Ilustrasi, anak-anak Mee mengenakan Koteka. (IST - SP)
adv
loading...

Oleh: Yance Agapa)*

Tidak asing lagi bagi kita ketika mendengar, melihat dan merasakan sendiri tarian “Sapusa” yang mendominasi Wilayah Meepago saat kampanye Calon Legislatif (Caleg) berlangsung.

Sapusa atau lebih dikenal “Wisisi” adalah sebuah tarian dan budaya suku Dani yang secara turun-temurun diwariskan oleh leluhur mereka. Sapusa atau “Wisisi” telah berkembang menjadi bagian dari budaya pop suku Mee dan Moni.

Sapusa atau Wisisi merembes secara pesat ke lingkungan masyarakat serta mempengaruhi budaya setempat. Selektifitas budaya Sapusa menjadi dominan di kalangan remaja saat ini, spesifik di Wilayah Pegunungan Tengah Papua.

Kombinasi budaya ini justru melahirkan suatu sentimental bagi mereka yang ingin mencobanya. Alur perkembangan tarian Sapusa ke dalam budaya suku Mee di mulai sejak tahun 1998. Penyebaran tarian ini terjadi ketika siswa-siswi suku Moni dan Dani datang dari Intan Jaya ke Paniai untuk menempuh pendidikan.

ads
Baca Juga:  Hilang 17 Hari, Anggota Panwaslu Mimika Timur Jauh Ditemukan di Potowaiburu

Pada tahun 2002, budaya Sapusa mulai populer dinyanyikan oleh siswa-siswi suku Dani dan Moni yang bersekolah di Moanemani (Dogiyai), Waghete (Deiyai) dan Enarotali (Paniai). Dengan demikian, dewasa ini terian tersebut telah menyebar dan diadopsi oleh masyarakat umum dan mengakar di kalangan masyarakat suku Mee.

Menurut Tobias Wonda, Sapusa atau Wisisi adalah suatu nyanyian untuk melambangkan kebersamaan, kekompakkan dan antusiasme. Pada dasarnya, orang Dani mementaskan tarian tersebut dalam suasana duka, dimana untuk menghibur keluarga yang berduka. Sapusa akan menjadi obat penawarnya.

Baca Juga:  Soal Satu WNA di Enarotali, Begini Kata Pakum Satgas dan Kapolres Paniai

“Suku Dani biasa menyanyikan Sapusa ini dalam situasi dan kondisi apapun, untuk menyemangati dan menambah gairah orang di sekitarnya,” tuturNYA.

Pada umunnya, tarian Sapusa dibawakan oleh sekelompok orang dengan melihat situasi dan kondisi saat itu.

Sapusa dipandang sebagai suatu tradisi multifungsi, Artinya ia bisa ditampilkan di mana saja, kapan saja, dan dalam situasi apa saja.

Inkulturasi budaya yang semakin menonjol ini, dapat menyatukan perspektif Sapusa ke dalam satu kesatuan yang utuh. Dan seiring perkembangan zaman ini maka Sapusa lebih cepat menyebar masuk ke dalam budaya suku Mee. Di sanalah akan terjadi akulturasi budaya antar suku.

Baca Juga:  KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

Secara tidak sadar, akulturasi budaya tersebut akan menciptakan sebuah momen untuk “dicoba” dan “mencoba”. Life style atau “Gaya Hidup” zaman sekarang serba sensasional.

Remaja sekarang lebih memilih budaya dengan tren masa kini. Konkritnya, musik, cara berdandan dan berpakaian, makanan serta pergaulan.

Kita tidak bisa membatasi hak seseorang untuk beradaptasi dengan satu budaya tertentu, tetapi bagaimana ia menerima budaya itu dan mengadopsinya. Ini memang hal yang paling penting.

)*Penulis adalah wartawan suarapapua.com yang berkontribusi dari Deiyai, tanah suku Mee.

Artikel sebelumnya107 Mahasiswa STIKOM Telah Menyelesaikan PKN di Keerom
Artikel berikutnyaHut Kingmi ke 57 Dirayakan di Dekai Yahukimo