat saat ini, yang dihitung secara matematis berdasarkan pendapatannya sehari-hari, terjadi justru akibat struktural dari pola kebijakan dan pendekatan pemerintah selama puluhan tahun yang secara langsung maupun tidak langsung telah meminggirkan (memarginalisasi) masyarakat asli.

Memang kebijakan Otsus sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 serta kelanjutannya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 telah memberi peluang bagi eksistensi orang asli Papua di berbagai bidang. Tetapi, dalam praktiknya, peluang tersebut hanya berlaku di ranah pegawai negeri sipil (PNS), pertahanan keamanan, dan jabatan politik. Itupun bukan tanpa hambatan.

Di bidang-bidang lainnya, masyarakat adat Papua tidak punya kesempatan dan kapasitas untuk dapat bersaing dalam arus perubahan. Sementara arus perubahan telah membuka gerbang peluang lebih besar bagi masyarakat pendatang yang telah lebih dulu berkapasitas.

Sedangkan, kapasitas dan kelangsungan hidup sumber daya manusia Papua tidak menjadi perhatian utama dari pembangunan. Yang dibutuhkan oleh pembangunan hanyalah tanah dan kekayaan alam di dalamnya untuk kepentingan ekonomi investasi. Oleh karena prioritas pemerintah adalah membangun infrastruktur jalan dan telekomunikasi, terutama untuk melancarkan peluang-peluang investasi serta membuat masyarakat yang ada di pelosok menjadi terhubung di dalam arus perubahan.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Fakta menurunnya produktivitas masyarakat asli Papua, khususnya suku Mee di provinsi Papua Tengah, dibanding 50 tahun yang lalu tidak membuat pemerintah gelisah. Pengolahan potensi pertanian rendah, sehingga pendapatan masyarakat ikut rendah. Saat ini masyarakat hanya mengandalkan pendapatan cepat hanya dari aliran dana segar lewat alokasi dana Otsus, Raskin, Ranstra, Gerbangmas, dana desa, dan lain-lain.

Data statistik Papua tahun 2022 menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di wilayah adat Meepago, khususnya di tiga kabupaten: Dogiyai, Deiyai dan Paniai, sangat rendah. IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). Kualitas hidup manusia jauh lebih penting daripada pembangunan fisik, seperti gedung, jalan, dan industri. Kualitas hidup dibentuk oleh tiga dimensi: umur panjang dan sehat, pengetahuan, serta standar hidup yang layak.

Banyak Dampak Negatif

Selain dampak ekonomi, dampak sosial budaya akibat metode pembangunan berbasis aliran dana langsung selama puluhan tahun telah begitu fatal. Masyarakat adat yang tadinya mandiri menjadi bergantung pada uang cepat, atau dalam istilah masyarakat disebut gaya hidup instan.

Tanah, lahan dan hutan yang sebelumnya menjadi sumber penghidupan dan faktor penting dalam kebudayaan, kini dilihat hanya sebagai sumber uang.

Fenomena jual tanah, pengambilan kayu hutan tanpa perencanaan dan metode, atau membiarkan lahan terbengkalai tak lagi diolah, kini menjadi praktek hidup yang baru. Duduk berpangku tangan, mobilitas tanpa tujuan, togel hingga mabuk-mabukan, menjadi fenomena sosial menyedihkan yang melanda masyarakat secara luas di kalangan masyarakat adat suku Mee di Meepago.

Yang dimaksud dengan mobilitas tanpa tujuan salah satu contoh dan yang menjadi fenomena sekarang adalah sebagian masyarakat terutama anak muda dari Dogiyai, Deiyai dan Paniai yang sering “naik-turun” Nabire tanpa keperluan dan tujuan yang jelas. Mobilitas juga terjadi pada tingkatan lokal yaitu orang tidak betah tinggal dan bekerja di kampung, namun lebih sering pergi ke kota. Sekadar taputar di kota, hitung dan pasang togel, dan seterusnya. Terlebih para lelaki, yang kerap menyebabkan kaum perempuan harus memikul lebih banyak peran ganda.

Saat kapasitas masyarakat adat untuk mandiri dihancurkan oleh program-program pembangunan yang salah, maka gelombang kehancuran sosial, budaya dan moral datang bertubi-tubi. Fondasi hidup masyarakat adat menjadi goyah, kehilangan arah dan tujuan. Situasi ini telah berakibat sangat fatal bagi generasi muda dan anak-anak saat ini. Mereka kehilangan pijakan dan teladan budaya untuk dapat hidup mengelola hidupnya, sementara arus persaingan ekonomi tak sanggup dikendalikan apalagi dimenangkan.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Masyarakat asli terkondisikan menerima kehidupan modern atas nama pembangunan tanpa punya waktu dan kesempatan yang cukup untuk membenahi tata kehidupan adatnya sendiri berhadapan dengan modernisasi yang dibawa oleh pembangunan. Hasilnya, masyarakat adat kini dibuat bergantung, kehilangan kendali atas hidupnya sendiri, dan kehilangan kemandirian.

Masalah di depan mata ini akan semakin menghantam fondasi kehidupan keluarga masyarakat adat Papua di waktu mendatang. Di dalam keluarga, ibu, anak dan remaja akan lebih banyak mengalami kerugian akibat perubahan pola hidup, penurunan produktivitas, kurangnya pendapatan produktif, menurunnya kualitas kesehatan, dan meningkatnya prevalensi penderita penyakit menular seksual (PMS) di kalangan keluarga OAP.

Hal itu ditambah lagi dengan tingginya angka putus sekolah, rendahnya angka partisipasi sekolah, dan rendahnya kualitas pendidikan formal.

Bangkitkan Budaya Kerja

Yapkema Papua meluncurkan program Owaadaa sebagai tanggung jawab minimal untuk berkontribusi mengatasi masalah penurunan kualitas hidup keluarga masyarakat adat Papua di wilayah adat Meepago (secara administratif masuk dalam provinsi Papua Tengah) khususnya di tiga kabupaten: Dogiyai, Deiyai, dan Paniai.

Program ini kami namakan program Owaadaa. Alasannya, dalam kebudayaan masyarakat adat suku Mee telah dikenal suatu konsep kehidupan yang disebut Owaadaa. Berdasarkan bahasa Mee, Owaadaa artinya pagar rumah, yang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat biasanya memahami lebih dalam yaitu Owaadaa sebagai kebun bagi tanaman, ternak, ikan, dengan memanfaatkan pekarangan rumah secara maksimal agar kebutuhan pangan keluarga tercukupi secara mandiri.

Secara filosofis “Owaadaa” tidak hanya sebatas pagar rumah, namun menyangkut keseluruhan aspek kehidupan. “Owaadaa” selalu menjadi gerakan bersama dari suku bangsa Mee. “Owaadaa” adalah jati diri orang Mee.

Pada awal tahun 2012, tokoh intelektual dan antropolog suku Mee, sekaligus saat itu masih menjabat Ketua Sinode Gereja Kingmi Tanah Papua, Dr. Benny Giay mengatakan pentingnya gerakan menghidupkan kampung.

“Kita kembali ke kampung, ke rumah masing-masing, hidupkan budaya kerja, kembangkan Owaadaa. Bikin kebun, kasih pagar, buat bedeng, di situ kita tanam nota (petatas), nomo (keladi), digiyo-napo (sayur hitam), eto (tebu), umbi-umbian seperti dee, momai, apuu, dan lain-lain. Kalau kita sudah mulai, kita kerja dan tanam, kita bisa hidup dari situ. Ini upaya riil untuk kita putuskan mata rantai ketergantungan pada beras dan semua barang impor dari luar Papua,” kata Giay saat launching buku “Ekonomi Owaadaa” karya Benny Makewa Pigai di Enarotali, Paniai, Sabtu, 14 Januari 2012.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Di Paniai, gerakan Owaadaa sudah digalakkan Gereja Katolik Dekanat Paniai yang diikuti Gereja Kingmi Tanah Papua di Paniai sejak tahun 2005. Owaadaa merupakan satu spiritualitas hidup suku Mee dalam menghidupkan budaya kerja dan sangat relevan di tengah situasi cepatnya perubahan sosial dan ekonomi yang melanda masyarakat adat suku Mee dua dekade belakangan ini.

Konsep Owaadaa telah dijalankan secara turun temurun oleh moyang orang Mee dan masih diteruskan oleh sebagian kecil masyarakat suku Mee saat ini. Namun, kini pengetahuan tradisional sudah tidak dikenal lagi oleh anak-anak muda generasi kini. Pengetahuan lokal terkait Owaadaa tidak dilestarikan dan nyaris hilang dari praktik.

Demi Kualitas Hidup

Program Owaadaa digagas Yapkema Papua tentu saja dengan tujuan tersendiri. Secara ringkas program Owaadaa bertujuan:

Pertama: Merevitalisasi nilai-nilai hidup tradisional yang dapat menjadi alternatif di tengah arus perubahan sosial, ekonomi dan budaya di semua lini masyarakat adat adalah pekerjaan sangat penting.

Kedua: Melalui Owaadaa, generasi muda dan keluarga Papua akan memiliki kapasitas memproses perubahan sosial dan budaya yang terjadi secara cepat dan mempersiapkan masa depan mereka sejak dini.

Ketiga: Mempromosikan pendidikan, khususnya pendidikan anak usia dini dan meningkatkan kapasitas ibu dan remaja untuk mengubah paradigma masyarakat sejak dini.

Keempat: Melakukan intervensi terhadap perkembangan anak usia dini, yang menggabungkan pendidikan, kesehatan dasar dan reproduksi, serta keterampilan mata pencaharian akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan masa depan anak dan keluarganya.

FGD Owaadaa telah terlaksana sesuai rencana awal. Baik di kabupaten Paniai, kabupaten Dogiyai maupun kabupaten Deiyai. Kami berharap, dengan sejumlah masukan dari para narasumber dan peserta FGD memperkaya pengetahuan seputar Owaadaa yang sedang dikerjakan Yapkema. Apalagi para narasumber telah memaparkan situasi dan kondisi ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat saat ini sekaligus memberikan bahan pengantar diskusi.

Dengan pemaparan dari masing-masing pemateri sesuai bidangnya dan berkembang dalam sesi diskusi serta ada sejumlah masukan terkait situasi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan keluarga dan anak-anak, selanjutnya diharapkan dapat melahirkan rencana tindak lanjut (RTL) bersama antara Yapkema dan para pemangku kepentingan.

Satu catatan, Owaadaa dalam kehidupan masyarakat suku Mee tak terlepas dari tiga unsur penting yang saling berkaitan langsung, yakni bidang ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.