Wawancara Ketua AJI Kota Jayapura tentang Kebebasan Pers di Papua Tahun 2018

Kekerasan Secara Fisik dan Psikis Masih Terjadi di Papua

0
28596

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pada bulan Oktober 2018, Suara Papua melakukan wawancara dengan Lucky Ireeuw, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura tentang kebebasan pers tahun 2018 di Papua.

Wawancara ini dilakukan untuk melihat lebih jauh tentang kebebasan pers di Tanah Papua dilihat dari tiga hal. Antara lain, pertama soal kebebasan pers di tahun 2018, kedua tentang pertumbuhan media online yang terus berkembang pesat di Tanah Papua, dan ketiga tentang akses bagi wartawan asing untuk meliput di Papua pasca presiden Jokowi menyatakan Papua terbuka bagi wartawan asing di Tanah Papua pada tanggal 9 Mei 2015 di Kota Jayapura.

Berikut petikan wawancara antara Suara Papua dan Lucky Ireeuw:

Suara Papua    : Menurut AJI bagaimana kebebasan pers selama tahun 2018 dibanding tahun 2017, 2016 dan 2015?

Lucky              : Kekerasan terhadap wartawan, baik secara fisik maupun psikis, masih terjadi di Papua. Kebebasan pers masih belum seperti yang diharapkan.

ads

Di tahun 2017, ada 8 kasus kategori kekerasan hingga menghalangi kebebasan pers di Papua.

Di tahun sebelumnya 2016 dan 2015, ada belasan kasus lainnya, mulai menghalang-halangi, merusak properti untuk liputan (kamera, memory card), pengusiran dari area liputan, pengancaman, memblokir media online, demo di kantor media, hingga jurnalis asing diproses hukum.

Untuk tahun 2018, informasi atau laporan di AJI Jayapura baru untuk 6 bulan. Dari awal tahun hingga pertengahan tahun (September 2018), ada dua kasus menonjol yang tercatat.  Masing-masing, pengusiran Jurnalis BBC Rebecca Henschke, Dwiki, Heyder Affan dari tempat peliputan di Agats, Asmat, oleh oknum anggota TNI (2 Februari 2018), dan kekerasan terhadap jurnalis Jubi, Abeth You saat peliputan debat kandidat di Nabire Papua (5 Mei 2018).

AJI belum bisa membuat kesimpulan secara keseluruhan dan perbandingan dengan tahun-tahun sebelumnya, laporan secara keseluruhan baru akan diterbitkan pada akhir tahun 2018.

Namun secara substansi, dengan dua kasus tersebut, kita memandang bahwa potensi kasus kekerasan dan pembatasan akan kebebasan pers di Papua tidak berhenti, namun terus muncul sesuai situasi yang ada.

Suara Papua    : Untuk akses bagi wartawan asing, setelah Jokowi mengeluarkan pernyataan pada tanggal 8 Mei 2015 untuk membuka akses bagi peneliti dan wartawan asing, apakah sudah terlaksana dengan baik? Berikan penjelasan menurut hemat AJI.

Lucky              : Pembatasan akses meliput di Papua masih terjadi, meskipun Presiden telah menyatakan terbukanya akses wartawan asing ke Papua. Pernyataan presiden tidak dibarengi aturan tertulis, sehingga yang namanya ‘clearing house’ atau proses dan tahapan pemeriksaan dan persetujuan peliputan oleh beberapa lembaga negara, masih berlaku.

Dalam catatan AJI, di tahun 2017 saja, beberapa wartawan asing gagal meliput ke Papua, ataupun berhasil masuk ke Papua, mereka dikawal, artinya tidak bebas meliput.

Kasus jurnalis Radio New Zealand International, Johnny Blades yang membutuhkan waktu tiga bulan untuk mendapatkan visa masuk ke Papua, dikutip dari tabloidjubi.com.

Meski akhirnya memiliki visa peliputan, di Papua, Blades kemudian ditolak oleh kepolisian dan TNI saat hendak konfirmasi beberapa liputan yang didapatnya.

Demikian juga Jurnalis Radio France, Marie Dumieres, juga dicari-cari polisi saat melakukan liputan di Papua.

Di tahun 2017 juga Franck Jean Pierre Escudie dan Basille Marie Longchamp dideportasi. Lalu ada penulis lepas Al Jazeera, Jack Hewson, ketika hendak meninggalkan Indonesia diberitahu bahwa dia tidak akan bisa masuk lagi ke Tanah Air. Padahal ketika itu Hewson mengaku sedang dalam proses pengajuan permohonan izin peliputan di Papua.

Masih ada beberapa kasus lainnya yang dialami jurnalis asing ketika melakukan liputan ke Papua, yang nyata-nyata menghalangi kebebasan pers melakukan liputan. Kondisi ini bertentangan dengan pernyataan Presiden bahwa jurnalis diberikan akses seluas-luasnya untuk meliput di Papua.

Suara Papua               : Dalam catatan AJI bagaimana pelaksanaan pers yang        bebas di Tanah Papua?

Lucky                          : Setiap tahun ada laporan kekerasan terhadap jurnalis di Papua, pembatasan peliputan, teror, intimidasi, hingga stigma yang melekat, terutama bagi jurnalis asli Papua dan medianya.

Kondisi ini terus terjadi dari tahun ke tahun, dan menjadi catatan kelam pers di Indonesia. Laporan AJI Indonesia tahun 2017, Papua merupakan salah satu wilayah dengan kebebasan pers yang masih buruk.

Di satu sisi, tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan pers yang ada saat ini, sudah jauh lebih baik dari apa yang dialami pers di Papua dibawah tahun 2000 yang masih tidak sehat dan banyak diintervensi oleh penguasa atau pihak keamanan.

Saat ini, wartawan makin banyak dan media juga makin banyak dan beragam. Pola ancaman terhadap kebebasan pers juga sedikit berubah, dari intervensi langsung ke ruang redaksi mulai berkurang, tetapi pendekatan langsung ke wartawan, dengan membayar atau gratifikasi yang banyak dilakukan. Wartawan terima amplop juga tidak bisa dibendung.

Suara Papua    : Dengan melihat pertumbuhan media yang sangat pesat, terutama media online di Papua, apa yang harus dilakukan masyarakat dengan berbagai informasi yang diproduksi setiap hari di Papua?

Lucky              :  Media Online dan media sosial merupakan fenomena baru dunia pers yang muncul seiring perkembangan teknologi yang begitu cepat di dunia, Indonesia, tidak terkecuali di Papua.

Di Papua, media online dengan konten lokal —baik yang dikelola di Papua atau di luar Papua dengan konten Papua— semakin dikenal dan familiar di kalangan masyarakat.

Kemudahan membuat media online dengan biaya terjangkau, menyebabkan banyak media online tubuh di Papua.

Ada yang dikelola secara profesional dengan menaati kaidah-kaidah jurnalistik, ada juga yang ‘asal ada’, ada yang berbadan hukum, ada yang ‘asal jadi’, dikelola perorangan atau dikelola satu keluarga.

Yang harus dilakukan masyarakat, mengetahui dengan jelas dan pasti, mana media tempat mendapatkan informasi yang benar dan akurat. Memilah dengan cermat, media sebagai sumber informasi.

Mau mencari tahu apakah media online tersebut jelas atau abal-abal dengan melihat identitas media tersebut, baik tempat dan kedudukan, badan hukum, penanggungjawab, susunan redaksi atau nomor kontaknya.

Banyak media online yang muncul tanpa identitas yang jelas. Isinya propaganda. Di sini masyarakat harus jeli mencerna media-media seperti itu. Tidak asal share berita-berita dari media-media seperti itu, tetapi mau ‘repot’ mencari tahu lebih dulu kebenarannya.

Suara Papua    : Berkaitan dengan pertumbuhan media online di Tanah Papua. Bagaimana hemat AJI, apakah memberikan dampak dalam keterbukaan informasi di Tanah Papua atau seperti apa?

Lucky              : Adanya  media-media online di Papua cukup baik, hal itu menandakan ada pertumbuhan pers di Papua dan masyarakat semakin punya pilihan tempat dimana masyarakat bisa mendapatkan informasi.

AJI memandang pertumbuhan ini memberi pengaruh terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Semakin banyak yang berkecimpung dalam dunia jurnalistik, dengan demikian keterbukaan informasi di Tanah Papua juga ikut menjadi lebih baik.

Fungsi pers, media informasi, hiburan, kontrol sosial, pendidikan, dan lembaga ekonomi dapat berjalan dengan lebih baik.

Suara Papua    : Dalam catatan dan hemat AJI, sudah berapa banyak kasus yang berkaitan dengan media dan pers di Tanah Papua dalam tahun 2018?

Lucky              : Untuk tahun 2018, hingga pertengahan tahun ini (September 2018), ada dua kasus menonjol yang tercatat. Masing-masing, pengusiran Jurnalis BBC Rebecca Henschke, Dwiki, Heyder Affan dari tempat peliputan di Agats, Asmat, oleh oknum anggota TNI (2 Februari 2018), dan kekerasan terhadap jurnalis Jubi, Abeth You saat peliputan debat kandidat di Nabire Papua (5 Mei 2018).

Di luar laporan resmi, ada kasus lainnya seperti protes masyarakat pendukung calon gubernur yang mendatangi RRI Jayapura, pada hari H pencoblosan Pilkada Gubernur Papua 27 Juni lalu, karena hari itu juga RRI menyiarkan hasil penghitungan sementara yang dicatat dari tiap TPS.

Suara Papua    : Kembali lagi soal pertumbuhan media. Dampak apa yang muncul dengan hadirnya berbagai media online di Tanah Papua?

Lucky              : AJI memandang pertumbuhan media-media online di Papua cukup baik, karena masyarakat semakin punya pilihan tempat dimana masyarakat bisa mendapatkan informasi.

Pertumbuhan ini memberi dampak terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Keterbukaan informasi di Tanah Papua juga ikut menjadi lebih baik. Masyarakat mendapatkan informasi yang beragam dan bervariasi dari macam-macam sudut pandang terhadap suatu peristiwa.

Fungsi pers, media informasi, hiburan, kontrol sosial, pendidikan, dan lembaga ekonomi dapat berjalan dengan lebih baik.

Namun ketika berbicara soal dampak, pertumbuhan media online, tidak serta merta memberikan dampak positif, sebab dampak negatif juga ada, terutama oleh media-media online yang tidak jelas pengelolanya, media yang dipakai sebagai alat propaganda, dan media yang tidak hanya untuk sekedar ada, tanpa menjalankan fungsi pers sesungguhnya.

Suara Papua    : Berapa banyak media yang bekerja dengan taat pada UU Pers dan KEJ Papua?

Lucky              : AJI belum meneliti dan mencermati secara khusus media mana saja di Papua yang taat UU Pers dan KEJ.

Sebagian menjalankan fungsi pers sesuai Undang-Undang Pers dan menaati Kode Etik Jurnalis (KEJ), namun ada juga yang asal-asalan, bahkan abal-abal.

Media-media yang serius terbit di Papua (media cetak, online dan elektronik) umumnya menjalankan fungsi pers, menaati KEJ dan UU Pers.

Namun ada juga media yang melanggar aturan tersebut, terutama media yang tidak jelas identitasnya, digunakan untuk kepentingan tertentu.

Dewan Pers pada 2017, melakukan verifikasi terhadap media-media di Papua, dari sejumlah media yang diverifikasi, ada empat media yang dinyatakan lolos verifikasi karena sesuai dengan standar penerbitan pers, yakni Harian Cenderawasih Pos, Harian Pagi Papua, Bisnis Papua, dan Tabloidjubi.com.

Setiap tahun juga, lembaga pers mengadakan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) di Papua, dan diikuti puluhan jurnalis. Diharapkan para jurnalis yang lulus UKJ ini dapat bekerja di media masing-masing dengan menaati KEJ dan UU Pers.

*Wawancara ini dilakukan oleh pimpinan redaksi Suara Papua, Arnold Belau.

Artikel sebelumnyaDelegasi Fordasi Kunjungi Sentani Timur Tinjau Sistem SAIK dan SAID
Artikel berikutnyaKasus Theys H. Eluay dan Aristoteles Masoka Dapat Dibuka Kembali dalam Yuridiksi Pengadilan HAM