JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— presiden republik Indonesia, joko Widodo dinyatakan belum mampu merealisasikan janji keterbukaan akses jurnalis asing ke Papua dan gagal melindungi para jurnalis dari kekerasan.
Janji presiden Jokowi untuk membuka akses jurnalis asing ke Papua seperti yang diumumkan pada 10 Mei 2015 berjalan tidak mulus. Hingga saat ini akses jurnalis asing ke Papua masih dibatasi pemerintah Indonesia. Sejak 2015 hingga saat ini pemerintah Indonesia sudah dua kali deportasi wartawan asing yang melakukan liputan di papua.
Dalam siaran pers yang diterima suarapapua.com, Kamis (4/5/2017) dari 15 organisasi yang menaru perhatian dan memberikan kepedualian terhadap keterbukaan informasi dan keterbukaan jurnalis asing ke Papua menyatakan Jokowi telah gagal merealisasikan janjinya untuk membuka akses wartawan asing ke Papua.
Dalam siaran pers tersebut dijelaskan, Yance Wenda Jurnalis Koran Jubi dan tabloidjubi.com adalah contoh dari sedikitnya persoalan kemerdekaan pers di Papua. Ia ditangkap, dipukul dan dibawa ke kantor polisi saat sedang melakukan kegiatan jurnalistiknya untuk meliput demonstrasi pada tanggal 1 Mei 2017 di Sentani Papua.
Dalam laporan media suarapapua.com, Wenda menyatakan tidak dalam posisi dikerumunan masa atau jauh dari masa, namun saat Wenda sedang duduk di salah satu kios, Polisi berseragam datang dan menanyakan “kamu bagian dari massa?” dan Wenda mengatakan ia adalah wartawan, kemudian polisi satu lagi datang langsung menarik, memukul bagian muka, di kaki dan lengan menggunakan rotan, menendang bagian muka hingga bibir pecah dan kemudian di bawa secara paksa ke Polres Doyo, Sentani, Papua.
Setelah sampai di Polres, ia mengatakan lagi bahwa ia adalah seorang wartawan namun polisi memaksa dirinya untuk membuka baju dan celananya setelah itu Polisi periksa seluruh isi tasnya dan mendapatkan surat tugas kerja jurnalis Jubi dengan pos peliputan di daerah Sentani.
Dijelaskan, peristiwa tersebut di atas sangat sering terjadi pada jurnalis asli Papua dan itu adalah bagian kecil dari buruknya perlindungan jurnalis di Papua. Dan yang lebih mirisnya lagi bahwa peristiwa tersebut terjadi di saat Indonesia sedang menjadi tuan rumah perayaan hari Pers Internasional.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kekerasan terhadap jurnalis, sensor karya jurnalistik dan akses jurnalis asing adalah masalah yang sering terjadi di Papua. Oleh karena itu kami mendesak:
Pertama, Presiden Joko Widodo untuk menghentikan segala bentuk tindakan kekerasan pada jurnalis dan memerintahkan kepada Kapolri untuk mengusut tuntas pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
Kedua, Presiden Joko Widodo melihat secara objektif kondisi kemerdekaan pers di Papua dan merealisasikan janjinya untuk membuka akses jurnalis asing untuk melakukan kegiatan jurnalistiknya di Papua. Tindakan Pemerintah yang terkesan menutupi justru mengundang banyak tanya masyarakat internasional terhadap kondisi faktual di Papua.
Ketiga, Presiden Joko Widodo untuk Segera menghentikan segala upaya pembatasan penikmatan atas kebebasan berekspresi politik secara damai. Pemerintah Indonesia harus melakukan penuntutan pihak lain yang melakukan penghentian hak kebebasan berekpresi secara politik secara damai.
Keempat, Pemerintah Indonesia untuk mengundang kembali Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi pada UPR 2017 tanpa ada prasyarat daerah mana yang akan ditinjau langsung oleh pelapor khusus. Sebelumnya bahwa salah satu rekomendasi UPR 2012 yang disepakati oleh Pemerintah Indonesia adalah mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi ke Indonesia. Rekomendasi tersebut sampai saat ini tidak terlaksana karena Pemerintah Indonesia pada tahun 2013 menolak Frank La Rue (Pelapor Khusus PBB) untuk mengunjungi Papua. Dan pada tahun 2015 menolak David Kaye dalam bidang yang sama. Hal ini mengundang banyak tanya masyarakat Internasional karena Pemerintah Indonesia terkesan menutupi dan menyembunyikan kondisi Papua di mata internasional.
Kelima, Dewan Pers harus berpihak kepada nilai-nilai kemerdekaan pers termasuk dalam melindungi para jurnalis, bukan malah menjadi kepanjang tanganan Pemerintah untuk menutup mata terhadap kondisi kebebasan pers di Papua. Dan berharap Dewan Pers tidak lupa bahwa kelahiran lembaga independen Dewan Pers dibentuk karena nilai-nilai kemerdekaan pers yang berkewajiban melindungi dan mengembangkan kemerdekaan pers di Indonesia.
Pernyataan ini dikeluarkan oleh Yayasan Satu Keadilan, LBH Pers, Perkumpulan Tabloid Jubi, Papua itu Kita, Gema Demokrasi, Suarapapua.com, YLBHI, AMP, PPPRI, GSPB, PPR, Pembebasan, Federasi Sedar, Solidaritas.net dan SEBUMI.
REDAKSI