Uskup Pasifik Angkat Isu Papua di Forum yang Dihadiri Wakil Paus

0
9620

WELLINGTON, SATUHARAPAN.COM/SUARAPAPUA.com — Federasi Konferensi Waligereja Pasifik atau The Federation of Catholic Bishop Conference of Oceania (FCBCO) kembali akan mengangkat isu Papua dalam pertemuan empat tahunan mereka di Port Moresby, Papua Nugini (PNG) dari 12-16 April mendatang.

Dikutip dari satuharapan.com, menteri Luar Negeri Vatikan, yang sering juga disebut sebagai orang nomor dua setelah Paus di Vatikan, Pietro Parolin, akan hadir dan berbicara di forum itu.

Federasi ini beranggotakan uskup-uskup dari Australia, PNG dan Kepulauan Solomon, Selandia Baru dan negara-negara Pasifik lainnya. Tema pertemuan adalah ‘Peduli akan Rumah Kita Bersama di Pasifik: Suatu Lautan Kemungkinan’.

Perlindungan hak asasi manusia dan lingkungan akan mendasari diskusi-diskusi konferensi, dengan fokus khusus pada perpindahan penduduk, kerusuhan sosial, perubahan iklim dan menyoroti praktik lingkungan yang berbahaya seperti penambangan di dasar laut dan penangkapan ikan berlebihan.

Anggota Eksekutif FCBCO, Uskup Charles Drennan, dalam siaran persnya mengatakan, “Kita membahas hal-hal ini dari perspektif iman, yang melihat semua ciptaan dan kehidupan manusia sebagai karunia dari Tuhan untuk dihormati dan dihargai. Kami sangat sadar akan keresahan yang sedang berlangsung dan kehadiran militer yang dipertanyakan di Papua serta meningkatnya pengaruh bisnis tidak menguntungkan dan kepentingan politik yang membeli pengaruh di Pasifik. Saya berharap ada tekad baru untuk integritas dalam pemerintahan dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan partisipatif yang timbul dari diskusi bersama dan dengan para pemimpin lokal.”

ads

“Kami senang Kardinal Parolin akan hadir. Suaranya akan menggemakan suara Paus dan gerakan untuk keadilan dan perawatan planet yang menjadi rumah kita,” kata Drennan, dikutip dari laman resmi Keuskupan Agung Wellington, catholic.org.nz.

Lebih lengkapnya para pembicara kunci pada pertemuan ini, menurut siaran pers itu, adalah:

  • Pertama, Kardinal Pietro Parolin, Menteri Luar Negeri Vatikan. Ia telah menjabat sejak tahun 2013, dan telah bekerja di layanan diplomatik Tahta Suci selama tiga puluh tahun. Kardinal akan berbicara tentang ensiklik Paus Fransiskus, Laudato Si’ yang mendasari tema pertemuan.
  • Kedua, Gubernur Powes Parkop, perwakilan dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan PNG, yang akan menyampaikan pidato kunci tentang konflik yang sedang berlangsung antara pemerintah Indonesia dan sebagian penduduk asli di provinsi Papua dan Papua Barat, Indonesia.
  • Ketiga, Profesor Ottmar Edenhofer, salah satu ahli terkemuka di dunia tentang kebijakan perubahan iklim dan kebijakan lingkungan dan energi, berbicara tentang Ajaran Sosial Katolik.
  • Keempat, Pastor Clement Taulam dari PNG akan membahas situasi saat ini seputar pengungsi Manus dan pelayanannya di daerah ini. Tahun lalu, Pastor Clement dan Mayor (Purn.) Michael Kuweh, menjadi berita utama dalam menentang PNG dan pemerintah Australia dalam meminta bantuan bagi para pengungsi dan pencari suaka di Manus, dan untuk solusi damai atas kebuntuan di dalam pusat penahanan yang dibawah wewenang Australia itu.
Baca Juga:  Referendum Vanuatu Berupaya Menanamkan Stabilitas Setelah Pemerintahan Terbuka

Selain itu ada berbagai sesi lain dalam konferensi kali ini, termasuk mengenai pemuda, pendidikan dan kegiatan masyarakat.

Para uskup juga dijadwalkan akan melayankan misa untuk komunitas lokal dan menghadiri jamuan makan malam formal dengan Perdana Menteri PNG, Peter O’Neill.

FOBCO dan Isu Papua

Isu pelanggaran HAM di Papua serta perjuangan penentuan nasib sendiri rakyatnya adalah topik yang selalu menjadi sorotan pertemuan FOBCO.

Baca Juga:  Dua Hari GCC, PM Rabuka: Jadilah Pemimpin Adat Bagi Semua Warga Fiji

Menurut siaran pers FOBCO, tema pertemuan tahun ini ditetapkan pada bulan Agustus tahun lalu oleh Komite Eksekutif FOBCO, yaitu untuk menyuarakan keprihatinannya terutama pada integrasi damai di antara rakyat Papua, peduli lautan dan mengakhiri eksploitasi sumber daya alam wilayah oleh kepentingan internasional.

Munculnya kata ‘integrasi damai’ dalam siaran pers ini sangat mungkin merupakan kelanjutan dari ‘pesan damai’ yang yang diangkat pada pertemuan Komite Eksekutif FOBCO pada tahun lalu. Pada 14 Agustus 2017 Komite Eksekutif FOBCO menggeser pesan-pesan yang disampaikan dari tekanan pada soal hak-hak politik kepada soal perdamaian.

Dalam pernyataannya, komisi eksekutif FOBCO mengatakan, “Sebagian besar Orang Asli Papua (OAP) menginginkan perdamaian dan berbagai kelompok dialog, perjuangan dan kesaksian tentang koeksistensi damai, merupakan sumber harapan bagi semua orang.”

Para uskup memilih mengambil jarak dari tema aspirasi merdeka Papua dengan alasan, agenda Papua yang hanya berfokus pada soal aspirasi merdeka, dapat mengaburkan hal lain yang dianggap lebih penting. “Saat pertanyaan ini (Papua merdeka) menjadi fokus tunggal, perhatian untuk menegakkan dan memperkuat institusi demokrasi lokal dapat diabaikan.”

Oleh karena itu, Federasi lebih memilih untuk “menggemakan seruan untuk pendidikan berkualitas di Papua, untuk akses yang adil dan transparan terhadap pekerjaan, program pelatihan dan pekerjaan, untuk menghormati hak atas tanah, dan batas-batas yang jelas antara peran angkatan bersenjata dan kepolisian dan peran perdagangan.”

Baca Juga:  Komisi HAM PBB Minta Indonesia Izinkan Akses Kemanusiaan Kepada Pengungsi Internal di Papua

Pernyataan tersebut ditandatangani oleh Uskup Agung Sir John Cardinal Ribat MSC, presiden Federasi dan Uskup Agung Port Moresby, Papua Nugini. Selain itu ditandatangani pula oleh Uskup  Robert McGuckin, deputi presiden dan Uskup Toowoomba, Australia; Uskup Agung Michel Calvet SM, Uskup Agung Noumea, New Caledonia; Uskup Colin Campbell, Uskup Dunedin, Selandia Baru; Uskup Charles Drennan, Uskup Palmerston North, Selandia Baru; dan Uskup Vincent Long OFM Conv, Uskup Parramatta, Australia.

Ini agak berbeda dengan pernyataan Komite Eksekutif FOBCO pada 22 Agustus 2016, di Port Moresby, yang secara lebih tegas menyentuh isu politik OAP. Enam uskup yang tergabung dalam Komite Eksekutif kala itu menyerukan agar pemerintah mana pun tidak menghambat keinginan rakyat Papua untuk bergabung dengan Melanesian Spearhead Group (MSG).

Menghambat keinginan itu, menurut mereka, akan melukai hati semua rakyat Melanesia. MSG, demikian pernyataan itu, adalah tempat alami kolaborasi dan potensi saling memahami yang lebih dalam di antara sesama rakyat Melanesia.

Keenam uskup yang menandatangani seruan adalah Uskup Agung Port Moresby, John Ribat MSC, Uskup Parramatta, Vincent Long OFM Conv, Uskup Toowoomba, Robert McGuckin, Uskup Palmerston North, Charles Drennan, Uskup Noumea, Michel Calvet SM, dan Uskup Port Vila, John Bosco Baremes SM.

Sumber: satuharapan.com

Artikel sebelumnyaHutan Sumber Kehidupan Kami, Bukan Kelapa Sawit
Artikel berikutnyaRayakan Paskah di Tengah Gong Kepunahan, Depopulasi, Diskriminasi dan Marginalisasi Rakyat West Papua