Yakinkan Dunia, Tetapi…

0
7653

PERSOALAN Papua kembali menghangat di forum internasional. Ya, dalam sesi ke-27 Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB, di Jenewa, Swiss, Rabu (3/5/2017) lalu, para delegasi menyampaikan sejumlah pernyataan, pertanyaan, bahkan sorotan tajam kepada Pemerintah Indonesia, terkait berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, tak terkecuali tiga kasus pelanggaran HAM berat di Tanah Papua: Paniai Berdarah (8 Desember 2014), Wamena dan Wasior.

Tak sedikit rekomendasi pun diberikan untuk ditindaklanjuti sesuai standar internasional. Inilah kenyataannya, meski Delegasi Republik Indonesia (Delri) dibawah pimpinan Menteri Luar Negeri Retno L.P Marsudi, dan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, berusaha menyakinkan dunia internasional di sidang tersebut.

Para delegasi secara umum pertanyakan sikap negara menangani kasus-kasus pelanggaran HAM, juga aspek lain. Lantas, apa sikap dan respon dari Delri dalam sesi ke-27 UPR Dewan HAM PBB, sudah jelas. Kita baca laporannya dari berbagai media, bahwa Indonesia memperlihatkan kepada dunia internasional sikap politik selama ini.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pesta Demokrasi Berdarah

Jika mau jujur, sesungguhnya sikap defensif yang terus ditonjolkan Delri untuk berkilah dari fakta pelanggaran HAM di Tanah Papua. Respon di forum internasional hanya sebatas bahasa. Bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan.

Ya, respon atau jawabannya masih pada tataran retorika. Belum dapat memaparkan fakta sesungguhnya. Lebih ironisnya lagi, Delri mengaku kasus-kasus pelanggaran HAM sudah dan sedang ditangani secara serius. Benarkah? Proses penyelesaiaan kasus pelanggaran HAM mana yang sudah ditangani? Apakah ada yang telah berhasil dituntaskan?

ads

Jelas, dari tiga kasus pelanggaran HAM berat: Wasior, Wamena dan Paniai, mandeg di tengah jalan. Memperlihatkan ketidakseriusan negara bersama para pihak terkait memprosesnya. Tidak ada proses hukum, lalu di forum internasional Delri mengklaim “sudah dan sedang ditangani”. Aneh.

Kita maklumi bila hal ini dalam rangka secara terus menerus yakinkan dunia internasional bahwa kasus pelanggaran HAM di negara ini khususnya di Tanah Papua sudah dan sedang ditangani serius sesuai ratifikasi konvensi internasional terkait HAM. Tetapi kalau faktanya tidak, maka itu sama artinya pemerintah berbohong di forum internasional.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pesta Demokrasi Berdarah

Kesan demikian setidaknya sudah jelas ditampilkan Delri melalui Menlu Retno L.P Marsudi dalam laporan UPR Indonesia. Para delegasi negara lain tak menerima langsung paparan tersebut, sehingga kemudian muncul komentar bahkan sorotan tajam hingga rekomendasi.

Delegasi negara lain bicara bukan tanda dasar. Sebab, para delegasi punya perwakilan negara di Indonesia yang secara berkala menyampaikan laporan, dipastikan punya gambaran jelas terkait situasi dan kondisi negara ini di mata dunia internasional. Selain, tentunya melalui pemberitaan dan laporan pihak terkait.

Dengan menyimak isi sambutan maupun pemaparan laporan UPR Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Menlu di sidang tersebut, terdapat banyak hal “tidak benar”. Delegasi negara-negara dunia persoalkan itu. Termasuk publik pun mempertanyakan “laporan bagus” itu apakah benar sesuai fakta?

Baca Juga:  EDITORIAL: Pesta Demokrasi Berdarah

Bagaimana mau yakinkan negara-negara dunia jika pada tahun 2013 Indonesia tolak Pelapor Khusus PBB, Frank La Rue berkunjung. Dua tahun kemudian, 2015, David Kaye dari bidang yang sama, juga ditolak Indonesia. Padahal, ini bagian dari satu rekomendasi UPR tahun 2012 yang disepakati oleh Pemerintah Indonesia.

Di Sidang Dewan HAM PBB ke-34, Rabu (1/3/2017), Pemerintah berjanji tahun ini akan terima kunjungan Pelapor Khusus PBB. Rekomendasi sama kembali disuarakan negara-negara di Jenewa. Akankah berhasil atau justru bernasib sama? Kita akan tunggu.

Disoroti kasus-kasus HAM Papua, Delri malah bilang tak ada masalah karena pemerintah sudah berikan Otonomi Khusus (Otsus). Dana triliunan rupiah digelontorkan tiap tahun ke Papua, plus bangun jalan, jembatan dan infrastruktur lainnya, apakah itu maksudnya sudah jawab akar persoalan? Ataukah itu pertanda Indonesia sudah bayar habis nyawa orang Papua yang kapan saja bisa dihabiskan dengan berbagai cara? ***

Artikel sebelumnyaPelatih Persipura: Saya Senang Tapi Kecewa dengan Hasil Pertandingan
Artikel berikutnyaTuris Jepang Kagum Saksikan Rumah Pohon di Yahukimo