Oleh: Markus Haluk )*
)* Sekretaris Eksekutif ULMWP
Penulis Buku:
1. Menggugat Freeport Jalan Penyelesaian Konflik Papua (2015).
2. Kejahatan Kemanusiaan, Kejahatan Ekologi Freeport dan Pelanggaran HAM Degeuwo Paniai (2023).
Pasal 6
Hal-hal yang menyangkut keamanan dan ketertiban di wilayah Freeport sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pos Polisi Republik Indonesia di Tembagapura, terutama daerah- daerah tempat kerja dan tempat tinggal Freeport tidak boleh dilanggar oleh penduduk setempat.
Bagian penting dari pasal 6 ini adalah pernyataan “tempat kerja dan tempat tinggal Freeport tidak boleh dilanggar oleh masyarakat setempat.” Artinya, Freeport berniat membatasi ruang gerak orang-orang Amungme, yang notabene wilayah itu dilewati oleh orang Amungme ketika berpergian keluarmasuk lemba Waa dan Banti. Orang Amungme dari Banti lazimnya berpergian ke Tsinga dan Nosolandop harus melewati Tembagapura dan selanjutnya menyusuri belantara Nemangkawi.
Demikian halnya dahulu ketika berpergian berburu sampai di Mile 50 dekat perbatasan rendah Mimika. Setidaknya memang jika dilarang maka harus Freeport membangun jalan darat tersendiri untuk orang Amungme yang melintas dari Tembagapura hingga Mimika. Freeport dengan terang-terangan mengisolasi orang Amungme di atas tanah ulayatnya.
Pasal 7
Ketentuan-ketentuan yang merupakan materi perjanjian ini dipandang sebagai langkah pertama dalam rangka penyelesaian persoalan yang timbul antara Freeport Indonesia Inc. dengan masyarakat. Langkah berikutnya akan dilanjutkan pembicaraan langsung antara pimpinan Pemerintah Daerah Propinsi Irian Jaya dengan pimpinan Freeport Indonesia Inc.
Uraian pasal 7 ini menyatakan bahwa “perjanjian ini merupakan perjanjian awal serta masalah sengketa tanah ulayat kembali dilimpahkan kepada pemerintah Propinsi Irian jaya”.
Memang benar bahwa Nemangkawi dicuri tanpa persetujuan orang Amungme selaku pemilik sulung gunung Nemangkawi pada saat Kontrak Karya pertama ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Amerika, tanpa melibatkan orang Amungme sebagai pemilik tanah ulayat Nemangkawi.
Pasal 8
Perjanjian ini disertai lampiran-lampiran yang dipandang sebagai rangkaian naskah perjanjian yang tidak dipisah-pisahkan.
Pasal 9
Perjanjian ini berlaku sejak tanggal ditandatangani pihak-pihak yang berkepentingan. Apa tujuan utama dari perjanjian January Agreement ini? Perjanjian itu bagian dari upaya Freeport menyelamatkan diri dari tuntutan hukum internasional terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Freeport kepada orang-orang Amungme. Freeport melalui perjanjian ini, berhasil memaksa orang-orang Amungme untuk memberikan izin atas pemanfaatan tanah untuk operasi penambangan.
Dengan surat perjanjian ini, Freeport menunjukkan orang Amungme menyetujui operasi tambang dilakukan, padahal orang Amungme merasakan penderitaan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Freeport dengan dukungan Pemerintah RI dan militer.
Mulai dari penggantar dan uraian dari isi perjanjian January Agreement tahun 1974, pasal 1 sampai dengan pasal 9, sama sekali Freeport dan Pemerintah Indonesia tidak menjabarkan subjek dari arti masyarakat yang dimaksud. Semestinya dinyatakan dengan jelas bahwa masyarakat yang dimaksud adalah Suku Amungme, pemilik tanah. Artinya Freeport dan Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa Gunung Nemangkawi yang sedang ditambang merupakan wilayah tanpa penghuni, padahal di sana orang-orang Amungme menjadi penduduk asli yang tinggal dan hidup di wilayah Nemangkawi.
Siapa saja yang turut menandatangani perjanjian January Agreement?
Berikut daftar penandatangan January Agreement:
1. Pihak PT. Freeport
2. L.West ( Vice President/ Freeport General Manager)
3. Pihak Pemilik Tanah Amungme
Dalam proses itu, pihak Amungme diwakili oleh 6 orang kepala suku dan semuanya hanya membubuhi cap jempol, bukan tandatangan, mereka adalah;
1. Tuarek Narkime (Kepala Suku)
2. Naimun Narkime (Kepala Suku)
3. Arek Beanal (Kepala Suku)
4. Pitaragome Beanal (Kepala Suku)
5. Paulus Magali (Kepala Suku)
6. Kawal Beanal (Kepala Suku)
- Para Saksi Unsur Pemerintah;
W.Darwis, S.H. (Kepala Direktorat khusus Pemerintah Khusus Propinsi Irian Jaya/Ketua Tim Pemerintah) - Suratman, (Letkol Polisi As.5/ Binmas Komdak XXI/Irian Jaya)
- Mampioper, ( Wakil Kepala Direktorat Ketertiban Umum Propinsi Irian Jaya)
- S.Wanma, (Kepala Sub Direktorat I/Tata Praja Dit. Pemprop Irian Jaya)
- Manufandu, (BA Camat Mimika Barat)
- Costan Anggaibak, (Mahasiswa APDN Jayapura)
- Tom Beanal, (Anggota DPRD Pemerintah Tk.II Kabupaten Fak-Fak)
- Yos P.N. Renwarin, (Staf Kantor kecamatan Mimika Barat)
Para Saksi Unsur Freeport
1. L. Vandegrift
2. H. Butt
3. Harsono
4. R. Rorimpandey
Para Saksi Unsur Amungme;
1. Kagalwagol Beanal (Kelapa Suku Amungme)
2. Arek Beanal (Kelapa Suku Amungme)
3. Namumora Jamang (Kelapa Suku Amungme)
4. Tuarek Narkime (Kelapa Suku Amungme)
5. Tetdai Omaleng (Kelapa Suku Amungme)
6. Naimun Narkime (Kelapa Suku Amungme)
7. Pitarogome Beanal (Kelapa Suku Amungme)
8. Emolegabi Bugaleng (Kelapa Suku Amungme)
9. Nenembale Janampa (Kelapa Suku Amungme)
10. Nigaki Narkime (Kelapa Suku Amungme)
Dalam salinan asli memperlihatkan bahwa para saksi hanya hadir pada tanggal 6 dan 7 Januari 1974, sementara penandatanganan perjanjian January Agreement tercantum pada 8 Januari tahun 1974 yang ditandatangani pihak pertama Freeport dan pihak kedua Amungme. Sementara isi dari lampiran III tentang penjelasan pasal 4 naskah perjanjian ditandatangani pada 9 Januari 1974.
Lebih aneh lagi isi lampiran IV tentang penjelasan sebagai realisasi pasal 5 dan 6 naskah perjanjian keluar pada 11 Januari 1974 di Tembagapura.
Setelah naskah perjanjian January Agreement ditandatangani, Freeport menekan kembali dengan larangan. Naskah January Agreement ibarat surat BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dan Lampiran IV sama dengan surat pernyataan tidak berbuat lagi tindakan kriminal atau sejenisnya. Lebih aneh lagi pada bagian lampiran IV dari naskah perjanjian hanya di cap jempol oleh pemilik gunung Nemangkawi, suku Amungme.
Masyarakat Amungme sesungguhnya memiliki kemampuan menghidupi dirinya sendiri dengan dukungan sumber daya alamnya. Tetapi, orang-orang Amungme tak bisa berbuat banyak ketika sumber daya alam dikuasai oleh Freeport, begitu juga Pemerintah Indonesia yang mengeruk hasil tambang ke pusat. Orang-orang Amungme menjadi korban kerakusan dan ketamakan penguasa Freeport dan Pemerintah.
Sesungguhnya alam mestinya menjadi berkah bagi manusia, seperti orang-orang Amungme yang tinggal di atasnya, juga seluruh bangsa Papua, namun puluhan tahun Freeport beroperasi tak memberikan kesejahteraan dan kebaikan bagi kehidupan bangsa Papua. Bahkan, orang-orang Amungme terus menjadi korban penderitaan atas Freeport dan Pemerintah yang mengeksploitas kekayaan alam Papua.
Seorang tokoh Amungme yang pernah bertemu petinggi Freeport, almarhum Tuarek Narkime mengatakan, “Ado anakanak buah pandang yang di depan itorei (sebutan rumah adat laki-laki bagi suku Amungme) ini, saya jaga sejak belum berbuah. Setelah puluhan tahun buah pandan ini berbuah dan saat buahnya tua dan musim panen, saya selalu jaga di bawah pohon buah pandan ini namun, tidak pernah buah yang tua jatuh di bawah tanah dekat pohon pandan, saya tidak tahu kenapa dan sungguh aneh, karena itu, anak-anak mungkin. Buah Pandan yang tua ini buahnya jatuh ke atas ka?”
Ungkapan almarhum bapak Tuarek Narkime menjadi cerita yang nyata hari ini yang dialami oleh Suku Amungme sebagai pemilik sulung Nemangkawi.
Memang benar bahwa pada akhirnya semua hasil emas, tembaga, perak, uranium dan kapur dari tanah Amungsa dan hasilnya pun tidak pernah diketahui dengan pasti oleh suku Amungme terutama marga besar Magal dan Nartkime.
Tuarek Narkime memberikan gambaran masa depan generasi Amungme di atas hasil kekayaannya di tanah leluhurnya sendiri. Tepat bahwa, Amungme hanya mendapat hujan air mata darah bercampur debu batuan berlimbah di atas tanah emasnya, namun hujan emas, perak, tembaga, uranium dan kapur terjadi di negeri asing/negeri orang.
Selamat memperingati tragedi kejahatan pencaplokan hak ulayat suku Amungme-Mimika, Bangsa Papua. Bersambung……(*)