Selamat Jalan Sang Filsuf Mee

0
3405

DEIYAI, SUARAPAPUA.com — Suasana duka mendalam dirasakan umat dan pimpinan Gereja Katolik di Dekenat Paniai, Keuskupan Timika, Papua, ketika mendengar kabar meninggalnya tokoh budaya Mee, Manfred Chrisantus Mote, pekan lalu.

Penggagas sekaligus ketua tim monitoring program Odaa-Owaadaa itu meninggal di kediamannya, Pinii, Waghete, Kabupaten Deiyai, Selasa (27/9/2016) Pukul 04.00 WIT.

“Kami (pihak Gereja) sangat kehilangan seorang figur terbaik yang selama ini cukup berperan penting dalam Gereja Katolik khususnya di Dekenat Paniai,” kata Pater Marthen Ekowaibi Kuayo, Pr, Pastor Dekan Paniai yang juga Vikjen Keuskupan Timika.

Tak cuma gagasan, umat Katolik setempat merasakan karya nyata almarhum. Terlaksananya Musyarawah Pastoral (Muspas) di Dekenat Paniai, berawal dari ide yang dilontarkan pria berpenampilan sederhana itu, kemudian diseriusi dalam beberapa pertemuan. Hingga kini, sudah empat kali Muspas diadakan di Dekenat Paniai. Muspas ke-IV di Paroki Segala Orang Kudus (SOK) Diyai, awal Februari 2014.

Semasa hidupnya, kata Pater Kuayo, almarhum telah membantu merencanakan program pastoral Dekenat Paniai. Juga banyak berikan kontribusi pemikirannya. Pengembangan budaya, Odaa-Owaadaa, Emaawaa, pendidikan, ekonomi kerakyatan, adalah beberapa rancangan program yang dikonsep almarhum. Semuanya dibahas pada saat Muspas yang telah diadakan di beberapa paroki.

ads

Tindaklanjut dari hasil pembahasan materi Muspas di Diyai, Sekolah Tinggi Katolik (STK) Touye Paapaa didirikan di Kabupaten Deiyai. Almarhum ada dibalik hadirnya kampus ini.

Baca Juga:  Hindari Jatuhnya Korban, JDP Minta Jokowi Keluarkan Perpres Penyelesaian Konflik di Tanah Papua

Oktovianus Pekei, ketua Dewan Adat Wilayah Meepago, mengakui karya dan perjuangan almarhum dalam komunitas masyarakat suku Mee dan Gereja Katolik Dekenat Paniai Keuskupan Timika.

Menurut Pekei, pergulatannya dalam aliran Filsafat Rasionalisme mengarahkan Manfred menggagas ide “Akal Budi dan Kerja Akal Budi” dalam konteks masyarakat Mee.

“Karya beliau tentu dikenang rekan-rekannya dan siapa saja yang merasakannya. Tulisan-tulisannya mengenai kebijaksanaan hidup sungguh menjadi karya yang sangat luar biasa sebagai pedoman hidup bagi semua orang terutama generasi baru di era modern,” tuturnya.

Lanjut Pekei, “Ia tokoh budaya dan ajaran Gereja di wilayah Meepago. Beliau juga salah satu tokoh pendiri kampus STK di Deiyai.”

Yulius Kebadabi Pekei, staf dosen di STK Touye Paapaa, merasakan duka yang mendalam karena almarhum adalah tokoh panutan masyarakat Papua di wilayah Meeuwodide.

Bagi Yulius, almarhum tidak sebatas kakak, tetapi guru dalam banyak aspek. Termasuk dalam hal menulis (buku).

“Kaka Manfred memang punya talenta luar biasa. Talenta dalam melihat suatu persoalan, talenta menulis, dan banyak konsep lain yang sangat penting bagi masyarakat dan Gereja,” kata Yulius.

Dengan talenta yang Tuhan berikan, kata Yulius, Manfred merumuskan pokok-pokok penting dalam rangka membangun kembali budaya leluhur. Hingga berhasil menerbitkan buku “Touye: Pegangan Hidup Bersama, Gai, Dimi Gai, dan Touye Dalam Kehidupan Suku Mee Papua”. Buku ini diterbitkan oleh Cermin Papua, Agustus 2013.

Baca Juga:  Seruan dan Himbauan ULMWP, Markus Haluk: Tidak Benar!

Buku lain berjudul “Kumpulan Cerita Rakyat Etnik Mee Papua”, penerbit Aseni, tahun 2015.

“Orang tua kami sekaligus tokoh sentral dalam menjalankan kampus STK yang baru tiga tahun hadir ini. Kami sangat membutuhkan pemikiran demi perkembangan kampus ini kedepan, tetapi apa boleh buat. Ia telah pergi mendahului kami,” ucapnya dengan nada sedih.

Engelbertus Primus Degei dari Dogiyai menyampaikan belasungkawa atas berpulangnya Sarjana Filsafat ini. Manfred di mata Engel, seorang budayawan, filsuf, pemikir, dan tokoh Gereja di wilayah Meeuwodide dan Papua pada umumnya.

Ia peneliti Touye dan pencetus Odaa-Owadaa. Juga seorang pengajar Diyo Dou. Ia penunjuk jalan kesucian hidup orang Meuwo. Ia cerdas dan tenang, menetapkan jalan-jalan hidup orang Mee, dan ia tidak mau orang Mee jatuh dan salah jalan. Sejumlah rekomendasi lahir di Muspas, dan masih banyak yang belum terselesaikan.

Sebagai anak didik sekaligus pengagum, Engel menyebut Manfred adalah Sang Filsuf Mee.

“Ajaranmu, tuturmu, selalu kami kenang. Ajaranmu tentang Touye akan kekal sepanjang kita menghargainya. Kakaku, selamat jalan. Ini kakak punya waktu. Akadouda too akadoo. Sampai jumpa,” tulisnya di dinding facebook.

Di mata keluarga, seperti diungkapkan Tino Mote, salah satu kerabat keluarganya, Manfred selama di dunia milik tiga kelompok yakni Keluarga, Pemerintah, dan Gereja. Demi tiga kelompok itu, almarhum mengabdi hingga akhir hidup.

Baca Juga:  Heboh! Banyak Bangkai Babi di Mimika Dibuang ke Aliran Sungai

“Bapak Manfred adalah kakak saya, orang terpelajar dari keluarga kami. Kakak meninggal ini bikin sedih sekali, kami kehilangan sosok kakak hebat. Karya beliau sangat berjasa bagi Gereja, pemerintah dan masyarakat,” tutur Tino.

Menurut keluarga, almarhum sakit sejak beberapa waktu lalu. Mulai bulan Juli 2016, kondisi badan belum pulih hingga berpulang ke pangkuan Allah dalam usia 52 tahun.

Disemayamkan tiga hari, jenazah Manfred dimakamkan di samping kediamannya, Kamis (29/9/2016). Ia meninggalkan istri tercintanya: Anastasia You, dan tiga anak tersayangnya: Gustaviana, Carlo dan Wilfrida.

Almarhum menyelesaikan studi di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) “Fajar Timur” Jayapura pada tahun 1987, dengan judul skripsi “Akal Budi Dalam Konsep Pemikiran Manusia Mee”. Tiga tahun bekerja di Keuskupan Jayapura, salah satunya sebagai Pembina di Asrama Tunas Harapan Abepura, lanjutkan pendidikan Magister di Filipina, namun hanya setahun dan pulang ke tanah air karena menderita sakit.

Setelah enam tahun lebih konsen dengan kegiatan penelitian kebudayaan dan Touye, anak dari (alm) Linus Mote dan Margaretha Pekei ini diterima sebagai pegawai negeri dan selama tigabelas tahun “mengabdi” di Kabupaten Paniai, selanjutnya tahun 2008 dimutasikan ke Kabupaten Deiyai. Sempat menjabat Sekretaris Bappeda selama lima tahun, dan hingga ajal menjemput ia sebagai Kepala Dinas Pariwisata dan Seni Budaya (Parsenbud) Kabupaten Deiyai.

Pewarta: Agustinus Dogomo

Editor: Mary Monireng

Artikel sebelumnyaPemkab Dogiyai Diminta Serius Tangani Sampah
Artikel berikutnyaWarinussy: Menko Polhukam Bicara Tidak Berdasar Hukum