Komite Nasional Papua BaratInilah Sikap Resmi KNPB Terhadap Agenda Pemilu 2024

Inilah Sikap Resmi KNPB Terhadap Agenda Pemilu 2024

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dengan tegas menyatakan menolak agenda penguasa Indonesia di teritori West Papua. Terutama, pelaksanaan pesta demokrasi yakni pemilihan umum (Pemilu) legislatif dan presiden Republik Indonesia, yang akan diselenggarakan bulan depan tepatnya 14 Februari 2024.

Dalam siaran pers tertanggal 26 Januari 2024, Warpo Sampari Wetipo, ketua 1 KNPB Pusat, menegaskan, rakyat bangsa West Papua tidak berhak mengikuti agenda Indonesia.

“Alasan pertama karena Indonesia adalah penguasa penjajah dan rakyat West Papua sebagai bangsa terjajah belum menentukan nasib politik atau belum mendapat status politiknya di bawah hukum internasional,” ujarnya.

KNPB menyatakan, West Papua adalah wilayah tak berpemerintahan (non-self government territory) yang belum menentukan nasibnya sendiri. Oleh sebab itu, ditegaskan, Pemilu dalam kerangka kolonialisme bukanlah bentuk hak menentukan nasib politik bangsa Papua, melainkan suatu bentuk politik pendudukan paksa (power repression).

“Pemilu tidak mencerminkan kehendak dan aspirasi rakyat Papua yang sebenarnya, melainkan merupakan alat manipulasi yang hegemonik untuk mempertahankan kontrol kolonial atas tanah air West Papua,” tegas Wetipo.

Alasan kedua, kata Warpo, Pemilu dalam kolonialisme tidak mencerminkan demokrasi sepenuhnya bagi rakyat West Papua yang artinya Pemilu bukanlah ruang demokratis yang sejati karena prakteknya bertentangan dengan prinsip kebebasan, kesetaraan dan keadilan.

Baca Juga:  Hindari Jatuhnya Korban, JDP Minta Jokowi Keluarkan Perpres Penyelesaian Konflik di Tanah Papua

“Dalam 60 tahun terjajah, Pemilu hanyalah suatu simbolis untuk memberikan kesan legitimasi kolonial di West Papua, sebab faktanya semua keputusan ekonomi politik tentang West Papua diambil alih penguasa penjajah. Buktinya, kita sedang menyaksikan secara terbuka represi kebijakan Otsus, pemekaran, operasi militer, dan eksploitasi SDA tiada henti di Tanah Papua. Semua dipaksakan Jakarta dengan menutup ruang-ruang demokrasi rakyat West Papua melalui senjata dan penjara. Sementara demi kekuasan politik ekonomi kolonial West Papua hanya dijadikan objek eksploitasi bagi pencitraan elit politik kolonial dan rakyat West Papua digiring dalam budaya demokrasi yang penuh dengan manipulasi, korup, pecah belah, dan permusuhan sesama rakyat terjajah,” bebernya.

Wetipo mengemukakan alasan ketiga, Pemilu merupakan ajang kemenangan bangsa penjajah Indonesia menaklukkan bangsa Papua baik secara ekonomi maupun politik.

“Karena faktanya bangsa Papua yang tersisa 2,9 juta akan kehilangan representasi politik akibat konsolidasi warga penjajah (Non-Papua) yang telah bersatu bersama penguasa kolonial untuk mengambil alih West Papua melalui Pemilu 2024. Ini dibuktikan dari dominasi bakal calon non-Papua di hampir semua kota di Tanah Papua. Artinya, paket politik Otsus yang katanya untuk proteksi, keberpihakan, dan perlindungan hanyalah kabualan Jakarta.”

Lanjut Warpo, “Yang nyata di depan mata kita adalah politik ambil alih kekuasaan di Papua untuk lebih memantapkan ekspansi modal, militer dan pendatang (non Papua) di Tanah Papua.”

Baca Juga:  Hilang 17 Hari, Anggota Panwaslu Mimika Timur Jauh Ditemukan di Potowaiburu

KNPB mencatat, seperti terjadi selama ini, segelintir elit politik Papua yang terpilih di kursi-kursi legislatif akan tunduk di bawah kebijakan-kebijakan partai politik kolonial yang pro kolonialisme dan kapitalisme di Tanah Papua. Pun, tiga Capres-Cawapres saat ini bersama semua partai yang mengelilinginya merupakan pendukung penguasa yang mendukung semua produk hukum anti demokrasi dan anti rakyat seperti Perppu Cipta Kerja, RKUHP, UU ITE, dan sebagainya.

“Artinya, orang Papua hanya akan tunduk tertindas sambil mengemis secuil harga diri dan kehormatan dalam kekuasaan kolonial, karena sudah tentu segalanya ditentukan Jakarta. Jika hendak melawan, maka nasibnya akan sama dengan deretan almarhum Lukas Enembe dan semua elit Papua yang dipaksa mati.”

Karena rakyat bangsa Papua bukan bangsa kecil dan pengemis, KNPB tegaskan, punya harga diri sebagai bangsa yang yang cerdas dan kritis tidak perlu memberi legitimasi pada rezim penjajah.

“Sebagai rakyat pejuang dan pejuang rakyat, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menegakkan keadilan dan kebenaran sebagai fondasi menuju pembebasan nasional,” tegasnya.

Berkaitan dengan agenda Pemilu 2024, KNPB menyampaikan beberapa sikap tegas.

Baca Juga:  Ketua KNPB Pegubin Ajak Suku Ngalum dan Ketengban Bersatu

Pertama: Menolak partisipasi politik bangsa terjajah Papua dalam Pemilu kolonial selama kekuasaan ilegal kolonial Indonesia masih bercokol dia tas tanah air West Papua.

Kedua: Menuntut pemerintah Indonesia untuk segera memenuhi hak demokratik rakyat West Papua yang telah dicuri sejak Pepera 1969, yakni dengan menggelar referendum yang damai dan demokratis di bawah pengawasan internasional.

Ketiga: Menghimbau rakyat West Papua agar tetap tenang dan optimis memperjuangkan kemandirian ekonomi politik di luar politik kolonialisme Indonesia dan mendukung perjuangan demokratik bangsa Papua yaitu hak penentuan nasib sendiri melalui referendum.

Keempat: Menghimbau rakyat West Papua untuk menghindari politik pecah bela dan operasi cipta kondisi kekacauan antar keluarga, suku, kelompok dan golongan dari penjajah.

Kelima: Mendukung perjuangan demokratik rakyat tertindas terutama kelas buruh, pekerja, petani, kaum miskin kota, kaum termarginal, mahasiswa, dan sebagainya untuk mengkonsolidasikan politik alternatif demi merebut demokrasi sepenuhnya dari tangan rezim kapitalis dan militeristik.

Keenam: Melarang dengan tegas pengurus dan anggota KNPB untuk berpartisipasi memilih dan dipilih dalam Pemilu kolonial Indonesia.

“Demikian sikap ini kami keluarkan untuk mempertegas sikap dan perjuangan bangsa Papua sehubungan dengan agenda Pemilu kolonial Indonesia pada tanggal 14 Februari 2024.” []

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.