RUU ‘Perlindungan Umat Beragama’ Akan Membahayakan Kalangan Minoritas

0
2766

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pemerintah Indonesia seyogyanya menghapus Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Umat Beragama, yang melanggengkan peraturan diskriminatif yang masih diberlakukan terhadap kalangan agama minoritas, kata Human Rights Watch di Jakarta, Kamis (20/7/2017).

RUU tentang Perlindungan Umat Beragama, yang dijadwalkan akan dibawa ke Dewan Perwakilan Rakyat pada akhir 2017, melanggengkan pasal tentang penodaan agama dan aturan yang membatasi umat beragama minoritas membangun rumah ibadah. RUU ini juga menentukan kriteria yang sempit bagi sebuah agama buat dapat pengakuan negara, dan menguatkan posisi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang diskriminatif.

“RUU tentang perlindungan umat beragama ini tak lebih dari sekadar kemasan baru, dengan nama baru, untuk mewadahi berbagai peraturan yang buruk dan diskriminatif terhadap kalangan agama minoritas di Indonesia,” ujar Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia di Human Rights Watch, dalam rilis yang dikirim ke suarapapua.com.

“Pemerintah Indonesia seharusnya menghapus berbagai diskriminasi, bukannya menggabungkan peraturan-peraturan tersebut, dengan embel-embel ‘perlindungan umat beragama’.”

Dalam pertimbangannya, RUU tersebut menerangkan perlunya aturan baru dengan alasan “peraturan perundangan-undangan yang ada selama ini belum memadai atau tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat.” Alasan tersebut membenarkan bahwa umat beragama minoritas di Indonesia –negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia– memang rentan terhadap berbagai peraturan diskriminatif dan pengabaian oleh negara, sehingga meningkatkan intoleransi dari kalangan Islamis militan. Namun RUU tersebut malah menambah diskriminasi, daripada mengurangi ancaman itu.

ads

RUU tentang Perlindungan Umat Beragama memperkuat dan memperluas cakupan PNPS 1965 tentang Penodaan Agama. Peraturan tersebut, yang dijadikan pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menghukum penodaan terhadap enam agama yang diakui negara sampai dengan lima tahun penjara. Pasal penodaan agama tersebut telah digunakan untuk memenjarakan kalangan agama minoritas dan kepercayaan asli Indonesia.

Baru-baru ini, pasal tersebut menyasar tiga mantan tokoh Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) menyusul penggusuran paksa dengan kekuatan terhadap lebih dari 7,000 anggota Gafatar dari rumah dan lahan pertanian mereka di Kalimantan pada 2016 dan kasus mantan gubernur Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

Baca Juga:  Polri akan Rekrut 10 Ribu Orang untuk Ditugaskan di Tanah Papua

Pasal penodaan agama juga selama ini dijadikan landasan hukum untuk sejumlah peraturan pemerintah yang diskriminasi termasuk Surat Keputusan Bersama Juni 2008 yang melarang warga Ahmadiyah menjalankan dakwah, dengan alasan Ahmadiyah menyimpang dari ajaran Islam. Aturan tersebut mengancam para pelanggar dengan hukuman penjara sampai 5 tahun.

RUU tersebut juga meneguhkan kriteria penodaan agama dari satu kalimat “… menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu agama” ke dalam tujuh pasal.

Pasal 31 pada RUU tersebut menyatakan bahwa siapapun yang membujuk orang lain untuk pindah agama dapat dikenakan hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun penjara.

Pasal 32 membolehkan hukuman enam bulan penjara bagi siapapun yang “sengaja membuat gaduh” dekat rumah ibadah ketika ibadah sedang berlangsung.

Pasal 34 membolehkan hukuman lima tahun penjara bagi siapapun yang terbukti “menodai, merusak atau membakar” kitab suci, rumah ibadah atau benda yang dipakai untuk beribadah. RUU ini tidak membahas yang dimaksud dengan kata “menodai” barang-barang itu.

RUU ini juga menguatkan “persyaratan administrasi dan teknis” yang sudah ada dan diskriminatif, yang secara tak adil menghalangi pembangunan rumah ibadah agama-agama minoritas. Pasal 14 mengulangi persyaratan untuk izin resmi yang telah ada, termasuk “rekomendasi tertulis dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuknya” dan “rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama kabupaten/kota.”

Pasal 13 juga mengandalkan izin resmi untuk membangun rumah-rumah ibadah supaya “sesuai dengan komposisi jumlah penduduk, dihitung berdasarkan jumlah penduduk berbasis wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.”

Kondisi-kondisi ini menggaungkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 1969 serta Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006, yang telah lama melanggar kebebasan beragama dengan membatasi pembangunan rumah ibadah minoritas. Peraturan-peraturan tersebut, selama ini, digunakan untuk mendiskriminasi umat Kristiani yang ingin membangun gereja. Pada beberapa kasus, peraturan tersebut juga digunakan di bagian timur Indonesia, yang mayoritas Kristen, maupun di Pulau Bali, yang mayoritas Hindu, membatasi pembangunan Masjid bagi warga Muslim.

Baca Juga:  Semua Pihak di Intan Jaya Sepakat Tolak Eksploitasi Blok Wabu dan Hentikan Pembangunan Patung Yesus

RUU tersebut melangengkan pendekatan mayoritas-minoritas terhadap urusan agama, dengan menyokong terus kekuasaan Forum Kerukunan Umat Beragama. Berbagai FKUB ini –anggotanya terdiri dari pemimpin lokal agama– sejak 2006 diberi kekuasaan memberikan rekomendasi kepada para gubernur, walikota, dan bupati seluruh Indonesia soal pembangunan rumah ibadah.

Komposisi FKUB mencerminkan persentase agama di setiap daerah, dan oleh sebab itu memberikan kepada agama mayoritas di setiap daerah –seperti umat Muslim di barat Indonesia termasuk Jawa dan Sumatera, Hindu di Bali, dan Kristen di Indonesia timur– kekuasaan untuk mengizinkan atau menolak izin pembangunan rumah ibadah agama minoritas. Banyak dari FKUB ini telah memiliki sejarah buruk dalam memfasilitasi diskriminasi.

Penelitian Human Rights Watch pada 2013 menunjukkan bahwa FKUB juga menambah peminggiran sosial dan politis terhadap minoritas Muslim macam Syiah dan Ahmadiyah, yang tak pernah dimasukkan dalam keanggotaan FKUB.

RUU ini menegaskan definisi sebuah agama dengan mengulangi deklarasi pemerintah tentang enam agama resmi: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Pasal 4 RUU tersebut menetapkan agama sebagai “mempunyai sistem keyakinan dan peribadatan yang bersumber dari kitab suci, dan sumber ajaran lain baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang diyakini oleh umatnya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.”

Pasal-pasal ini akan melanggengkan diskriminasi yang telah berlangsung puluhan tahun, yang mencakup pengabaian KTP dan layanan pemerintah penting lainnya terhadap penganut setidaknya 240 kepercayaan tradisional, yang tak memiliki “kitab suci” atau kepercayaan pada “Tuhan Yang Maha Esa.”

RUU ini juga sarat ambiguitas yang bisa menyulut diskriminasi lebih jauh terhadap agama minoritas. Pasal 24 menetapkan bahwa perayaan agama “wajib menjaga ketertiban umum dan kerukunan umat beragama,” tanpa menjabarkan maknanya. Ia punya potensi mengancam umat minoritas agama, termasuk Syiah, yang punya perayaan tahunan Ashura. Mereka berkali-kali mengalami pelecehan, intimidasi, dan kekerasan oleh kalangan Islam Sunni garis keras.

Baca Juga:  Dewan Pers Membentuk Tim Seleksi Komite Perpres Publisher Rights

Kebebasan beragama telah menjadi bagian dari UUD 1945. Pada 2005, Indonesia ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang menjamin lewat pasal 18 (1) bahwa, “Tidak seorang pun dapat dipaksa, sehingga terganggu kebebasannya untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri,” dan lewat pasal 27 bahwa “orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk mejalankan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.”

Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan ahli internasional yang mengawasi kepatuhan negara terhadap ICCPR, sebagaimana dinyatakan pada General Comment Nomor 22 bahwa “pandangan dengan memperhatikan kecenderungan untuk melakukan diskriminasi terhadap agama atau keyakinan apapun dengan alasan apapun, termasuk kenyataan bahwa mereka baru dibentuk, atau mewakili agama minoritas yang mungkin menjadi masalah permusuhan oleh komunitas religius yang dominan.”

Disamping itu, fakta bahwa umat suatu agama menjadi mayoritas di suatu wilayah bukan berarti mereka boleh “melakukan diskriminasi terhadap penganut agama lain, atau bukan penganut.”

“Pemerintah Indonesia wajib untuk melindungi kebebasan beragama dan membela hak umat agama minoritas bukan memperluas diskriminasi dalam hukum,” ujar Andreas Harsono. “Pemerintah seharusnya menghapuskan RUU ini dan sejumlah peraturan diskriminatif yang berusaha dilanggengkannya.”

 

Baca juga berbagai laporan Human Rights Watch terkait Indonesia:
https://www.hrw.org/id/asia/indonesia

Untuk info lebih lanjut, hubungi:
Di Jakarta, Andreas Harsono (Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris): +62-815-950-9000 (mobile); atau [email protected]. Twitter: @andreasharsono
Di New York, Phelim Kine (Bahasa Inggris dan bahasa Mandarin): +1-212-810-0469 (mobile); atau [email protected]. Twitter: @PhelimKine

Artikel sebelumnyaBuku “Dukun Asmat” Menarik Perhatian Dinkes Papua
Artikel berikutnyaSejam Lagi di Stadion Mandala, Persipura Siap “Hajar” PS TNI