Tanah PapuaLa PagoPemerintah Dituding Aktor Perampas Tanah Adat Papua

Pemerintah Dituding Aktor Perampas Tanah Adat Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pemerintah hadir untuk melindungi ataukah justru merampas tanah adat Papua menjadi topik menarik dalam diskusi publik, Sabtu (27/1/2024) sore di aula asrama Nayak II, Abepura, kota Jayapura, Papua.

Dalam diskusi publik yang diikuti mahasiswa Papua termasuk mahasiswa asli Hubula di kota studi Jayapura, menghadirkan tiga pembicara. Masing-masing Jasman Yaleget, mahasiswa Jayawijaya asal Welesi-Wouma, Anastasya Manong dari Ampera Mada, dan Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua.

Dengan membedah kasus perampasan tanah adat Awyu dan tanah adat Hubula di wilayah Welesi dan Wouma, disimpulkan bahwa pemerintah hadir bukannya melindungi tanah adat milik masyarakat adat di Tanah Papua. Sebaliknya, pemerintah justru dianggap sebagai aktor perampas tanah adat Papua.

Jasman Yaleget dalam pemaparannya membedah fakta tanah adat seluas 108 hektar milik masyarakat adat Hubula di wilayah Welesi dan Wouma yang diincar pemerintah provinsi Papua Pegunungan untuk dijadikan kawasan perkantoran pemerintahan provinsi Papua Pegunungan.

Kata Yasman, pemerintah gagal dalam pendekatan kepada masyarakat adat. Sebab, dalam melancarkan misinya, pemerintah provinsi Papua Pegunungan cenderung lebih mendekati masyarakat adat Hubula yang menerima misi pemerintah dan menjauhi masyarakat adat Hubula yang menolak.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

“Secara umum masyarakat Hubula menolak cara-cara pemerintah. Memang muncul kelompok dalam masyarakat adat Hubula, dan itu rentan terjadi konflik horizontal akibat sikap pemerintah yang tidak netral,” ujarnya.

Kawasan yang diincar pemerintah menurut Yaleget, bukan tanpa pemilik ulayat. Kawasan incaran tersebut justru lahan pertanian produktif masyarakat di kabupaten Jayawijaya.

Karenanya, hingga kini persoalan tanah yang mau dijadikan pusat perkantoran provinsi Papua Pegunungan belum tuntas meski sekelompok kecil orang telah didekati pemerintah untuk diberikan “seribu”.

Anastasya Manong sebagai pemateri kedua menyayangkan sikap pemerintah yang selalu tidak menghargai masyarakat adat selalu pemilik ulayat. Biasanya hanya mendekati satu dua orang yang kemudian diklaim mewakili seluruh komponen masyarakat adat.

Fakta tersebut menurutnya telah dialami masyarakat adat Awyu. Tanah adat seluas 36.000,94 hektar diizinkan pemerintah provinsi Papua kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL) untuk dijadikan lahan perkebunan dan pengolahan sawit tanpa sepengetahuan masyarakat adat Awyu.

Baca Juga:  PMKRI Kecam Tindakan Biadap Oknum Anggota TNI Siksa Warga Sipil di Papua

“Masyarakat adat Awyu tidak ketahui dengan kebijakan seperti itu, tidak pernah ada persetujuan. Makanya kasus ini dibawa ke pengadilan. Bapak Frengky Woro selaku pemimpin marga menggugat pemerintah provinsi Papua ke PTUN Jayapura. Gugatannya sampai sekarang masih sedang proses hukum banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado, Sulawesi Utara,” jelas Manong.

Sementara itu, Emanuel Gobay saat membawakan materinya menegaskan, eksistensi masyarakat adat Papua dan hak-hak yang melekat pada mereka dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 18b Undang-undang Dasar 1945 junto Pasal 6 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM junto Pasal 43 Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan Undang-undang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua.

Kata Emanuel, khusus soal Welesi dan Wouma sebagai wilayah lahan pertanian produktif, hutan lindung dan kawasan Taman Nasional Lorentz yang dijamin dalam Perda RTRW provinsi Papua tahun 2013-2033.

“Dengan demikian, sudah dapat disimpulkan bahwa dalam kasus tanah adat masyarakat Awyu dan kasus tanah adat masyarakat Hubula di Welesi dan Wouma menunjukan bahwa pemerintah adalah aktor perampas tanah adat Papua,” tegasnya.

Baca Juga:  Atasi Konflik Papua, JDP Desak Pemerintah Buka Ruang Dialog

Diskusi publik semakin menarik dengan sesi tanya jawab yang secara gamblang menguak berbagai kasus perampasan tanah adat di berbagai daerah di Tanah Papua.

Pemerintah sebenarnya tidak sendirian, karena ternyata oknum intelektual Papua turut mendukung upaya pemerintah memuluskan investor masuk menguasai tanah adat yang pada akhirnya memarginalkan dan menyengsarakan masyarakat adat di seluruh Tanah Papua.

Karena itulah dalam diskusi muncul konsensus agar perlu solusi alternatif yang tepat untuk melindungi tanah air adat Papua dari ancaman perampasan pemerintah bersama investor.

Kesimpulan dalam diskusi yang dimoderatori Agus Kalolik, yakni save tanah adat Papua; save tanah adat Hubula wilayah Welesi dan Wouma; save tanah adat Awyu; dan stop jual tanah!.

Selain itu, diharapkan agar seluruh masyarakat dapat mendukung perjuangan masyarakat adat Papua untuk melindungi tanah adatnya dari ancaman perampasan tanah adat Papua demi memberikan jaminan hidup bagi generasi muda masyarakat adat Papua di Tanah Papua. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Ronald Kinho, aktivis muda Sorong, menyebut masyarakat nusantara atau non Papua seperti parasit untuk monopoli sumber rezeki warga pribumi atau orang...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.