PolhukamPemiluHilangnya Hak Politik OAP Pada Pileg 2024 Disoroti Sejumlah Tokoh Papua

Hilangnya Hak Politik OAP Pada Pileg 2024 Disoroti Sejumlah Tokoh Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Demokrasi sejati yang tidak terbukti dalam pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 di Tanah Papua jelas-jelas tidak menguntungkan Orang Asli Papua (OAP). Kedaulatan rakyat justru gencar dipermainkan sekelompok kaum berkepentingan demi memenuhi ambisi politiknya.

Setidaknya hal itu mengemuka dalam webinar bertema “Hak politik OAP pada Pileg 2024 aman kah?”, Sabtu (16/3/2024) siang.

Diskusi online difasilitasi Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik berkolaborasi dengan beberapa organisasi mahasiswa Papua se-Jawa, Bali dan Sumatera, menghadirkan sejumlah narasumber dan penanggap.

Menyoroti sistem Pemilu dan perilaku politik yang tak menguntungkan OAP serta belum adanya regulasi yang memproteksi hak politik caleg OAP, dikesalkan karena telah kehilangan hak politik ada pesta demokrasi kali ini.

Manuel Kaisiepo, tim penasihat senior Kantor Staf Presiden (KSP) Republik Indonesia, menilai penyelenggaraan pesta demokrasi tahun ini di Tanah Papua buruk karena tidak terpisahkan dari desain politik dan tata negara di Indonesia yang berubah sejak reformasi yakni sistem proporsional terbuka dari sebelumnya sistem proporsional tertutup.

Kata Kaisiepo, Indonesia menganut sistem demokrasi liberal, sehingga menjadi individual right memungkinkan politik transaksional yang kemudian menghasikan the winners take off. Menurutnya, dalam demokrasi liberal dengan sistem proporsional terbuka, hanya mereka yang punya uang yang menang. Sistem politik elektoral untuk menaikkan elektalibilitasnya dan popularitas sangat tergantung pendanaan yang dimilikinya. Hal berbeda dengan politik representatif.

Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

Mantan wartawan senior Kompas itu menyatakan, dari fakta tersebut dapat ditarik benang merah bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran luar biasa.

Pernyataan tersebut diakui Otis Tabuni, salah satu peserta Pemilu 2024. Otis bahkan menguraikan beberapa fakta mengerikan dengan masif terjadi serangan fajar, politik uang, politik dinasti, politik identitas yang turut merusak iklim demokrasi di Tanah Papua.

“Pemilu 2024 ini rusak sekali,” ujar Otis dalam webinar yang dipandu Melkior N.N. Sitokdana, dosen Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah.

Tabuni menyebut tiadanya regulasi yang memproteksi hak politik OAP, sehingga caleg non OAP dengan kekuatan ekonomi dan kekuasaan menguasai hampir semua kursi legislatif.

“Pemilu 2024 sesungguhnya menguji Undang-undang Otsus jilid dua yang baru disahkan tahun 2021, bahwa ternyata orang asli Papua masih hidup dalam kepalsuan,” ujarnya.

Selain OAP secara umum, Frederika Korain, Pengacara dan Advokat Hak Asasi Manusia, mengungkapkan fakta riil bahwa hak politik perempuan Papua jauh lebih buruk terlihat dalam Pemilu 2024 di Tanah Papua. Caleg perempuan selama ini hanya sekeder memenuhi syarat 30%. Itu bukti perempuan Papua hanya bunga-bunga politik. Apalagi tidak punya modal dan kuasa sangat mudah dijadikan objek semata.

“Untuk hal ini, tidak pernah ada satu pun tokoh elit di Papua mendorong perempuan mendapatkan hak-hak politiknya. Dalam Pemilu di Papua, sebagian elit berubah jadi monster dan mengacaukan Papua menjadi semakin buruk,” ujar Korain.

Baca Juga:  Pleno Kabupaten Yahukimo Dibatalkan KPU Provinsi Karena Masih Bermasalah

Sementara, Dr. I Ngurah Suryawan, dosen Universitas Papua, mengungkapkan, pemekaran bagian dari desain Jakarta memperluas ruang-ruang politik bagi OAP agar mudah dikontrol. Terbukti tahun ini dengan pemekaran sejumlah provinsi baru di Papua yang sejatinya suatu jebakan sistematis dari negara agar OAP sibuk dengan tawaran kekuasan dan uang, tetapi secara tak langsung melupakan segala persoalan mendasar masyarakat akar rumput.

Beberapa diantaranya, beber Suryawan, persoalan kedaulatan diri, kemandirian diri, kebebesan berekspresi, pemenuhan hak-hak dasar seperti akses pendidikan, kesehatan yang berkualitas, dan lain-lain.

Suryawan akui dampak pemekaran terhadap hak politik OAP benar-benar terasa terutama pada Pemilu 2024.

John NR Gobai, ketua Poksus DPR provinsi Papua mengatakan, situasi ekonomi dewasa ini turut menentukan kekuasaan dalam politik elektoral. Jika ekonominya lemah rawan terjadi manipuasi. Itu benar-benar menimpa OAP saat ini. Buktinya rata-rata para caleg kurang modal, sehingga suaranya mudah dimanipulasi bahkan diperjualbelikan.

Karena itu, ia menyarankan, harus ada payung hukum untuk proteksi hak politik yang masih lemah itu. Kata John, perlu ada sinkronisasi UU Otsus dengan UU Partai Politik, UU Pemilu, PKPU serta beberapa regulasi terkait lainnya.

“Saya mengajak semua tokoh Papua kompak menciptakan bargaining politic agar memperoleh kompromi politik dengan Jakarta. Untung masih ada sistem noken, sehingga orang asli Papua masih ada muka. Kalau tidak, semua hak-hak politik direbut oleh non OAP,” ujar John.

Baca Juga:  C1 Pleno 121 TPS Kembali Dibuka Atas Rekomendasi Bawaslu PBD

Sementara itu, Dr. Riwanto Tirto Sudarmo, ahli demografi politik Indonesia, menyoroti adanya dampak perkembangan demografi terhadap hak-hak politik OAP. Menurutnya, perubahan demografi di Papua tak terlepas dari politik. Demografi dan politik berpengaruh saling timbal balik. Akibat dari itu timbul istilah OAP dan non-OAP.

“Di negara ini hanya orang Papua yang melawan Indonesia karena berbagai problematika pembangunan yang belum diselesaikan semenjak Papua bergabung dengan Indonesia tahun 1960-an hingga sekarang,” tuturnya.

Tirto menyarankan, negara harus serius melihat persoalan sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi masyarakat Papua saat ini. Ia menegaskan, politik resistensi di Papua sebagai ekspresi pertahanan untuk menjaga harga diri dan menunjung martabat kemanusiaan.

Mengakhiri sisi webinar, semua narasumber dan ketua-ketua mahasiswa Papua dari berbagai kota di Indonesia selaku penanggap merekomendasikan harus ada upaya sistematis dari semua tokoh Papua, baik bupati, gubernur, MRP, DPRD, DPRP, DPD dan DPR RI mendorong sinkronisasi UU Otsus, UU Parpol, UU Pemilu, dan PKPU.

“Orang Papua harus bersatu untuk menciptakan bargaining politik agar diperoleh kompromi politik dari Jakarta,” ujar Kaisiepo.

Sejumlah organisasi mahasiswa Papua se-Jawa Bali dan Sumatera yang diundang Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik hadir sebagai penanggap dalam diskusi webinar, antara lain IPMAPA Yogyakarta, HIPMAPA Salatiga, HIPMAPAS Semarang, IMAPA Jakarta, IMMAPA Bali, KOMPASS se-Sumatera, dan BEM FEB Uncen Jayapura. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di PBD Belum Diterapkan

0
“Kami bersama AMAN Sorong Raya akan melakukan upaya-upaya agar Perda PPMHA  yang telah diterbitkan oleh beberapa kabupaten ini dapat direvisi. Untuk itu, sangat penting semua pihak duduk bersama dan membicarakan agar Perda PPMHA bisa lebih terarah dan terfokus,” ujar Ayub Paa.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.